Kembali berkuasanya Taliban di Afghanistan membuat negara-negara asing kini berebut, bahkan saling sikut, untuk mengeluarkan warga mereka dari negara itu secepat mungkin.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
Khan (34) menyesali keputusannya tidak membawa serta Zainab, sang istri, untuk terbang ke Amerika Serikat sejak beberapa tahun lalu untuk melanjutkan pendidikannya. Meski begitu, tidak berarti dirinya dan Zainab tidak berupaya sejak jauh hari.
Khan, dikutip dari situs NPR.org, mengatakan, hampir dua tahun terakhir Zainab terus berupaya untuk mendapatkan izin tinggal di AS, mengikuti dirinya yang kini tinggal di Texas. Menurut Khan, seharusnya pada Mei lalu, dia sudah melakukan wawancara dengan staf Kedutaan Besar AS di Kabul. Namun, wawancara itu urung dilakukan.
Entah menipis atau tidak, setelah Taliban menguasai Kabul dan Pemerintah Afghanistan, Khan merasakan peluang bagi Zainab untuk keluar semakin kecil. Berbulan-bulan lamanya sang istri, pemilik gelar master, memilih tidak meninggalkan rumah karena takut pembalasan atas mereka yang memiliki hubungan kerja dengan AS ataupun pasukan sekutu.
Selain itu, kini Taliban juga menyisir setiap rumah, dari pintu ke pintu, mengidentifikasi individu yang pernah bekerja sama dengan AS.
”Ini seperti meninggalkan seseorang di tengah laut, di lokasi antah berantah, dan Anda tidak pernah tahu kapan seseorang akan bisa menjemput Anda. Dia sedang tenggelam. Hampir tenggelam,” katanya.
Sikut-menyikut
Hampir semua negara yang memiliki kegiatan atau perwakilan diplomatik kini berebut untuk secepat mungkin mengeluarkan warganya dan orang-orang yang pernah bekerja dengan mereka keluar dari Afghanistan. Amerika Serikat memiliki sekitar 15.000 warga yang tinggal dan bekerja di Afghanistan. Angka ini di luar militer yang memang bertugas di negara tersebut.
Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengatakan, mereka memiliki batas waktu hingga 31 Agustus untuk mengevakuasi seluruh warganya dan juga warga Afghanistan yang pernah bekerja dengan mereka, keluar dari negara itu secepat mungkin. Yang menjadi masalah, ketika Taliban telah menguasai Kabul, AS tidak memiliki keleluasaan bergerak menjangkau mereka yang ada di luar Bandara Kabul, bahkan yang masih berada di pelosok.
Pada saat yang sama, Taliban mendirikan pos-pos pemeriksaan yang membuat warga AS ataupun warga Afghanistan yang akan dievakuasi sulit mencapai bandara. Seorang pejabat senior militer AS di Afghanistan mengatakan, mereka tengah mengupayakan agar semua WN AS dan warga Afghan yang bekerja untuk AS bisa lolos dari pos-pos pemeriksaan Taliban.
Untuk saat ini, kata Austin, mereka akan mengevakuasi semua orang yang secara fisik bisa dievakuasi sesegera mungkin. Sejauh ini, Washington telah membawa sekitar 3.200 orang dalam 13 penerbangan.
Percepatan evakuasi dilakukan dengan menambah jumlah penerbangan menjadi sekitar 24 penerbangan per hari.
Meski bandara bukan wilayah eksklusif AS, arogansi militer AS terjadi dalam situasi yang tidak terkendali. Seorang warga Belanda mengaku mendapat ancaman akan ditembak jika tidak menjauh meski dia telah menunjukkan paspor Belanda miliknya.
”Dua penjaga gerbang bandara adalah militer AS. Saya sudah menunjukkan paspor saya dan mengatakan saya orang Belanda. Tiga kali saya mengatakan begitu, tapi mereka menyuruh saya menjaga jarak. Kalau tidak, dia akan menembak,” kata seorang pria kepada media Belanda, NOS.
Menteri Luar Negeri Belanda Sigrid Kaag mengatakan, militer AS hanya memberi waktu pesawat mereka 30 menit di landasan sebelum memerintahkan untuk segera lepas landas. ”Kami butuh waktu lebih banyak,” kata Kaag.
Namun, pesawat pengangkut Belanda berhasil mengevakuasi 35 warganya pada Rabu (18/8/2021) dan mereka diturunkan di Tbilisi, ibu kota Georgia. Warga Belanda lain yang tertinggal akhirnya diangkut oleh pesawat angkut Perancis, A400M, bersama dengan warga Afghanistan, Perancis, serta Irlandia dan Kenya.
Sementara Pemerintah Inggris telah menerbangkan lebih dari 300 warganya dan sekitar 2.000 warga Afghanistan yang bekerja untuk Inggris.
Pemerintah Jerman mengatakan telah membawa sekitar 500 orang, termasuk 202 warga Afghanistan, dalam proses evakuasi mereka. Menlu Jerman Heiko Maas mengakui adanya gesekan antara militer AS dan Jerman pada malam pertama proses evakuasi dimulai, terutama karena AS memprioritaskan warga mereka untuk bisa mengakses bandara.
Para diplomat India yang telah menutup kegiatannya sejak beberapa pekan lalu membutuhkan pengawalan Taliban untuk bisa sampai ke bandara. Jarak 5 kilometer dari kantor misi diplomatik menuju ke bandara harus ditempuh selama lima jam.
India telah menjadi sekutu setia Pemerintah Afghanistan yang digulingkan. Ketegangan terjadi antara 150 warga negara dan diplomat yang berkumpul di kantor misi yang sekarang ditutup.
Akan tetapi, ketika kendaraan pertama dari hampir dua lusin kendaraan melaju keluar dari kedutaan pada Senin malam, beberapa anggota Taliban bersenjata lengkap melambai dan tersenyum kepada para penumpang. (AFP/AP)