Pemerintah Diminta Bersikap Netral Hadapi Rezim Taliban
Langkah kehati-hatian perlu terus diusung jika harus bekerja sama dengan pemerintahan Taliban di masa mendatang.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia diminta tetap bersikap netral menghadapi era baru pemerintahan Taliban di Afghanistan. Langkah kehati-hatian perlu terus diusung jika harus bekerja sama dengan pemerintahan Taliban di masa mendatang.
”Harus hati-hati, jangan sampai membuat situasi geopolitik membingungkan. Dengan adanya China mendukung Taliban, mau tidak mau membuat peta geopolitik membingungkan, siapa mendukung siapa? Indonesia harus bisa bersikap,” ujar Muhammad Zulfikar Rahmat, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), dalam diskusi publik bertajuk ”Masa Depan dan Kesinambungan Failed State Afghanistan”, Jumat (3/9/2021).
Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy Shiskha Prabawaningtyas menambahkan perlunya sikap kehati-hatian sembari menunggu perkembangan situasi Afghanistan ke depan. Dalam konteks saat ini, menurut Shiskha, langkah yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia sudah cukup tepat.
”Sepakat dengan perlunya sikap kehati-hatian. Wait and see perlu dilakukan. Sejauh mana pemerintahan baru di Afghanistan ini bisa efektif,” kata Shiskha, menambahkan.
Baca juga : Taliban, Afghanistan, dan Indonesia
Sikap kehati-hatian ini semakin diperlukan, antara lain, karena pemerintahan baru Taliban dikhawatirkan semakin mendorong perdagangan narkoba. Milisi Taliban yang berkuasa di Afghanistan membutuhkan biaya untuk pemerintahan yang bisa semakin menghidupkan jaringan narkoba ”persia”.
Selain itu, menurut Shiskha, arus dan jaringan pengungsi asal Afghanistan juga terus mengalir. Mereka singgah di Indonesia dalam perjalanan menuju Australia. Pemerintah Indonesia juga perlu mempertimbangkan sejauh mana jaringan ideologi transnasional memengaruhi pergerakan terorisme di Indonesia.
Dalam perkembangan hubungan internasional, warga dunia masih digemparkan oleh aksi milisi Taliban yang menguasai kembali kota Kabul dan Afghanistan sejak 15 Agustus 2021.
Organisasi militer Taliban yang pernah digulingkan oleh pasukan Amerika Serikat pada 2001 itu kini telah menjadi kekuatan politik dan militer terkuat di Afghanistan. Seluruh tentara Amerika Serikat saat ini juga telah ditarik kembali dari Afghanistan.
Menurut Zulfikar, Indonesia secara resmi membuka hubungan diplomatik dengan Afghanistan pada 1954. Hubungan bilateral di antara kedua negara tersebut dinilai tidak begitu signifikan dan lebih terfokus pada kerja sama di bidang politik, solidaritas kemanusiaan, dan kemitraan bilateral.
Selama ini, kerja sama dipomatik Indonesia dengan wilayah di Kawasan Asia Tengah memang tergolong tidak erat. ”Yang paling signifikan dengan India dan Pakistan, mitra yang cukup dekat, walau tidak dekat sekali,” kata Zulfikar yang juga merupakan pengajar di Universitas Islam Indonesia.
Kerja sama terbatas
Sejak 2018, Kementerian Luar Negeri Indonesia cukup intensif melakukan komunikasi tiga arah, baik dengan Taliban maupun Pemerintah Afghanistan. Presiden Joko Widodo bahkan pernah datang ke Kabul untuk bertemu Presiden Afghanistan Ashraf Ghani pada 2017. Kemlu RI juga pernah mengundang Mullah Abdul Ghani Barada dan perwakilan ulama Taliban yang kala itu disambut Majelis Ulama Indonesia dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Keterlibatan Indonesia dalam upaya negosiasi antara Pemerintah Afghanistan dan Taliban telah berlangsung pada 2018-2019. Indonesia juga terlibat dalam rekonstruksi Afghanistan. Beberapa perusahaan dari Indonesia telah didorong untuk masuk ke Afghanistan. Pergantian pemerintahan yang terjadi di Afghanistan dinilai tidak terlalu berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini karena kerja sama ekonomi Indonesia-Afghanistan memang masih sangat terbatas.
