Dulu Jadi Pusat Konflik, Irak Kini Coba Jalani Peran Mediator
Jika sebelumnya kerap dijadikan ”arena permainan” pihak-pihak asing, Irak diyakini memiliki peran potensial sebagai kekuatan mediator di kawasan Timur Tengah.
Oleh
MH SAMSUL HADI
·3 menit baca
Setelah dilanda konflik beberapa dekade dan bergelut dengan infiltrasi pengaruh asing plus krisis keuangan akhir-akhir ini, Irak mulai mencoba peran baru: mediator di kawasan. Pada akhir pekan ini, Sabtu (28/8/2021), Baghdad akan menggelar hajatan penting, yakni pertemuan di antara negara-negara yang selama ini berseteru di kawasan Timur Tengah, terutama Arab Saudi dan Iran.
Sumber-sumber yang dekat dengan Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhimi menyebutkan, pertemuan pada Sabtu lusa diharapkan memberi Irak peran baru sebagai pemersatu atas krisis yang selama ini mengguncang Timur Tengah.
Kantor berita AFP, Senin (23/8/2021), melaporkan, Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi dan Raja Jordania Abdullah II menyatakan akan hadir. Begitu pula Presiden Perancis Emmanuel Macron, satu-satunya pemimpin dari luar kawasan. Perancis terlibat sebagai salah satu penyelenggara pertemuan bersama Irak.
Sumber di kepresidenan Perancis menyebutkan, Kadhimi dan Macron ingin meredakan ketegangan kawasan dengan membangun dialog, termasuk kerja sama dalam keamanan. ”Targetnya adalah menginisiasi sesuatu di (Irak) sini dan melanjutkannya setelah konferensi ini,” kata sumber di Paris.
Baghdad berharap Presiden baru Iran Ebrahim Raisi juga bisa hadir. Begitu pula diharapkan para menteri dari negara-negara Arab Teluk, termasuk Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, bergabung dalam konferensi itu.
”Bahkan jika kami mampu menghadirkan para menteri luar negeri pun dalam satu meja, (pertemuan) ini bakal menjadi terobosan untuk mengakhiri ketegangan Iran dan negara-negara Arab Teluk,” sebut seorang pejabat yang dekat dengan PM Kadhimi.
Perseteruan Arab Saudi dan Iran mewarnai ketegangan di kawasan dalam beberapa dekade terakhir. Dua negara itu mendukung pihak-pihak yang bertempur di Yaman, serta memutuskan hubungan diplomatik sejak 2016.
Ketegangan Riyadh-Teheran meningkat setelah insiden serangan atas pabrik pengolahan minyak di Arab Saudi pada 2019. Arab Saudi menuduh Iran sebagai otak serangan itu, tetapi Iran membantah tuduhan tersebut. April lalu, Saudi-Iran memulai perundingan langsung, dimediasi Irak.
Renad Mansour dari lembaga Chatham House menyebut pertemuan pada akhir pekan ini dimaksudkan untuk mentransformasi Irak dari ”negara para nabi menjadi negeri yang memimpin pelaksanaan negosiasi-negosiasi”.
PM Kadhimi mulai memimpin Irak, Mei 2020, setelah negara itu diguncang gelombang unjuk rasa selama berbulan-bulan menentang kelompok penguasa yang dituduh korup, tidak kompeten, dan subordinat dari Iran. Sebelum menjadi PM, Kadhimi menjabat Kepala Badan Intelijen Nasional Irak selama hampir empat tahun. Ia menjalin hubungan dekat dengan Teheran, Washington, dan Riyadh.
Penunjukan Kadhimi sebagai PM mencuatkan spekulasi bahwa ia akan menjalankan peran mediator bagi tiga poros ibu kota itu. ”Dulu, di bawah Saddam Hussein, Irak adalah negara yang ditakuti dan dibenci. Semua pihak melihat Irak sebagai ancaman,” ujar Marsin Alshamary, pakar politik Irak.
Setelah invasi koalisi pimpinan AS tahun 2003, Irak menjadi negara lemah dan rentan dipengaruhi kekuatan-kekuatan asing. Pada pertengahan dekade lalu, sebagian wilayah utara di negara itu porak-poranda akibat serbuan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Pertemuan puncak pada Sabtu nanti sangat penting bagi Irak untuk mengubah citranya. Jika sebelumnya kerap dijadikan ”arena permainan” pihak-pihak asing, menurut Renad Mansour, ”Irak sebenarnya memiliki peran potensial sebagai kekuatan mediator.” (AFP/REUTERS)