Barat menghadapi dilema. Pascaledakan bom di Kabul, sejumlah pemerintah terpaksa mempertimbangkan bekerja sama dengan Taliban. Di sisi lain, mereka menilai Taliban adalah organisasi teroris.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
Setelah ledakan bom di gerbang Bandara Kabul, Afghanistan, negara-negara Barat dihadapkan pada dilema soal Taliban. Secara faktual, mereka butuh Taliban untuk melawan Negara Islam di Irak dan Suriah-Khorasan. Target jangka pendek, evakuasi berjalan aman dan lancar. Jangka panjang, Afghanistan tidak menjadi sarang tumbuhnya terorisme. Di sisi lain, Taliban adalah kelompok yang selama ini melindungi teroris Al Qaeda sekaligus rezim yang melanggar hak asasi manusia.
”Sangat jelas bahwa Taliban adalah kenyataan di Afghanistan sekarang. Realitas baru ini pahit, tetapi kita harus bekerja dengannya,” kata Kanselir Jerman Angela Merkel dalam sebuah pernyataan pekan ini.
Seorang pejabat senior Uni Eropa mengatakan tidak ada alasan kuat bagi negara-negara anggota G-7 untuk bersikap agresif terhadap Taliban atas dasar alasan moral. Paling tidak karena mereka juga bersaing dengan China dan Rusia yang mengambil ancang-ancang untuk menjadi mitra pemerintahan Taliban dalam membangun kembali negeri yang porak poranda akibat perang.
Dalam beberapa hari terakhir, pejabat senior itu melanjutkan, Pakistan dan Turki mendesak negara-negara Barat untuk tidak terlalu bersikap berseberangan dan menyudutkan rezim Taliban. Kedua negara berharap negara-negara Barat menunda penerapan sanksi terhadap Kabul dan menjaga saluran komunikasi tetap terbuka guna mencegah kemunduran.
Hal itu sekaligus untuk mencegah persoalan keamanan di Afghanistan yang bisa menimbulkan efek domino di kawasan. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, efek domino itu bisa meluas ke seluruh dunia.
Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian, Jumat (27/8/2021), mengatakan, Pemerintah Perancis akan tetap mempertahankan kontak dengan para pejabat Taliban yang kini berkuasa untuk memastikan bahwa warga negara mereka dan orang-orang yang berisiko bisa dengan segera meninggalkan negara itu.
Hal senada juga dikatakan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson. Ia menyatakan, Inggris akan bekerja sama dengan Taliban jika diperlukan setelah kelompok itu memerintah kembali.
”Yang ingin saya yakinkan kepada orang-orang adalah bahwa upaya politik dan diplomatik kami untuk menemukan solusi bagi Afghanistan, bekerja dengan Taliban, tentu saja jika perlu, akan terus berlanjut,” kata Johnson.
Sementara AS memilih bekerja sama dengan Taliban sebatas untuk kegiatan evakuasi. AS tidak mengurangi tekanan sanksi terhadap Taliban yang dianggapnya sebagai organisasi teroris.
Keluarnya AS dan sekutu dari Afghanistan setelah 20 tahun, menurut mantan Duta Besar AS untuk Afghanistan, Ryan Crocker, menjadi dorongan moral bagi kelompok radikal dan kelompok teroris untuk berkembang kembali. Pengeboman Bandara Kabul oleh kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah-Khorasan (NIIS-K) adalah salah satu bukti.
Yang menjadi masalah, menurut Crocker, adalah pemerintahan Taliban saat ini belum benar-benar mengendalikan negara itu. ”Ini menjadi kondisi ideal bagi tempat berkembang biaknya tindakan semacam itu dan bagi orang-orang semacam ini untuk kembali dan mengakar. Dan itulah yang membawa kita ke masa 9/11. Kita sekarang memiliki dinamika yang sama,” kata Crocker.
Thomas Ruttig, Co-Direktur Jaringan Analisis Afghanistan, menilai, pemerintahan negara-negara Barat tidak ingin terlibat jauh dengan Taliban yang akan memberlakukan nilai-nilai ideologinya seperti ketika mereka berkuasa selama 1996-2001. Namun, negara-negara Barat juga menilai bahwa ”memberikan kuliah, mengarahkan, dan bahkan menekan” pemerintahan Taliban tidak akan membantu warga Afghanistan yang rentan.
Pascapengeboman Bandara Kabul, sikap Taliban terhadap NIIS-K belum jelas. Namun, sejak awal Agustus, kelompok NIIS-K kehilangan dua petingginya. Tak lama setelah Taliban menguasai Kabul, kelompok ini mengeksekusi petinggi NIIS-K, yaitu Abu Omar Khorasani (mantan petinggi NIIS di Asia Selatan). Satu petinggi lagi, yaitu Asadullah Orakzai, mantan pejabat intelijen NIIS-K, dibunuh pasukan elite Afghanistan awal Agustus 2021. (REUTERS)