Taliban Belum Selesai dengan Saigon 2.0
Orang Afghanistan tercatat sebagai bangsa petarung. Mereka mengusir pasukan Inggris, Uni Soviet, hingga koalisi Amerika Serikat. Kala tidak ada serbuan asing, mereka sibuk oleh perang saudara.
Setelah memasuki Kabul pada 15 Agustus 2021, Taliban menyatakan perang sudah selesai. Berbagai perkembangan dan fakta membuat klaim itu sulit diterima.
Pendudukan Kabul membuat sebagian orang mengingat evakuasi di Saigon pada April 1975. Kala itu, ribuan warga AS dan Vietnam Selatan harus dievakuasi dari atap Kedutaan Besar AS di Saigon.
Presiden AS Joe Biden awalnya menyatakan peristiwa itu tidak akan terulang di Kabul. Faktanya, pada 15 Agustus 2021 siang, helikopter AS bolak-balik mengevakuasi warganya dari atap Kedutaan Besar AS untuk Afghanistan. Orang-orang menyebutnya Saigon 2.0.
Baca Juga: Taliban Maju dengan Senjata Amerika
Mereka dibawa ke Bandara Kabul yang sampai 18 Agustus 2021 dikendalikan oleh setidaknya 6.000 tentara AS. Washington juga menyiapkan hampir 7.000 tentara di Kuwait dan Qatar untuk sewaktu-waktu dikirimkan ke Afghanistan.
Biden menegaskan akan kembali menyerbu Afghanistan jika menilai ada ancaman keamanan terhadap AS dan sekutunya dari Afghanistan. Ancaman serupa pernah dilontarkan Panglima Komando Tengah AS Jenderal Kenneth F McKenzie.
Di internal Afghanistan, Taliban setidaknya menghadapi dua tantangan dari Kelompok Pansjir dan Taliban faksi Mohammad Rasul. Faksi Rasul menentang kepemimpinan Taliban sejak kematian Mohammad Omar, pendiri dan pemimpin Taliban sampai 2013.
Meski meninggal karena TBC pada 2013, kematian Omar baru diumumkan pada 2015 atau dua tahun setelah Akhtar Mansyor setelah menggantikan Omar. Pengumuman itu memicu ketidakpercayaan faksi-faksi Taliban kepada Mansyor. Anak Omar, Yaqoob, termasuk yang tidak percaya kepada Mansyor.
Pergantian kepemimpinan dari Mansyor ke Mohammad Akhunzada mengurangi perpecahan itu. Akhunzada bisa merangkul Yaqoob dan Sirajuddin Haqqani. Sirajuddin merupakan anak Jalaluddin, pendiri Faksi Haqqani yang dikenal paling brutal di antara faksi-faksi Taliban.
Ipar Omar, Abdul Ghani Baradar, juga bergabung dengan Faksi Akhunzada. Bahkan, Baradar jadi juru runding utama dengan berbagai kelompok di luar Taliban.
Peneliti Atlantic Council, Yelena Biberman dan Jared Schwartz, menyebut bahwa Akhunzada membagi operasi Taliban kepada Sirajuddin dan Yaqoob sejak bertahun-tahun lalu. Yaqoob antara lain disokong Qayyum Zakir, bandar narkotika di Helmand; dan Ibrahmin Sadar, anggota dewan Taliban di Helmand. Sementara Sirajuddin mengandalkan kepiawaian faksinya dalam berbagai serangan.
Akhunzada tidak hanya harus mengelola persaingan Sirajuddin-Yaqoob. Ia juga harus menghadapi tantangan Rasul. Pada 2019, ayah dan kakaknya tewas akibat serangan bom yang dilancarkan pendukung Rasul. Kelompok Akhunzada dan Rasul sama-sama mengklaim sebagai Taliban yang sah sejak 2015. Milisi pendukung masing-masing rutin baku tembak dalam tujuh tahun terakhir.
Baca Juga: Beragam Wajah Taliban
Taliban juga terus berperang dengan milisi Negara Islam Khurasan. Sejak Mei 2015, pemimpin Taliban memang menyatakan tidak berhubungan dengan Negara Islam. Sebab, kelompok milisi itu dinilai terlalu kejam dan tidak sesuai dengan kebutuhan Afghanistan. Selain itu, Taliban hanya berminat membentuk negara di Afghanistan, sementara Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) mau berkuasa lintas negara.
