Biden Siap Bertanggung Jawab atas Situasi di Afghanistan
Presiden Amerika Serikat Joe Biden dalam pidato kenegaraannya pada Selasa (31/8/2021) menyatakan siap bertanggung jawab atas keputusan yang diambil terhadap Afghanistan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
WASHINGTON, RABU — Presiden Amerika Serikat Joe Biden dalam pidato kenegaraannya pada Selasa (31/8/2021) menyatakan siap bertanggung jawab atas keputusan yang diambil terhadap Afghanistan. Meskipun demikian, Biden mengaku tidak menyesal menarik pasukan AS yang telah berdiam di sana selama 20 tahun.
”Ini perang yang tiada akhir. Saya menolak mengirim generasi baru, anak-anak bangsa AS, untuk berperang di pertarungan yang tak berkesudahan ini,” kata Biden.
AS memasuki Afghanistan pada tahun 2001 pasca-serangan teror 11 September 2001 di kota New York yang dilakukan kelompok teroris Al Qaeda. Saat itu, Afghanistan dikuasi oleh Taliban sejak tahun 1996. Mereka tidak diganggu gugat oleh negara lain karena dinilai tidak mengancam keamanan internasional.
Namun, Taliban membiarkan Afghanistan menjadi sarang teroris dan memiliki kedekatan hubungan dengan Al Qaeda. Ini yang menjadi alasan serangan militer AS ke Afghanistan dan berujung kepada okupasi AS di negara berpenduduk 18 juta orang itu selama 20 tahun berikutnya.
Pada Mei, Biden memutuskan untuk menarik pasukan AS dari Afghanistan. Langkah ini dikritik berbagai pihak, terutama Partai Republik yang merupakan oposisi pemerintah. Begitu pasukan AS dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mulai angkat kaki dari Afghanistan, Taliban yang selama ini beroperasi di wilayah pinggiran hanya memerlukan waktu kurang dari dua pekan untuk merebut kekuasaan.
”Ini bukan fenomena tiba-tiba. Pemerintahan (Donald) Trump membebaskan 5.000 tahanan, termasuk panglima-panglima Taliban. Kelompok ini pada tahun 2020 jauh lebih kuat dibandingkan tahun 2001. Taliban sejatinya telah menguasai setengah dari Afghanistan,” kata Biden.
Menurut dia, memaksakan diri tetap berada di Afghanistan dengan situasi itu hanya akan mengorbankan energi, waktu, dan jiwa militer AS. Perang selama 20 tahun itu telah memakan 2.400 jiwa tentara AS dan biaya sebesar 2,3 triliun dollar AS. Apalagi, Biden menekankan bahwa pola dilomasi AS mulai sekarang berubah dan menekankan kepada hak asasi manusia.
”Okupasi militer bukan diplomasi yang relevan lagi. Kita tidak bisa lagi mengadakan operasi militer besar-besaran untuk membangun negara lain,” ujarnya.
Biden menuturkan, misi AS ialah mengimbangi pengaruh global China dan Rusia. Caranya tidak lagi melalui kampanye militer, tetapi diplomasi yang lebih bernuansa dan kompleks di berbagai sektor, seperti ekonomi, sosial budaya, dan keamanan.
Dalam pidato tersebut, Biden tetap berkomitmen menyelamatkan semua warga AS yang tertinggal di Afghanistan. Gedung Putih mencatat setidaknya ada 200 warga AS yang masih berada di Afghanistan. Mayoritas adalah warga AS keturunan Afghanistan, berkewarganegaraan ganda, atau menikah dengan penduduk lokal. Mereka belum bisa memutuskan untuk mengungsi ke AS antara lain karena tidak bisa meninggalkan keluarga di Afghanistan.
Presiden dari Partai Demokrat ini berjanji tidak ada batas waktu bagi mereka untuk mengungsi ke AS. Pemerintah AS siap membantu setiap saat warga AS di Afghanistan memutuskan sudah waktunya mereka meninggalkan Kabul.
Terkait proses pengungsian, Biden berpendapat secara umum berlangsung cukup baik. Ada beberapa kendala yang membuat pengungsian memakan korban jiwa. Pada masa awal evakuasi, padatnya pengungsi di Bandara Internasional Hamid Karzai, Kabul, membuat ada yang terinjak-injak dan dehidrasi. Ada pula warga yang nekat loncat ke sayap pesawat ketika tinggal landas sehingga jatuh dan tewas.
Baru-baru ini terjadi ledakan bom bunuh diri di gerbang bandara yang menewaskan 13 tentara AS. Pengeboman itu ulah dari Negara Islam Irak dan Suriah-Khorasan (NIIS-K). ”Khusus untuk NIIS-K, AS tidak akan tinggal diam. Kami akan mengejar kalian,” kata Biden.
Anggota Kongres AS dari Partai Republik, Michael McCaul, meminta Gedung Putih membuka data proses evakuasi di Bandara Kabul. Kongres akan memeriksa apabila ada pelanggaran.
Perginya AS dari Afghanistan membuat dunia bertanya-tanya pemerintahan Biden hendak mengalihkan perhatian ke wilayah mana. Dalam wawancara dengan media Jerman, Deutsche Welle, pakar politik dari Universitas Nasional Singapura (NUS), Chong Ja Ian, menjelaskan bahwa AS bergeser dari Timur Tengah dan Asia Tengah menuju Asia Tenggara.
Semasa kepresidenan Donald Trump (2017-2021), Asia Tenggara tidak dipandang sebagai mitra penting. Terbukti dari tidak ada utusan khusus berupa pejabat teras ataupun pejabat senior AS ke Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN tahun 2019.
Saat pemerintahan Biden, AS ingin kembali menunjukkan pengaruhnya pada wilayah Asia Tenggara. Hal ini dibuktikan dari kunjungan Wakil Presiden Kamala Harris ke Singapura dan Vietnam pekan lalu meskipun tujuan AS di Asia Tenggara sejauh ini untuk menjegal pengaruh China, terutama di Laut China Selatan.
”Perdana Menteri Singapura dan Presiden Vietnam telah menegaskan bahwa mereka tidak akan memilih kubu AS ataupun China sesuai prinsip ASEAN yang bebas dan aktif. Kita harus lihat bagaimana tindakan AS selanjutnya menghadapi hal ini. Apakah AS memang menganggap Asia Tenggara sebagai mitra penting atau hanya sebagai pasar untuk menghalangi perdagangan dengan China?” kata Chong. (AFP/REUTERS)