Pandemi Covid-19 tidak menghalangi upaya-upaya diversifikasi dan modifikasi diplomasi ekonomi RI. Pengalaman diplomasi kopi secara global dan mi instan di benua Afrika dijadikan cerminan pembelajaran.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·5 menit baca
Kementerian Luar negeri RI
Menlu Retno LP Marsudi menjadi pembicara kunci dalam pertemuan pelaku bisnis Nigeria dan Indonesia di Lagos, Nigeria, 5 Juni 2017. Forum Bisnis Indonesia-Nigeria itu dihadiri oleh lebih dari 140 pelaku usaha kedua negara di berbagai sektor.
Pandemi Covid-19 memaksa Indonesia membenahi diplomasi perdagangannya. Pemerintah dan para pelaku usaha swasta melakukan berbagai pendekatan. Mulai dari merintis kerja sama antar e-dagang dua negara, menghubungkan pembeli luar negeri dengan pelaku usaha atau industri kecil menengah, hingga mengembangkan skema imbal dagang bisnis. Strategi dan jenis produk diperluas becermin dari pengalaman diplomasi kopi dan mi instan.
Kepala Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) Lagos, Nigeria, Hendro Jonathan, Selasa (24/8/2021), mengaku tak puas jika hanya melanjutkan diplomasi mi instan di Nigeria. Keragaman produk Indonesia perlu terus ditingkatkan melalui perdagangan konvensional maupun elektronik atau e-dagang.
“Kami tengah menjajaki kerja sama antar e-dagang Nigeria-Indonesia untuk meningkatkan keragaman produk Indonesia yang dijual di Nigeria. Tak cukup hanya mengandalkan kepopuleran mi instan Indonesia yang sudah berinvestasi besar di Nigeria,” ujar Hendro dalam pertemuan terbatas secara virtual.
Pada 2019, Nigeria menempati urutan ke-12 dunia dalam konsumsi mi instan. Per tahun, warga Nigeria mengkonsumsi 1,76 miliar bungkus mi instan. Ada 16 merek mi instan yang beredar di negara itu. Salah satunya adalah merek dari Indonesia, yang menguasai sekitar 74 persen pasar mi instan di negara tersebut.
Belakangan ITPC Lagos ingin membuat terobosan baru dengan menjembatani kerja sama Konga.com dengan salah satu platform e-dagang Indonesia. Konga.com adalah salah satu platform e-dagang Nigeria berbasis di Gbagada, Negara Bagian Lagos, yang didirikan pada 2012. Kerja sama itu, kata Hendro, diperlukan untuk membangun perusahaan hub e-dagang yang memungkinkan Indonesia bisa lebih mudah menjual produk ke Nigeria dan masuk dalam ekosistem logistik e-dagang tersebut.
KOMPAS/CAECILIA MEDIANA
Suasana produksi mi instan Indomie di pabrik Salim Wazaran Maghreb Manufacturing Tiflet, Khemisset, Maroko, Selasa (26/6/2018). Produk mi instan asal Indonesia itu menguasai sekitar 74 persen pasar mi instan di Nigeria.
Melalui kerja sama itu, pelaku usaha atau industri Indonesia diharapkan bisa memiliki toko daring di Konga.com atau setidaknya dicantumkan sebagai sumber tautan (link source) di sejumlah toko daring merchant lokal Nigeria. Selama ini, lanjut Hendro, sejumlah produk Indonesia yang dijual di sejumlah e-dagang di Nigeria melalui pihak ketiga, bukan oleh produsen Indonesia.
Produsen tersebut bahkan tidak tahu bahwa produknya sudah sampai Nigeria. Selain itu, banyak pedagang dari negara lain, seperti China, menjual produk-produk mirip Indonesia, seperti batik dan busana muslim. “Jika hal ini terus berlanjut atau dibiarkan saja, brand (merek dagang) Indonesia yang memproduksi produk aslinya justru tidak pernah dikenal di Nigeria,” imbuh Hendro.
Skema imbal dagang
Indonesia juga membuat terobosan baru mengembangkan kerja sama perdagangan bilateral berskema imbal dagang dari pemerintah untuk pemerintah (G to G) menjadi bisnis untuk bisnis (B to B). Dalam 1,5 bulan, Kementerian Perdagangan menandatangani nota kesepahaman (MoU) kerja sama berskema imbal dagang secara B to B dengan Meksiko, Rusia, dan Jerman. Tahun ini, MoU dengan Jerman ditandatangani pada 12 Agustus, Meksiko pada 2 Juli, dan Rusia pada 4 Agustus.
Perusahaan milik negara PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) atau PPI ditunjuk sebagai Badan Pelaksana Imbal Dagang Indonesia dengan badan pelaksana imbal dagang masing-masing negara itu. Dengan Jerman misalnya, PT PPI akan bertransaksi dengan Saffron Group Company Ghassem Hassanzadeh.