Perlawanan Pansjir
Masalah lain yang harus dihadapi Taliban adalah Kelompok Pansjir yang dibentuk dari sisa-sisa pendukung pemerintah. Wakil Presiden Afghanistan Amrullah Saleh membentuknya bersama sejumlah tokoh Aliansi Utara.
Pada 28 Juli 2021, Washington Post melaporkan, Aliansi Utara berusaha menata ulang kekuatannya seiring laju serangan Taliban. Kelompok itu dibentuk pada 1996 kala Taliban akan memasuki Kabul. Selama Taliban berkuasa pada 1996-2001, Aliansi Utara yang antara lain dipimpin Abdul Rashid Dostum dan Ahmad Shah Masoud itu terus memerangi Afghanistan.
Kini, Dostum belum diketahui keberadaannya setelah kediamannya diserbu Taliban pada awal Agustus 2021. Sementara anak Masoud, Ahmad Masoud, kini menjadi komandan milisi dan bergabung dengan Amrullah Saleh.
Aliansi Utara dan Taliban sebenarnya sama-sama pernah bergabung di Mujahidin, kelompok perlawanan Afghanistan untuk mengusir Uni Soviet. Pada 1979-1989, Badan Pusat Intelijen (CIA) AS mengucurkan setidaknya 1,3 miliar dollar AS untuk mendukung Mujahidin. Dana itu antara lain dipakai untuk memasok lebih dari 2.000 pucuk rudal ringan FIM-92. Dengan bantuan AS, juga banyak negara lain termasuk Indonesia, Afghanistan bisa mengusir Uni Soviet.
Menjelang akhir pendudukan Mokswa, berlangsung pemilu pada 1987 dan Mohammad Najibullah terpilih sebagai presiden. Sejak Najibullah terpilih, sebagian faksi Mujahiddin menentangnya karena menganggap pemilu tidak sah. Pertentangan meletus menjadi perang saudara pada 1989 atau kala Uni Soviet resmi keluar dari Afghanistan.
Perang 1989 diakhiri perdamaian pada 1991. Najibullah digantikan Burhanuddin Rabbani, dosen teologi yang muridnya antara lain Ahmad Shah Masoud dan Gulbuddin Hekmatyar. Sayangnya, Hekmatyar menolak mendukung pemerintahan Rabbani sehingga perang saudara kembali pecah. Afghanistan dikuasai berbagai panglima lokal.
Baca Juga: Kuburan Para Raksasa
Perilaku panglima perang lokal dan milisinya di Kandahar membuat Mohammad Omar marah. Bersama 29 orang lain, salah satunya Abdul Ghani Baradar, ia menyerbu rumah salah satu komandan milisi di Kandahar pada Januari 1994.
Dalam 11 bulan berikutnya, dari 29 orang, Omar punya 12.000 pengikut yang sebagian besar adalah pelajar di berbagai madrasah. Karena itu, mereka disebut Taliban yang berakar dari kata talib atau pelajar dalam bahasa Pastun.
Mayoritas milisi Taliban memang orang Pastun, suku terbesar di Afghanistan. Pengikut Omar terus bertambah dan akhirnya bisa menguasai Kabul pada September 1996. Pendukung Rabbani membentuk Aliansi Utara untuk melawan Taliban.
Taliban terutama didukung orang Pastun, suku terbesar di Afghanistan. Sementara Aliansi Utara banyak didukung orang Uzbek dan Tajik. Taliban dan Aliansi Utara adalah gambaran milisi terbentuk hingga ke tingkat kabilah atau subsuku.
Konsep bangsa Afghanistan sebenarnya asing bagi orang-orang di negara itu. Mereka terbiasa mengidentifikasi diri sebagai orang Pastun, Tajik, Hazara, hingga Aimaq. Pastun, Hazara, Tajik, Aimaq, dan Uzbek adalah etnis terbesar.
Meski sama-sama dari kelompok Indo-Iranian, Pastun dan Hazara tidak pernah rukun, antara lain karena Pastun sunni, sementara Hazara syiah. Pastun dan Uzbek juga berselisih. Mereka bisa baku tembak dan saling mengebom semata karena masing-masing terlahir sebagai Pastun, Hazara, atau Tajik.
Di sisi lain, mereka tangguh dan bersatu kala harus menghadapi serangan dari luar. Inggris terusir dari Afghanistan pada awal abad ke-20, Uni Soviet terkena getahnya di pertengahan abad ke-20, sementara AS dan sekutunya menyerah pada awal abad ke-21. Sejarah Afghanistan selama ratusan tahun membuat banyak pihak ragu, benarkah negara itu akan terbebas dari perang? (AFP/REUTERS)