Tanpa Terobosan Diplomatik, Pertemuan Iran-Arab Sudah Dinginkan Ketegangan
Bagi Irak, mampu menghadirkan negara-negara yang berseteru untuk duduk dalam satu meja pertemuan dalam konferensi regional itu pun terasa sudah merupakan pencapaian yang cukup signifikan.
Oleh
pascal s bin saju
·5 menit baca
BAGHDAD, MINGGU – Para menteri luar negeri dari Iran dan negara-negara saingan di Arab Teluk menggelar pertemuan di sela-sela konferensi tingkat tinggi regional di Baghdad, Irak, Sabtu (28/8/2021). Meski tidak ada terobosan diplomatik, pertemuan itu relatif bisa mendinginkan ketegangan regional.
Pertemuan tersebut berlangsung empat bulan setelah Iran dan Arab Saudi mengadakan pembicaraan langsung di Baghdad. Menteri Luar Negeri (Menlu) Iran Hossein Amirabdollahian bertemu dengan Menlu Kuwait Sheikh Ahmad Nasser al-Mohammad al-Sabah dan Menlu Uni Emirat Arab Abdullah bin Zayed al-Nahyan.
Pertemuan mereka dikonfirmasi pejabat dari dua negara Arab Teluk itu. Tak ada penjelasan lebih detail soal isi pertemuan.
Namun, tidak ada indikasi ada pertemuan langsung antara Amirabdollahian dan Menlu Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan. Keduanya hadir dalam konferensi regional. Pejabat Irak mengatakan, pembicaraan antara Iran dan Arab Saudi telah dimulai April lalu di Baghdad dan akan terus berlanjut di masa akan datang.
”Benar-benar tidak mudah menghadirkan pejabat Arab Saudi dan Iran dalam satu ruangan,” ujar seorang sumber di kalangan diplomat Perancis. Seorang penasihat PM Irak Mustafa al-Kadhimi menyebut kehadiran menlu dari Arab Saudi dan Iran secara bersamaan itu sudah ”kesuksesan” tersendiri.
Pertemuan Iran dan negara-negara saingannya berlangsung di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Baghdad untuk Kerja Sama dan Kemitraan Regional. Beberapa kepala negara dan pemerintahan hadir, yakni Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi, Raja Jordania Abdullah II, Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani, dan Presiden Perancis Emmanuel Macron. Kuwait dan Uni Emirat Arab mengirim kepala pemerintahannya. Sama seperti Iran dan Arab Saudi, Turki mengutus menlunya, Mevlut Cavusoglu.
Belum diketahui pasti apa hasil KTT Baghdad. Irak mengatakan sebelumnya tidak terlalu berharap bakal ada terobosan diplomatik dari KTT tersebut. ”Membawa negara-negara terkait duduk dalam satu meja pertemuan, itu saja terasa sudah merupakan sebuah pencapaian yang cukup,” kata seorang pejabat Irak.
Poros utama
”Penyelenggaraan KTT tersebut menandai kembalinya Irak sebagai pemain poros utama di kawasan,” ujar Ihsan al-Shammari, analis politik yang memimpin Pusat Pemikiran Politik Irak di Baghdad. ”Menghadirkan pihak-pihak yang berseteru di satu meja merupakan langkah signifikan menuju arah tersebut.”
Irak selaku tuan rumah berusaha mendorong agar Iran mengadakan pembicaraan bilateral langsung dengan masing-masing negara Arab Teluk demi meredam ketegangan antarmereka. Peran mediasi itu dijalankan meski Irak sebenarnya masih diselimuti sejumlah masalah domestik selepas menyingkirkan milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dari benteng pertahanan terakhir di Mosul.
Para pejabat Iran mengatakan, mereka lebih fokus pada hasil pembicaraan di Vienna, Austria, dengan negara-negara yang tergabung dalam kelompok P5+1 (AS, China, Inggris, Perancis, Rusia, dan Jerman) mengenai program nuklir dan sanksi internasional. "Pertemuan di Irak ini hanya terfokus pada Irak dan bagaimana negara-negara kawasan bisa bekerja sama membantu Irak," kata seorang pejabat Iran menjelang KTT Baghdad.
Ketika para pejabat tinggi lain meninggalkan Baghdad, Presiden Macron, Minggu kemarin, masih berada di Irak untuk bertemu para pemimpin negara itu, mengunjungi pasukan khusus Perancis yang dikirim untuk ikut memerangi NIIS, dan menyambangi Mosul. ”Mengingat peristiwa-peristiwa geopolitik saat ini, konferensi (di Baghdad) menjadi titik balik khusus,” kata Macron di KTT.
Bertahan di Irak
Ia menegaskan, Perancis bakal tetap mempertahankan tentaranya di Irak guna memerangi terorisme meski AS memutuskan akan menarik diri. ”Apa pun pilihan yang diambil Amerika, kami akan tetap mempertahankan kehadiran di Irak guna melawan terorisme,” ujar Macron dalam konferensi pers.
Keamanan di Irak memang terus meningkat dan membaik dalam beberapa tahun terakhir ini setelah NIIS tumbang. Walau demikian, negara itu masih terus diganggu oleh persaingan kekuatan negara-negara besar untuk berebut pengaruh di negara itu. Korupsi juga merajalela di kalangan para politisi Irak dan para tokoh kelompok-kelompok milisi bersenjata.
Persaingan mendapatkan pengaruh di Timur Tengah antara Iran di satu sisi dan AS, Israel dan negara-negara Arab Teluk di sisi lain, menjadikan Irak sebagai salah satu medan pertempuran paling panas lainnya di kawasan.
Persaingan AS-Iran telah membawa Timur Tengah ke ambang perang setelah AS di bawah Presiden ke-45 AS, Donald Trump, membunuh petinggi militer Iran, Jenderal Qassem Soleimani, dalam serangan pesawat tak berawak di Bandara Baghdad pada tahun 2020. Milisi loyalis Iran membalas dengan menyerang dengan pesawat nirawak dan roket yang semakin canggih terhadap pasukan AS di Irak.
Selain itu, tindakan Turki mengirim pasukannya untuk memerangi kelompok-kelompok separatis Kurdi di Irak utara turut memperumit lanskap keamanan Irak yang sedang tidak stabil. Kehadiran pasukan Turki juga telah memantik tembakan roket dari milisi Irak yang berpihak kepada Iran.
Ketegangan hubungan di kawasan itu menyebabkan gangguan pasokan minyak global. Beberapa kali instalasi minyak Arab Saudi menjadi sasaran serangan. Arab Saudi menuding Iran sebagai dalang utama atas semua serangan itu, namun Teheran membantahnya. Belakangan, penarikan militer AS di Irak dan perundingan baru nuklir secara tidak langsung antara Iran dan AS turut meredakan ketegangan.
Menjelang KTT Baghdad, Wakil Presiden UEA Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum bertemu dengan Emir Qatar Sheikh Tamim. Pertemuan itu digambarkan sebagai "saudara dan teman".
Arab Saudi, UEA, Bahrain dan Mesir pada 2017 memutuskan hubungan dengan Qatar atas tuduhan bahwa Doha mendukung terorisme, yang dibantah Doha. Sejak kesepakatan dalam KTT Dewan Kerja Sama Teluk di Arab Saudi, Januari lalu, Riyadh dan Kairo telah memulihkan hubungan diplomatik, sedangkan Abu Dhabi dan Manama belum. (AFP/REUTERS/AP/SAM)