Ketidakstabilan di Afghanistan akan membawa ketidakstabilan antara Asia Selatan dan Timur Tengah yang tentunya akan menambah ketidakstabilan global.
Oleh
Edna C Pattisina
·6 menit baca
”For you, a thousand times over,” kata Amir menirukan ucapan Hassan, teman masa kecilnya, kepada Shorab, anak Hassan, bertahun-tahun kemudian ketika Hassan telah tewas dibunuh Taliban. Amir dan Shorab bermain layang-layang di San Fransisco, Amerika Serikat, sama ketika dulu Amir dan Hassan bermain layang-layang di Kabul, Afghanistan.
Awal novel Kite Runner yang menceritakan tentang hubungan keluarga dan persahabatan menggambarkan senangnya Amir dan Hassan bermain layang-layang. Angin yang menaikkan layang-layang yang menari-nari di udara memang jadi imaji masa kecil banyak orang, termasuk kita di Indonesia. Tidak heran, Khaled Hosseini, seorang dokter penyakit dalam di AS yang lahir di Afghanistan, menulis novel ini karena kekecewaannya pada rezim Taliban yang melarang warga Afghanistan bermain layang-layang tahun 1998.
Kini setelah Taliban kembali menguasai Afghanistan, dunia menunggu apa yang selanjutnya akan terjadi pada Afghanistan.
Dalam diskusi yang diadakan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Kamis (19/8/2021), dengan judul ”Kemenangan Taliban di Afghanistan dan Implikasinya”, KH As’ad Said Ali, Wakil Ketua Umum PBNU 2010-2015 yang juga mantan Wakil Ketua Badan Intelijen Negara (BIN), mengatakan, janji-janji perubahan yang disampaikan kelompok Taliban masih perlu diuji konsistensinya.
Beberapa parameter yang perlu dilihat adalah apakah Taliban akan melibatkan semua pihak dalam pemerintahan, dan bagaimana penghormatan hak asasi manusia serta perempuan. Juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, dalam konferensi pers mengatakan, Taliban akan menampilkan wajah moderat.
Agama dan budaya
Taliban yang ada di Afghanistan hari ini memang berbeda dengan Taliban tahun 1990-an ketika dipimpin Mullah Omar. Zacky Khoirul Umam, pemerhati dunia Islam, salah satu pembicara dalam acara daring yang diselenggarakan Lakpesdam, mengatakan, Mullah Omar-lah yang menerapkan larangan untuk bermain layang-layang walaupun hal ini tidak ada di hukum Islam. ”Main catur juga tidak boleh,” ujar Zacky.
Nasir Abbas, mantan pentolan kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI), bercerita, dirinya pernah berlatih beberapa tahun di kamp militer di Afghanistan di awal tahun 1990-an. Banyak yang terkejut ketika tahun 1993 Taliban muncul. Saat itu, Afghanistan diperintah oleh para mujahidin yang terdiri dari tujuh organisasi yang secara ideologi juga berbeda-beda.
Taliban yang merupakan gerakan para santri kemudian menang melawan rezim yang korupsi dan tidak solid saat itu. Santri-santri ini menganut tradisi Deobandi yang berasal dari India utara. Taliban mulai menguasai Afghanistan tahun 1996.
Taliban menang tidak hanya karena banyak senjata, tetapi juga karena budaya. Orang Afghanistan menghormati kiai. Mereka tidak akan berani membantah mullah-nya karena merasa berdosa. Hal ini yang membuat perjuangan Taliban didukung banyak rakyat Afghanistan kala itu.
Cerita Nasir Abbas, kebanyakan orang Afghanistan menganut Mazhab Hanafi. Yang berbeda dengan mereka langsung dicap Wahabi sehingga Nasir harus menyesuaikan cara shalat dan wudhu. Mazhab ini mengizinkan orang Afghanistan untuk memakai jimat. Bahkan, kambing pun diberi jimat.
Tentang hubungan dengan perempuan, Nasir mengatakan, kulturnya secara umum posisi perempuan ada di bawah laki-laki. Misalnya, kalau suami memukul istri, istri akan berterima kasih. Selain itu, istri hanya boleh berjalan di belakang suami, dan anak yang dihitung hanya anak laki-laki.
Anak perempuan dinikahkan pada usia 12-13 tahun juga dianggap wajar sebagai bagian dari budaya. ”Kalau Mazhab Hanafi memungkinkan perempuan jadi hakim, tetapi kulturnya Afghan tidak begitu,” kata Nasir.
Kultur dan agama jalin-menjalin membentuk nilai-nilai orang Afghanistan. Hal ini yang disebut Pasthun-Wali, tradisi suku Pasthun, mayoritas di Afghanistan yang tidak bertentangan dengan Islam. Tradisi ini kemudian bentrok ketika Taliban datang dengan mazhbab yang ekstrem.
