Akibat Perubahan Iklim, Banjir Bakal Lebih Sering Landa Eropa
Hujan lebat yang memicu banjir besar, sebagaimana melanda sejumlah wilayah di Jerman dan Belgia, Juli lalu, berpeluang terjadi di wilayah-wilayah lain di Eropa. Intensitasnya lebih tinggi, arealnya lebih luas.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
BERLIN, SELASA — Publik global dikejutkan dengan banjir bandang di Jerman dan Belgia Juli lalu. Sedikitnya 190 orang tewas dalam banjir parah yang melanda bagian barat Jerman dan 38 orang lainnya di wilayah Wallonia, selatan Belgia. Kini, publik diingatkan bahwa bencana serupa berpeluang terjadi dengan intensitas yang lebih tinggi dan cakupan areal yang lebih luas, yakni merata di Benua Eropa. Ini merupakan konsekuensi dari fenomena perubahan iklim global.
Merujuk studi terbaru World Weather Attribution (WWA) yang melibatkan 39 ilmuwan yang dirilis pada Selasa (24/8/2021), curah hujan tinggi yang mencatatkan rekor sekaligus memicu banjir mematikan di Eropa Barat pada Juli berpeluang terjadi 1,2-9 kali lebih sering akibat perubahan iklim yang disebabkan manusia.
Perubahan iklim disebut telah meningkatkan intensitas curah hujan ekstrem harian sebesar 3-19 persen. Hujan paling ekstrem dapat terjadi sekali dalam kurun waktu 400 tahun.
Direktur Asosiasi Institut Perubahan Lingkungan di Universitas Oxford, Friederike Otto, menyatakan, banjir itu telah menunjukkan bahwa negara-negara maju pun tidak aman dari dampak buruk cuaca ekstrem.
”Ini adalah tantangan global yang mendesak dan kita perlu melangkah ke sana. Ilmunya jelas dan sudah bertahun-tahun,” kata Otto, salah seorang ilmuwan dalam penelitian WWA itu.
Media CNN menyebutkan, dengan menggunakan spesialisasi ilmu atribusi yang berkembang, para ahli iklim semakin mampu menghubungkan perubahan iklim akibat kegiatan manusia dengan peristiwa cuaca ekstrem tertentu. Guna menghitung peran perubahan iklim pada curah hujan yang menyebabkan banjir, para ilmuwan menganalisis catatan cuaca dan simulasi komputer untuk membandingkan iklim hari-hari ini.
Mereka berfokus pada tingkat curah hujan satu hingga dua hari. Dari situ ditemukan fakta bahwa dua daerah yang terkena dampak banjir paling parah mengalami curah hujan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada Juli lalu.
Di wilayah Ahr dan Erft di Jerman, misalnya, curah hujan mencapai 93 milimeter (mm) dalam satu hari. Adapun wilayah Meuse di Belgia mengalami curah hujan hingga 106 mm, sebuah tingkatan yang memecahkan rekor hujan paling lebat selama dua hari.
Akibat pemanasan global yang disebabkan kegiatan manusia, curah hujan setinggi itu bisa 3-19 persen lebih deras terjadi di Jerman serta Belgia, Belanda, dan Luksemburg. ”Perubahan iklim meningkatkan kemungkinan (banjir), tetapi perubahan iklim juga meningkatkan intensitasnya,” kata Frank Kreienkamp dari Dinas Cuaca Jerman.
Dengan menganalisis pola curah hujan lokal di seluruh Eropa Barat, penelitian WWA juga menunjukkan bahwa yang terjadi di Jerman dan Belgia pada Juli lalu dapat terjadi lagi di Eropa Barat. Perkiraannya, banjir dalam skala bencana di Jerman dan Belgia Juli lalu kemungkinan besar terjadi di seluruh Eropa Barat dalam jangka waktu setidaknya 400 tahun sekali.
”Itu adalah peristiwa yang sangat langka. Di sisi lain (kemungkinan bencana) itu menjadi lebih mungkin dari sebelumnya dan itu akan menjadi lebih mungkin di masa depan,” kata Direktur Pusat Iklim Bulan Sabit Merah Palang Merah Internasional Maarten van Aalst.
Para ilmuwan mengatakan bahwa mereka fokus pada curah hujan dalam penelitian ini karena data ketinggian sungai hilang setelah beberapa stasiun pengukuran hanyut terbawa banjir.
Van Aalst menambahkan, hasil penelitian harus menjadi pengingat untuk membangunkan kewaspadaan masyarakat. ”Peningkatan risiko yang kami temukan dalam penelitian ini menuntut manajemen risiko banjir, kesiapsiagaan, dan sistem peringatan dini. Sayangnya, orang cenderung abai hingga bencana itu tiba-tiba datang,” katanya kepada wartawan. (AFP/BEN)