Afghanistan berada di peringkat ke-127 untuk negara tujuan ekspor Indonesia. Nilai ekspor Indonesia ke Afghanistan adalah 21,38 juta dollar AS pada 2020. Kontribusi ekspor ke Afghanistan hanya sebesar 0,013 persen terhadap nilai total ekspor Indonesia yang mencapai 163,19 miliar dollar AS. Meskipun kontribusi ekspor pasar Afghanistan relatif kecil bagi Indonesia, tren pertumbuhan ekspor cukup positif atau mencapai 2,91 persen dari 2016-2020.
Komoditas ekspor Indonesia ke pasar Afghanistan antara lain berupa produk industri farmasi, sabun, buah, minyak atsiri, dan barang dari kaca. Impor Indonesia dari Afghanistan antara lain berupa produk kopi, teh, rempah-rempah, biji-bijian berminyak, produk mesin mekanik, dan pakaian jadi.
Perluasan kerja sama kedua negara pun dinilai Zulfikar tidak mudah. Ada kemungkinan Afghanistan akan mengalami inflasi. Afghanistan adalah negara landlocked (terkunci) yang bergantung ke pelabuhan negara lain. Saat ini, tidak semua negara di Asia Tengah mendukung pemerintahan Taliban. Hingga kini, juga belum ada penerbangan di Afghanistan.
Di sisi lain, keberhasilan Taliban juga berisiko menginspirasi kelompok radikal di Indonesia. Hal ini dikhawatirkan bisa berdampak pada pertumbuhan investasi. ”Peran Indonesia masih mengambang. Meski ada langkah oleh Pemerintah Indonesia, belum kelihatan akan seperti apa perannya,” ujar Zulfikar.
Negara gagal
Zulfikar menambahkan bahwa Afghanistan memiliki karakteristik sebagai negara gagal. Hampir separuh dari warganya hidup di bawah garis kemiskinan. Ketidakamanan pangan juga menjadi masalah yang akut. Sekitar 5,5 juta penduduknya mengalami perasaan tidak aman mengenai makanan. Afghanistan mengalami defisit perdagangan dengan neraca perdagangan mencapai sekitar 30 persen.
Pemerintahannya sangat bergantung pada bantuan asing. Hampir 80 persen dana yang ada di Afghanistan adalah bantuan asing. Ditambah lagi peran institusi pemerintah yang masih lemah dan korupsi masih marak terjadi. Menurut survei dari Doing Business Survey pada 2020, Afghanistan menempati ranking 173 dari 190 negara miskin.
Produk domestik bruto atau GDP Afghanistan merupakan salah satu yang paling rendah atau di urutan ke-213 dari 228 negara. Afghanistan juga tidak pernah damai karena selalu diintervensi oleh negara asing. Kelompok Taliban mampu menguasai Afghanistan karena memiliki kekuatan berupa strategi perang dan legitimasi masyarakat. Banyak masyarakat tak lagi percaya kepada pemerintahan sebelumnya yang dinilai korup.
Selama kurun waktu yang panjang, dari tahun 1839 hingga 2021, situasi Afghanistan jarang sekali damai. Afghanistan sering disebut sebagai the graveyard of empires karena banyak sekali intervensi asing yang berdampak pada banyaknya kematian. Perang terjadi dengan adanya intervensi sejumlah negara, seperti Inggris (1839-1919), Uni Soviet (1979-1989), dan Amerika Serikat pada 2001-2021. Melihat kondisi Afghanistan yang terpuruk, China dengan cepat merapat ke pihak Taliban yang berkuasa.
Baca juga : Taliban Pun Bergandengan dengan China
China berambisi mewujudkan jalur OBOR atau one belt one road melintasi Afghanistan via Asia Tengah, Eropa Timur, dan Eropa Barat.
”Bicara Tiongkok, semua terkait ekonomi. Untuk menyakinkan belt and road initiative (BRI/OBOR) dapat terimplementasi dengan baik. Kawasan Asia Tengah merupakan destinasi atau poin penting dalam BRI. Tanpa gangguan militer, dengan pemerintahan baru, ada peluang kesempatan mengembangkan investasinya,” kata Zulfikar.