Wajah Gamang Dunia Ketika Taliban Kembali Berkuasa
Dunia masih terperangah. Sebagian mencoba encerna fakta bahwa Kabul telah jatuh ke tangan Taliban. Sejumlah pihak pesimis dengan masa depan Afghanistan, tetapi sebagian pihak lainnya mencoba bersikap realistis.
Jalan-jalan di kota Kabul, Rabu (18/8/2021), tampak sepi. Yang terlihat adalah patroli oleh anggota Taliban. Sambil menenteng senapan serbu, mereka berkeliling dan sebagian berjaga-jaga di sejumlah sudut kota.
Sejak Senin lalu, sehari setelah Taliban menduduki Kabul, kota itu sunyi. Kantor-kantor pemerintah kosong. Situasinya berbanding terbalik dengan kekacauan di Bandara Kabul di mana warga yang berupaya melarikan diri melalui jalur udara.
Seorang pembuat naan, roti khas Afghanistan, Gul Mohammed Hakim, coba mencerna fakta di depan matanya. ”Aneh rasanya, duduk sambil melihat jalanan yang kosong, tidak ada lagi konvoi diplomatik, atau iring-iringan kendaraan besar dengan senapan terpasang,” kata Gul.
Ketika orang sibuk melarikan diri, Gul memilih untuk tinggal. ”Saya akan berada di sini untuk membuat roti, tetapi hasilnya bakal sangat sedikit. Para penjaga keamanan yang adalah teman saya telah pergi,” katanya.
Setelah Kabul jatuh, Gul belum memiliki pelanggan baru. Namun, macetnya usaha roti bukan satu-satunya perkara yang menyita perhatian Gul. ”Perhatian pertama saya adalah menumbuhkan janggut saya dan bagaimana menumbuhkannya dengan cepat,” katanya. ”Bersama istri, kami memeriksa apakah persediaan burqa yang kami miliki cukup untuk dia dan anak-anak perempuan kami.”
Mau tidak mau, Gul harus beradaptasi lagi dengan situasi—yang sejatinya—tidak benar-benar baru. Ketika Taliban berkuasa di Afghanistan pada 1996-2001, para pria tidak diizinkan memangkas janggut mereka. Sementara itu, perempuan diharuskan mengenakan burqa saat berada di tempat umum.
Dalam jumpa pers pertama yang digelar Selasa lalu, juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, menegaskan, pihaknya ingin menjalin relasi damai dengan semua negara di dunia. Taliban juga menyatakan akan menghormati hak-hak perempuan. Mereka diizinkan untuk bekerja dan belajar serta aktif dalam kehidupan sosial sebagaimana ada dalam kerangka hukum Islam. ”Kami tidak ingin memiliki musuh di luar dan di dalam (Afghanistan),” kata Zabihullah.
Baca juga: Setelah Taliban Berkuasa Lagi
Sejauh mana implementasi dari janji atau komitmen itu terwujud, bagi warga Afghanistan seperti Gul atau Sherzad Karim Stanekzai, yang memiliki toko karpet dan tekstil di Kabul, pilihan mereka adalah bertahan menghadapi fakta yang ada.
”Saya benar-benar terkejut. Masuknya Taliban membuat saya takut, tetapi (Presiden Ashraf) Ghani meninggalkan kami semua dalam situasi seperti ini, hal itu adalah yang terburuk,” kata Sherzad. ”Dalam perang ini, saya kehilangan tiga saudara, sekarang saya harus melindungi bisnis saya.”
Sherzad mengatakan, ia tidak tahu dari mana pelanggan berikutnya akan datang. Yang jelas, katanya, dalam waktu dekat tidak akan ada orang asing berkunjung ke Kabul.
Gamang
Dalam konteks yang lebih besar, kegamangan serupa tentu juga dihadapi oleh negara-negara di dunia.
Pihak Gedung Putih mengatakan, Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson sepakat menggelar pertemuan virtual dengan para pemimpin negara-negara anggota G-7. Pertemuan akan membahas strategi dan pendekatan bersama untuk Afghanistan.
Sementara itu, minggu depan, Dewan Hak Asasi Manusia PBB akan mengadakan sesi khusus di Geneva untuk membahas isu ”masalah hak asasi manusia yang serius” setelah Taliban kembali menguasai Afghanistan. Koordinator Misi Kemanusiaan PBB untuk Afghanistan, Ramiz Alakbarov, mengatakan, pihak Taliban telah berbicara dengan PBB dan coba menyakinkan lembaga itu bahwa Taliban siap untuk menggelar misi kemanusiaan di Afghanistan.
Namun, di sisi lain, kelompok perempuan meragukan janji itu. Aktivis pendidikan anak perempuan Afghanistan, Pashtana Durrani, mengatakan, Taliban harus membuktikan pernyataan mereka.
Baca juga: Taliban Berjanji, Dunia Tunggu Bukti
”Saat ini mereka tidak melakukannya,” kata Pashtana. Saat Taliban menguasai kota-kota di Afghanistan, sejumlah perempuan pekerja diperintahkan untuk pulang.
Terkait dengan komitmen Taliban pada isu hak perempuan, Penasihat Keamanan Nasional Biden, Jake Sullivan, mengisyaratkan Washington memiliki beragam opsi, seperti sanksi dan isolasi internasional. Selain itu, menurut seorang pejabat AS, Washington dapat memblokir akses pada dana milik Pemerintah Afghanistan yang disimpan di AS, termasuk di antaranya cadangan emas senilai 1,3 miliar dollar AS.
