Banjir Bandang di Eropa, Buah Getir Pemanasan Global
Sungai-sungai meluap, sementara banyak tanggul jebol, di sejumlah negara Eropa barat, mengakibatkan banjir bandang. Korban akibat banjir di negara-negara itu dilaporkan telah mencapai lebih dari 180 orang.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
BERLIN, MINGGU – Pemanasan global oleh para ilmuwan Eropa dinyatakan sebagai penyebab bencana banjir yang melanda sejumlah negara di Eropa Barat, termasuk Jerman dan Belgia. Tindakan penyelamatan lingkungan dan penanganan krisis iklim tidak bisa lagi ditunda.
Banjir ini terjadi, antara lain, di Jerman, Belgia, dan Austria. Sungai-sungai meluap dan tanggul-tanggul jebol. Di Inggris, Perancis, Swiss, Luksemburg, dan Belanda hingga Minggu (18/7/2021) siang waktu setempat masih dilanda hujan lebat yang ekstrem berdasarkan pengalaman cuaca wilayah tersebut. Pemerintah negara-negara itu telah menyuarakan siaga kalau-kalau terjadi banjir maupun genangan.
Kanselir Jerman Angela Merkle mengunjungi salah satu wilayah terdampak di Negara Bagian Rhineland-Palatinate. Di wilayah ini ada 670 orang luka-luka. Jumlah korban jiwa di Jerman saat ini mencapai 156 jiwa dan di Belgia 27 jiwa. Menteri Keuangan Jerman Olaf Scholz mengatakan, pemerintah federal telah mengalokasikan 300 juta euro untuk bantuan sosial kepada warga terdampak banjir.
Korban jiwa akibat banjir dilaporkan mencapai sedikitnya 180 orang. Korban terbanyak berada di area Ahrweiler, Jerman, yakni 112 orang. Otoritas setempat khawatir, jumlah korban masih bisa bertambah karena masih banyak orang belum ditemukan. Di Negara Bagian North Rhine-Westphalia, dilaporkan 46 orang tewas. Sedangkan Belgia mengkonfirmasi sebanyak 31 orang tewas.
Para ilmuwan di Eropa mengatakan bahwa cuaca ekstrem akan semakin sering terjadi akibat dari krisis perubahan iklim, terutama pemanasan global. Saat ini, persoalannya bukan lagi apakah perubahan iklim akan membuat kerusakan alam, melainkan sejauh mana perubahan iklim akan merusak alam?
Tanda-tanda krisis ekstrem belakangan ini adalah kasus banjir di India awal tahun ini, lalu disusul gelombang panas di Amerika Serikat dan Kanada yang menewaskan ratusan orang. Di sejumlah tempat di Kanada suhu mencapai 46 derajat Celcius. Kini, Eropa bagian barat juga terkena imbasnya.
“Setiap kenaikan suhu 1 derajat celsius, atmosfer Bumi akan menyerap kelembapan 7 persen lebih banyak,” tutur ilmuwan dari Institut Kajian Ilmu Atmosfer dan Iklim Zurich, Swiss, Sebastian Sippel, dalam wawancara dengan media Jerman, Deutsche Welle.
Semakin tingginya suhu Bumi, lanjut Sippel, berarti semakin banyak uap air di atmosfer. Uap ini kemudian jatuh ke Bumi berupa hujan lebat dan akan semakin lebat apabila tidak ada upaya penghentian pemanasan global.
Laporan PBB-NASA
Laporan krisis iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa mengungkapkan bahwa suhu Bumi hanya kurang 1,5 derajat celsius dari suhu yang akan mengakibatkan kerusakan permanen pada kubah-kubah es. Jika gletser dan es di Arktik dan Antartika meleleh, dampaknya tidak akan bisa diperbaiki.
Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) dalam laman resminya juga mengatakan, ada perubahan pergerakan bulan dalam orbitnya. Fenomena ini terjadi 18 tahun sekali. Akan tetapi, dengan kondisi alam seperti ini, di tahun 2030 pergerakan bulan ini akan mengakibatkan pasang dan surut air laut secara ekstrem.
Uni Eropa pekan lalu menerbitkan aturan pajak karbon bagi semua komoditas impor. Mereka menargetkan di tahun 2030 emisi karbon UE berkurang 55 persen. Target utamanya adalah dekarbonisasi total atau nol emisi karbon di tahun 2050. Semua negara di wilayah itu per tahun 2035 harus sepenuhnya mengoperasikan kendaraan pribadi dan umum non bahan bakar minyak.
Aturan ini pun dianggap oleh sejumlah pegiat lingkungan masih kurang karena tidak drastis. Jika manusia tidak menginginkan suhu Bumi naik 1 derajat celcius lagi, harus ada langkah dan sanksi yang tegas memastikan tidak ada emisi karbon sama sekali.
Bagi negara-negara berkembang maupun negara industri yang masih mengandalkan batubara dan minyak, aturan tersebut tidak bisa langsung diadaptasi karena akan mematikan ekonomi mereka. (AFP/REUTERS)