Nasir menangkap bahwa orang Afghan paling pantang disakiti. Mereka akan membalas dengan sama kerasnya. Oleh karena itu, kalau pemerintah menggunakan kekerasan kepada rakyat, rakyat pasti membalas. Di sisi lain, mereka sangat memuliakan tamu walaupun tamu itu mempermainkan adat mereka.
”Tapi, jangan coba-coba buang angin di depan orang Afghan, suami istri aja bisa cerai,” kata Nasir.
Taliban, Al Qaeda, dan Jamaah Islamiyah
Secara politik, Taliban bukan bagian dari Al Qaeda atau Mujahidin. Taliban berjuang untuk kepentingan nasionalnya, termasuk untuk memerangi berbagai faksi di sana. Faksi-faksi di Afghanistan tidak hanya punya sumber penghasilan sendiri, seperti ladang opium, tetapi juga punya pasukan masing-masing dan pabrik senjata. ”Taliban tidak melakukan operasi di luar negeri. Mereka menolak politik islamis Maududi, Iran, dan revolusi model Khomeini,” kata Zacky.
Ketika Taliban menguasai Kabul tahun 1996, mereka mulai dengan mengeksekusi dengan menggantung presiden sebelumnya. Osama bin Laden yang datang tahun 1997 dianggap tamu dimuliakan, sesuai dengan kultur Afghanistan. Ia menikah dengan anak Mullah Omar.
Untuk Osama, Mullah memberikan wilayah Kandahar untuk kamp pelatihan militer yang diberi nama Al Qaeda. Karena Osama inilah, AS menyerang Afghanistan. Sementara Afghanistan menjaga Al Qaeda karena mereka menjaga tamu dan wilayahnya.
Nasir Abbas mengingat, Abu Bakar Baasyir mengirim banyak pendukung Jamaah Islamiyah pada era Mujahidin berkuasa di Afghanistan tahun 1980-1990-an, termasuk dirinya. Pada saat itu memang banyak teroris dari beberapa negara, termasuk Indonesia yang datang ke Afghanistan untuk belajar bertempur. Akan tetapi, mereka tidak ingin berperang untuk Afghanistan, tetapi ingin menjalankan teror di negara masing-masing.
Namun, ketika Taliban berkuasa tahun 1996, tiba-tiba kamp Jamaah Islamiyah ditutup. Cerita Nasir, Taliban bahkan sempat menyita satu kontainer senjata JI yang hendak dikirim ke Indonesia. ”Saya dulu ikut mempersiapkan pengiriman satu kontainer itu, duluuuu….,” kata Nasir tertawa.
Lepas dari politik Taliban, kemenangan Taliban saat ini bisa menjadi kerangka narasi euforia kelompok Islam radikal di Indonesia. Pasalnya, mereka menganggap Taliban sebagai contoh sukses sesama pejuang untuk menegakkan agama. Taliban jadi kebanggaan dan motivasi.
Namun, baik Nasir maupun As’ad Said Ali melihat bahwa Taliban sendiri kemungkinan besar sedang berubah. Nasir mengatakan, Taliban sudah mengatakan bahwa ia tidak akan membiarkan Afghanistan jadi tempat latihan teroris. Mereka tidak akan membiarkan teroris, seperti Osama bin Laden, tinggal di Afghanistan.
Sementara itu, As’ad belum mendengar soal sikap Taliban terhadap Al Qaeda dan NIIS. Ia mengatakan, ada informasi yang menyebutkan, pasukan Al Qaeda masih tersebar di 15 provinsi di Afghanistan. ”Abdurrahman Al-Baghdadi (pemimpin NIIS) pernah mengatakan bahwa medan jihad yang baru nanti adalah Afghanistan,” kata As’ad.
As’ad mengatakan, kuncinya adalah di kemampuan Taliban mengendalikan Al Qaeda dan NIIS di wilayahnya. Dari sini akan terlihat wajah Taliban yang moderat atau ekstrem. Hal ini tak mudah karena wilayah-wilayah perbatasan bukan dikuasai militer, melainkan faksi-faksi atau suku-suku yang sulit dikalahkan militer.
Menurut As’ad, kepergian AS dari Afghanistan juga masih harus dilihat apakah memang bagian dari rencana besar. Pasalnya, sejak tahun 2013 telah ada Biro Taliban di Doha, Qatar. As’ad mengatakan, jika kemenangan Taliban saat ini muncul alamiah tanpa persiapan atau tidak ada skenario, mereka akan menghadapi berbagai persoalan dan mungkin akan bernasib seperti Mujahidin.
Ketidakstabilan di Afghanistan akan membawa ketidakstabilan antara Asia Selatan dan Timur Tengah yang tentunya akan menambah ketidakstabilan global. Bukannya menjadi tempat nyaman di mana anak-anak bebas bermain layang-layang, Afghanistan bisa menjadi layang-layang putus dalam permainan geopolitik dunia.