Ketiga pelaku bom Bali, termasuk Hambali, mulai menjalani proses sidang di Guantanamo. Proses hukum ini masih panjang karena membutuhkan penyelidikan atas saksi dan bukti yang masih ada.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
TELUK GUANTANAMO, SENIN —Tiga pelaku bom Bali pada 2002, termasuk Encep Nurjaman alias Hambali, mulai diadili komisi militer Amerika Serikat setelah ditahan selama 18 tahun tanpa dakwaan di tempat penahanan Guantanamo, Kuba. Hambali dan dua pelaku asal Malaysia itu dikenai dakwaan pembunuhan, terorisme, dan konspirasi.
Sidang pertama, Senin (30/8/2021), berjalan sampai lima jam karena proses penerjemahan yang memakan waktu. Para tahanan disebutkan tidak memahami bahasa Inggris dan penerjemahnya pun tak mahir berbahasa Melayu.
Sidang menurut rencana akan dilanjutkan lagi pada Selasa ini. Ini merupakan langkah awal dari perjalanan panjang proses hukum ketiganya. Proses hukum ketiganya berjalan lambat hingga bertahun-tahun karena menghadapi banyak masalah, seperti kasus-kasus Guantanamo yang lain.
Salah satunya karena bukti yang sudah tidak bisa digunakan gara-gara proses penyiksaan Badan Intelijen Pusat (CIA) dan isu pemenjaraan tanpa dakwaan. ”Ini sudah hampir 20 tahun setelah kejadian. Banyak saksi mata sudah meninggal dan situasinya sudah berubah. Dalam pandangan saya, para tersangka tidak akan mendapatkan proses pengadilan yang adil,” kata Brian Bouffard, anggota tim hukum dari salah seorang pelaku asal Malaysia, Mohammed Nazir bin Lep.
Proses sidang para pelaku bom Bali ini dilakukan saat pemerintahan Presiden AS Joe Biden hendak menutup Guantanamo. Di Guantanamo masih ada 39 orang yang ditahan dari 779 orang yang ditangkap di Afghanistan setelah serangan teroris di AS, 11 September 2001.
Proses sidang ketiga pelaku bom Bali itu baru dimulai sekarang karena sebelumnya mereka ditahan di tempat penahanan rahasia CIA untuk diinterogasi lebih mendalam selama tiga tahun. Setelah itu, mereka baru dipindahkan ke Guantanamo.
Keputusan untuk mendakwa ketiganya dibuat oleh pejabat hukum Departemen Pertahanan AS pada akhir masa pemerintahan Donald Trump. Bouffard menilai keputusan ini memperumit upaya menutup Guantanamo karena pemerintah kemungkinan akan cenderung tidak membebaskan tahanan yang sedang menghadapi kasus tuntutan aktif, bahkan setelah bertahun-tahun ditahan. ”Akan semakin sulit menutup Guantanamo setelah dakwaan,” ujarnya.
Selain masalah penerjemahan selama proses sidang, tim hukum Mohammed Nazir bin Lep juga mempersoalkan penerjemah yang kini bekerja pada jaksa. Padahal, sebelumnya, penerjamah tersebut ditugaskan ke tim pembela saat tim pembela mempersiapkan permintaan pembebasan bersyarat di Guantanamo ke dewan peninjau. ”Penerjemah itu menyimpan informasi-informasi rahasia yang bisa jadi sudah dibagikan ke tim penuntut,” kata Christine Funk, pengacara untuk Mohammed Farik bin Amin.
Tim hukum Mohammed Nazir bin Lep juga mengungkapkan, mereka hendak menunjukkan pernyataan tertulis dari penerjemah Indonesia yang diduga mengatakan, ”Saya tidak tahu mengapa pemerintah menghabiskan begitu banyak uang untuk para teroris ini. Mereka seharusnya sudah dibunuh dari dulu.”
Hakim sidang menegaskan, para penerjemah sudah memenuhi persyaratan dari komisi militer untuk mengikuti proses sidang ini. Masukan atau keluhan dari tim pembela akan ditangani belakangan.
Hambali dikenal sebagai pemimpin Jamaah Islamiyah, kelompok militan di Asia Tenggara yang memiliki hubungan dengan kelompok Al-Qaeda. Hambali ini yang disebutkan merekrut anggota-anggota kelompoknya, termasuk Mohammed Nazir bin Lep dan Mohammed Farik bin Amin, untuk menjalankan terornya.
Hambali dan kelompoknya adalah pelaku bom bunuh diri di Paddy\'s Pub dan Sari Club di Bali pada Oktober 2002, termasuk bom Hotel JW Marriott di Jakarta pada Agustus 2003. Korban tewas akibat ledakan bom di tiga tempat itu mencapai 213 orang, termasuk tujuh warga AS, dan melukai 109 orang, termasuk enam warga AS.
Tim jaksa menuduh Mohammed Nazir bin Lep dan Mohammed Farik bin Amin menjadi perantara untuk mengirimkan uang pendanaan operasional Jamaah Islamiyah. Ketiga pelaku ditangkap di Thailand pada 2003 sebelum dibawa ke lokasi penahanan rahasia CIA. Di tempat itu, menurut laporan Komite Intelijen Senat AS pada 2014, ketiganya disebutkan mengalami penyiksaan dan kekerasan yang brutal. Pada 2016, mereka dipindah ke Guantanamo.
Tim penuntut kemudian mengajukan tuntutan terhadap mereka pada Juni 2017. Namun, pejabat hukum di Pentagon yang bertanggung jawab pada kasus-kasus Guantanamo menolak dakwaan itu dengan alasan yang masih dirahasiakan.
Kasus ini dinilai memiliki banyak elemen yang membuatnya menjadi rumit. Pertama, soal apakah pernyataan ketiganya kepada pihak berwenang akan bisa digunakan di pengadilan mengingat mereka disiksa selama berada di tahanan CIA. Kedua, adanya fakta banyak yang sudah dihukum dan bahkan sudah dieksekusi di Indonesia untuk kasus bom Bali. Ketiga, terlalu lamanya waktu untuk membuat dakwaan.
Persoalan yang sama juga dihadapi lima tahanan Guantanamo yang diduga merencanakan dan membantu serangan 11 September. Mereka didakwa pada Mei 2012 dan sampai sekarang masih dalam tahap prasidang tanpa kejelasan jadwal sidang. Funk memperkirakan proses hukum ini masih akan panjang karena masih membutuhkan penyelidikan dan wawancara para saksi serta mencari bukti yang masih ada. ”Klien saya sudah cemas dan ingin segera diproses sidangnya lalu pulang,” ujarnya. (AP)