Sementara itu, sikap lebih tegas ditunjukkan PM Kanada Justin Trudeau. Ia mengatakan, Ottawa tidak akan mengakui pemerintahan Taliban.
Di sisi lain, ada negara-negara yang memiliki sikap agak berbeda. Usai bertemu dengan Taliban di Kabul, Duta Besar Rusia untuk Afghanistan Dmitry Zhirnov mengatakan, pertemuan kedua pihak berjalan ”positif dan konstruktif”.
Beijing juga memiliki sikap lebih moderat. Sekitar dua minggu sebelum Taliban merebut kekuasaan, Menteri Luar Negeri China Wang Yi menjamu delegasi Taliban di Beijing. Sehari setelah Taliban menduduki Kabul, Beijing mengatakan, pihaknya siap untuk memperdalam hubungan ”persahabatan dan kooperatif” dengan Afghanistan.
Sikap Beijing yang tidak berminat untuk campur tangan urusan internal di Afghanistan memberi sinyal positif pada Taliban. Analis politik independen di Beijing, Hua Po, mengatakan, seiring transisi kekuasaan ke tangan Taliban, China memiliki kepentingan besar untuk melindungi investasi dan keamanan warga China.Selain Prakarsa Sabuk dan Jalan, China juga perlu memastikan kelompok-kelompok separatis Uighur tidak kembali ke Xinjiang. Di sisi lain, Taliban juga memahami bila mereka menginginkan hubungan baik dan menguntungkan dengan China, mereka harus ”mengabaikan” isu Uighur. Hal itu tampak dari pernyataan seorang juru bicara Taliban, Mohammad Naeem, yang menegaskan bahwa ”tanah Afghanistan tidak akan digunakan untuk melawan keamanan negara mana pun”.
Potensi sumber daya alam, seperti deposit tembaga dan litium, yang melimpah di Afghanistan akan menjadi ”perekat” relasi kedua pihak. Isu ekonomi akan menjadi basis utama hubungan China-Taliban.
”Taliban, yang akan mendapat manfaat besar dari membangun hubungan dengan Beijing, mengharapkan partisipasi China dalam rekonstruksi dan pembangunan Afghanistan,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying, Senin lalu, di Beijing. Sikap positif China itu juga ditunjukkan dengan tidak menutup kedutaan besar mereka di Kabul.
Baca juga: Taliban Belum Selesai dengan Saigon 2.0
Sabtu lalu, dalam sebuah seminar bertajuk ”Perdamaian Afghanistan”, mantan Duta Besar Indonesia untuk Federasi Rusia, Hamid Awaluddin, mengatakan, Taliban kemungkinan besar akan bersikap realistis dan memikirkan pembangunan ekonomi demi mempertahankan kekuasaan mereka. Menurut Hamid, Taliban memahami pentingnya keteraturan dalam mengelola negara, termasuk menghormati hak-hak perempuan.
Di sisi lain, di Afghanistan Taliban pun memiliki tantangan besar. Ada kelompok utara yang didominasi Etnis Tajik yang secara tradisional berpangkalan di Kota Mazhar E – Sharif yang kini juga sudah dikuasai Kelompok Taliban. “Mereka bagian dari Group of Four yang merupakan musuh terkuat Taliban,” kata Hamid.
Maka, menurut Hamid, tidak aneh jika kemudian Taliban juga berunding dengan sejumlah negara seperti Rusia dan China. Rusia pun, menurut Hamid berkepentingan agar pemerintahan Taliban tidak mengganggu keamanan dan stabilitas wilayah Kaukasus, terutama di Dagestan.
Sementara itu, menurut Hamid, China berkepentingan menjaga stabilitas di Xinjiang sekaligus mengembangkan kerja sama ekonomi melalui Prakarsa Sabuk dan Jalan. Bila proyek itu berjalan optimal, Afghanistan pun akan mendapatkan keuntungan ekonomi.
”Mereka sangat perlu infrastruktur. Kota Kabul hari ini seperti situasi Jakarta tahun 1970-an. Mereka butuh infrastruktur dan sumber daya listrik dari tenaga surya dan angin. Ini tentunya penting bagi mereka dan menjadi peluang bagi China,” kata Hamid.
Akan tetapi, China pun tetap bersikap waspada. Meskipun saat ini Taliban coba mengubah citra menjadi kekuatan yang lebih moderat, mereka tetaplah entitas yang tak terduga, yang berkembang di negara yang penuh dengan gejolak.
”China tahu sejarah ini dan mereka tahu bahwa ini adalah pemerintah yang tidak akan mereka percayai sepenuhnya,” kata Raffaello Pantucci, peneliti senior di S Rajaratnam School of International Studies di Singapura.
Menurut peneliti yang mengkhususkan kajian pada isu Afghanistan ini, meski memiliki sikap yang lebih ”positif”, China tak akan tergesa-gesa mendorong investasi di Afghanistan. Situasi yang belum stabil dan pemerintah yang tidak terlalu dapat diandalkan menjadi catatan penting bagi Beijing.
Hari-hari ini, Kelompok Taliban menjadi penguasa baru di Afganistan. Apakah generasi baru Taliban yang bermarkas di Qatar ini mampu menerima norma pergaulan internasional dan bekerjasama?
(AP/AFP/Reuters)