Di wilayah selatan Jepang yang beriklim subtropis, hawa panas beradu dengan kelembapan tinggi. Akibatnya, kondensasi air di langit meningkat dan ketika turun menghasilkan hujan lebat.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
HIROSHIMA, JUMAT — Hujan deras melanda Hiroshima di Pulau Honshu, Jepang, sejak 11 Agustus 2021. Pemerintah daerah telah mengeluarkan perintah evakuasi bagi 69.500 penduduk kota yang terdampak banjir. Kantor Perdana Menteri Yoshihide Suga segera membangun berbagai posko penanganan bencana.
Menurut rilis untuk media dari Badan Meteorologi Jepang (JMA), Jumat (13/8/2021), hujan lebat yang terjadi di kawasan Tohoku di utara hingga ke Kyushu di selatan ini terparah sepanjang sejarah Jepang. Curah hujan harian mencapai 200-300 milimeter. Hiroshima dilalui dua sungai besar, yaitu Motoyasu dan Ota, yang dikhawatirkan akan meluap.
Di kota Nagasaki, Pulau Kyushu, hujan deras mengakibatkan tanah longsor. Tercatat satu korban tewas, seorang perempuan lansia. Selain itu, masih ada dua orang yang masih dalam pencarian akibat tertimbun material longsor. Bulan lalu, di kota Atami juga terjadi longsor yang menewaskan 21 orang.
Hujan deras ini, menurut keterangan tersebut, akibat gelombang panas. Di wilayah selatan Jepang yang beriklim subtropis, hawa panas beradu dengan kelembapan tinggi. Akibatnya, kondensasi air di langit meningkat dan ketika turun menghasilkan hujan lebat.
Selain di Jepang, banjir juga terjadi di kota Liulin, Provinsi Hubei, China. Banjir ini berdampak terhadap 8.000 orang dan telah memakan korban jiwa sebanyak 21 orang. Otoritas setempat masih mencari empat orang yang hilang terseret arus.
Hujan deras terjadi sejak Rabu (11/8/2021). Di sejumlah titik kota Liulin, ketinggian air mencapai 3,5 meter sehingga memaksa warga meninggalkan tempat tinggal mereka guna mengungsi di posko-posko yang telah disediakan pemerintah daerah.
Banjir ini memang tidak separah yang terjadi di kota Zhengzhou, Provinsi Henan, Juli lalu. Banjir di Zhengzhou menyebabkan 292 orang tewas, 14 orang di antaranya akibat terperangkap di dalam kereta api bawah tanah yang terendam banjir. Total korban jiwa banjir di Provinsi Henan mencapai 300 jiwa.
Pemerintah China mencatat ada 654 kota yang rawan banjir. Penyebabnya bermacam-macam dan berkelindan. Di satu sisi, perubahan iklim yang mengakibatkan meningkatnya curah hujan menjadi faktor penting. Di sisi lain, perkembangan kota-kota yang sangat pesat tidak diimbangi dengan mitigasi bencana yang komprehensif.
Presiden China Xi Jinping ketika meninjau lokasi banjir di Zhengzhou pada bulan lalu mengatakan bahwa semua jenis infrastruktur di negara itu harus ditinjau ulang keamanannya. Semakin tingginya risiko bencana alam, bahkan ke taraf yang sebelumnya tidak pernah dialami, membuat berbagai sarana umum harus dimutakhirkan keamanannya.
Berbagai bencana alam yang terjadi di dunia semakin menambah beban ekonomi, apalagi di negara-negara miskin dan berkembang dengan ekonomi yang sudah anjlok akibat pandemi Covid-19. Di samping itu, budaya masyarakat untuk memakai asuransi masih sangat rendah.
Dalam kajian yang dilakukan perusahaan asuransi Swiss Re terungkap bahwa cakupan asuransi untuk masyarakat Amerika Serikat mencapai 60 persen. Sebaliknya, di China tidak sampai 10 persen. Baru-baru ini, pemerintahan di 15 provinsi di China mengutarakan hendak membuat asuransi yang bisa diakses warganya.
”Menarik untuk diikuti apabila skema asuransi oleh Pemerintah China ini akan menerapkan satu harga premi atau berbeda untuk setiap provinsi. Perhitungannya harus berdasarkan pola mata pencarian penduduk,” kata analis keuangan firma Moody, Kelvin Kwok.
Peningkatan jumlah ataupun skala bencana alam juga akan menambah utang negara. Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui komite lingkungan hidup telah menghitung bahwa per tahun 2030 setiap negara berkembang rata-rata memerlukan dana 300 miliar dollar AS untuk adaptasi perubahan iklim. Jumlah ini akan meningkat pada tahun 2050 menjadi 500 miliar dollar AS per tahun.
Pengadaan biaya tersebut akan menjadi masalah. Institut Finansial Internasional (IIF) mengeluarkan data bahwa utang negara berkembang umumnya sebesar 60 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) dan mereka kesulitan untuk melunasi. Akibatnya, akan sulit bagi negara berkembang untuk melakukan adaptasi perubahan iklim.
Hal ini berbeda dengan negara-negara maju seperti AS yang utang negara mencapai 100 persen PDB dan Jepang yang mencapai 200 persen. Sistem ekonomi mereka yang lebih lancar membuat kedua negara tidak kesulitan melunasi utang sehingga sewaktu-waktu bisa meminjam dana kembali guna mengatasi perubahan iklim. (AP/AFP/Reuters)