Beberapa produk Indonesia yang dapat didorong ekspor ke Jerman meliputi mesin cetak dan fotokopi, alas kaki olahraga, bijih tembaga, resistor listrik, kelapa sawit, karet, dan cokelat. Adapun produk yang kerap diimpor dari Jerman antara lain mesin, produk logam seperti besi, baja, aluminium, obat-obatan dan alat kesehatan, kendaraan, dan pupuk.
Kepala ITPC Hamburg, Jerman, Eka Sumarwanto berkomitmen mengawal kelanjutan proses kerja sama imbal dagang tersebut. Penandatanganan MoU ini baru langkah awal kerja sama B to B antara Indonesia-Jerman. ”Kami akan mengawal transaksi riilnya mulai dari kesepakatan kontrak pembelian produk hingga pengirimannya,” ujar Eka.
Skema imbal dagang B to B ini terintegrasi dengan lembaga pembiayaan berbunga rendah, jaminan kredit, dan jasa logistik dengan margin nonkomersial. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk akan menyediakan berbagai pilihan pembiayaan berupa kredit modal kerja ataupun investasi.
BNI juga akan berperan sebagai sebagai bank pengelola atau penampung pembayaran eksportir dan importir. Sementara untuk jaminan kredit dan jasa logistik, pemerintah menggandeng PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) dan Kurhanz Trans.
Kekuatan diaspora
Pemerintah bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Sekolah Ekspor juga menggeliatkan ekspor melalui diaspora Indonesia yang menjadi pengusaha di sejumlah negara. Para diaspora tersebut bergerak di sektor perdagangan, industri, ritel, logistik, pergudangan terintegrasi dan distribusi. Balai Besar Pelatihan Pendidikan dan Pelatihan Ekspor dan Sekolah Ekspor akan bekerja sama mengurasi dan memetakan diaspora-diaspora Indonesia yang tersebar di beberapa negara. Hal itu dalam rangka membangun jaringan ekspor dari hulu hingga hilir.
Di Amerika Serikat, ada sekitar 142.000 diaspora Indonesia. Ini menjadi modal besar bagi Indonesia untuk memanfaatkan pasar negara itu. ”Dialog akan kami bangun. Data akan kami rajut untuk melengkapi pembuatan peta jalan pengembangan ekspor bagi 500.000 eksportir baru dari kalangan UMKM,” kata Handito Joewono, Kepala Sekolah Ekspor.
Baik kerja sama imbal dagang maupun diaspora, fokus utamanya diorientasikan bagi eksportir-eksportir baru, terutama dari kalangan pelaku UMKM. Hal ini sejalan dengan upaya Kadin, Kementerian Koperasi dan UKM, dan Kementerian Perindustrian yang tengah memanfaatkan momentum pandemi Covid-19 untuk mencetak eksportir-eksportir baru dari kalangan UMKM.
Dalam proses dan dinamikanya, cara-cara diplomasi lama tetap diadopsi dan terus dikembangkan. Lagi-lagi kembali melibatkan diaspora Indonesia di luar negeri. Pada 15 Juli 2021, misalnya, ITPC Chicago, meluncurkan proyek percontohan “Indonesia Coffee Diaspora” pada 15 Juli 2021 di Chicago. Berbagai kegiatan yang gelar antara lain pameran mini, seminar, sesi cupping kopi, dan penjajakan bisnis.
Acara tersebut dihadiri 27 peserta yang merupakan pengusaha diaspora Indonesia yang bergerak di bidang pengolahan biji kopi (roastery) dan kafe. Sejumlah sampel kopi yang ditampilkan antara lain Aceh Gayo yang telah mengantongi sertifikat indikasi geografis, Mandailing, Jawa Prenger, Jawa Ijen (Ijen Raung), Bali Kintamani, Flores Bajawa, dan Toraja. Kopi-kopi itu berasal dari koperasi dan pemasok perorangan. Sampel-sampel kopi tersebut lolos dengan skor di atas 80, sesuai standar kekhususan kopi dari Specialty Coffee Association.
Kepala ITPC Chicago Iska Huberta Sinurat menuturkan, sesi cupping telah memberikan pengalaman tersendiri bagi para peserta. Sesi tersebut mengubah pandangan beberapa roaster lokal. Sebelumnya, mereka memiliki preferensi yang cenderung familier dengan jenis kopi olah basah (full washed-dry hulling), seperti dari Kosta Rika.
Kendati begitu, kopi Gayo belum banyak mendapat perhatian dibandingkan dengan Sumatera Mandailing. Padahal AS merupakan barometer pasar untuk kopi Indonesia dan merupakan tujuan terbesar ekspor kopi Gayo. “Untuk itu, perlu strategi baru untuk memperkenalkan kopi Gayo dan jenis kopi lainnya ke masyarakat AS,” tutur Iska.