Proses Persetujuan Visa Lama, Evakuasi dari Kabul Tersendat
Ribuan warga Afghanistan ingin segera meninggalkan Kabul karena takut jadi sasaran kebijakan represif Taliban. Namun evakuasi berjalan lambat. Lamanya proses persetujuan permohonan visa jadi salah satu faktornya.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
KABUL, JUMAT — Sampai dengan Jumat (20/8/2021), evakuasi warga Afghanistan yang ingin meninggalkan negaranya masih terus tersendat. Selain persoalan teknis di lapangan, situasi ini juga disebabkan menumpuknya permohonan visa yang belum disetujui negara tujuan.
Menyusul penguasaan Taliban terhadap Kota Kabul dan Afghanistan secara umum, ratusan ribu warga Afghanistan bermaksud meninggalkan negaranya. Mereka takut akan diburu dan dihukum Taliban. Sebagian besar adalah mereka yang pernah bekerja untuk misi Amerika Serikat dan negara sekutu, serta misi Perserikatan Bangsa-bangsa.
Juru bicara Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS), John Kirby, mengakui, evakuasi dari Kabul sulit. Sebab, banyak orang yang akan dievakuasi tidak bisa masuk bandara karena berbagai alasan. Hal itu mengakibatkan setiap hari rata-rata 2.000 orang dievakuasi. Padahal, kapasitas pesawat evakuasi bisa sampai 9.000 orang sehari.
Menurut Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price, jumlah waga AS dan keluarganya di Afghanistan tidak diketahui secara pasti. Taksiran kasar setidaknya sekitar 15.000 orang, di luar pegawai pemerintah. Selain itu, ada puluhan ribu warga Afghanistan yang termasuk akan dievakuasi.
Pada 15 Juli 2021, juru bicara Gedung Putih, Jen Psaki, mengungkap adanya 20.000 permohonan visa imigran khusus (SIV). Visa itu diberikan kepada warga Afghanistan yang pernah bekerja untuk militer dan Pemerintah AS. Mayoritas permohonan belum selesai diproses. Bahkan, proses nyaris berhenti sama sekali sejak Kedutaan Besar AS di Kabul dikosongkan menyusul masuknya Taliban ke Kabul pada 15 Agustus 2021.
”Kalau Imam tidak aman di masjid atau anak perempuan tidak aman di sekolah, bagaimana mungkin kami akan aman. Taliban tidak akan mengampuni kami. Mereka akan memenggal kami,” kata mantan penerjemah pasukan AS 2018-2020, Amid Mahmoodi, yang sudah mengajukan SIV sejak 2020 dan sampai sekarang belum dikabulkan.
Berbagai pihak menaksir, puluhan ribu warga Afghanistan bekerja untuk pasukan AS dan sekutunya selama 20 tahun terakhir. Jumlah pastinya tidak jelas karena masa kerja mereka berbeda-beda. Mereka yang pernah bekerja pun belum tentu bisa diterima.
Baca juga: Taliban Belum Selesai dengan Saigon 2.0
Inggris mengharuskan masa kerja minimal dua tahun dan tidak dipecat karena pelanggaran. AS dan Jerman mengajukan syarat yang kurang lebih sama. Padahal, banyak warga Afghanistan yang masa kerjanya untuk misi AS dan sekutunya kurang dari dua tahun. Meski demikian, mereka telanjur tercatat pernah bekerja untuk pasukan asing sehingga rawan diburu Taliban.
Salah seorang yang gelisah menunggu persetujuan permohonan visa adalah Waheedullah Hanifi. Warga Afghanistan itu mengajukan berkas ke Pemerintah Perancis sejak 2019. Sampai sekarang, Paris tidak membalas permohohan Hanifi. ”Tentara Perancis mengkhianati kami,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Amal yang pernah menjadi penerjemah pasukan Spanyol pada 2007-2013. ”Kami memohon Pemerintah Spanyol menyelamatkan kami,” ujarnya.
Direktur Asia pada Human Rights Watch, Patricia Gossman, mengatakan, mantan pekerja untuk pasukan dan pemerintah asing berpeluang besar menghadapi pembalasan dari Taliban. ”Seharusnya (AS dan sekutunya) berkomitmen membantu warga Afghanistan yang terancam karena bekerja untuk pasukan asing. Negara-negara yang keluar dari Afghanistan amat lamban mengurus evakuasi bagi mantan pekerja,” ujarnya.
Negara-negara Eropa dan AS bersikeras menggunakan jalur normal untuk memproses visa bagi orang-orang terancam itu. Bahkan, pemerintah berbagai negara itu dengan jelas menegaskan tidak ada jaminan permohonan akan dikabulkan. Padahal, jalur normal butuh waktu lama. Sementara para pemohon terancam kehilangan nyawa karena telah membantu pasukan berbagai negara itu selama pendudukan Afghanistan.
Baca juga: Beragam Wajah Taliban
Sementara itu, Taliban dilaporkan gencar memburu orang-orang yang membantu pasukan asing dan mantan aparat keamanan Afghanistan dalam 20 tahun terakhir. Perburuan juga dilancarkan kepada anggota keluarga mereka. Ada ratusan ribu orang terancam oleh perburuan itu.
Anggota DPR Amerika Serikat (AS), Jason Crow, mengatakan, Taliban menyita berkas Direktorat Keamanan Nasional Afghanistan. Dalam berkas itu tercantum orang-orang yang pernah bekerja untuk pemerintah dan pasukan AS di Afghanistan. ”Mereka mencari orang-orang itu. Saya menerima foto Taliban menggeledah rumah orang yang jadi sasaran,” ujarnya, Kamis (19/8/2021) siang waktu Washington atau Jumat dini hari WIB.
Dalam laporan dari RHIPTO Norwegian Center for Global Analysis juga diungkap informasi senada. RHIPTO juga melaporkan, mantan pegawai dan aparat Afghanistan di masa pemerintahan Hamid Karzai dan Ashraf Ghani juga diburu Taliban. ”Jika sasaran tidak ditemukan, keluarga mereka ditangkap. Sasaran utama adalah tentara, polisi, dan penyidik,” demikian terungkap di laporan itu.
Dalam laporan RHIPTO dicantumkan surat Taliban kepada seorang mantan perwira polisi di Kabul. Perwira yang tidak diungkap namanya itu pernah bekerja di unit antiteror. Surat itu dengan jelas menyebut keluarga perwira tersebut akan ditangkap jika dia tidak menyerahkan diri.
Baca juga: Puluhan Ribu Warga Afghanistan Menanti Evakuasi
Salah satu yang diburu Taliban adalah mantan perwira polisi di Helmand dan Ghazni, Mohammad Khalid Wardak. Pada Kamis siang, sejumlah pejabat AS menyebut Khalid sudah dievakuasi. Selama berhari-hari, Khalid dan keluarganya berpindah-pindah untuk menghindari penangkapan.
Khalid dan keluarganya tidak bisa menuju Bandara Kabul. Sebab, jalan-jalan menuju bandara dipenuhi milisi Taliban dan wajahnya amat dikenal banyak milisi.
Selama bertahun-tahun, Khalid membantu tentara AS memburu milisi Taliban dan Al Qaeda. Pada 2015, ia kehilangan separuh kaki kanannya karena ledakan granat milisi. Pada Juli 2021, ia kembali cedera karena ledakan mortar Taliban. (AFP/AP/REUTERS/RAZ)