Pelaksanaan Konsensus Terombang-ambing, Indonesia Desak Penunjukan Utusan Khusus
Penerapan lima konsensus terombang-ambing karena keengganan junta militer Myanmar membuat kondisi negara itu makin karut-marut. ASEAN harus segera mengambil keputusan menyusul infeksi Covid-19 di Myanmar.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
JAKARTA, SENIN — Pelaksanaan lima isi konsensus yang disampaikan beberapa pemimpin negara ASEAN di Jakarta pada April lalu terombang-ambing karena keengganan pemimpin militer Jenderal Min Aung Hlaing. Hlaing mexnetapkan syarat sebelum melaksanakan lima poin konsensus, yaitu kestabilan situasi keamanan dan politik di Myanmar.
Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi di sela-sela kunjungannya ke Washington, Senin (2/8/2021) waktu Indonesia atau Minggu waktu setempat, mengatakan, pertemuan para menteri luar negeri anggota ASEAN yang dijadwalkan berlangsung selama dua jam, secara virtual, molor menjadi lima jam karena membahas isu yang sulit ini.
”Tidak dapat dihindarkan, AMM kali ini diwarnai pembahasan terkait follow up Pertemuan Pemimpin ASEAN. Isu yang banyak memakan waktu adalah sekali lagi mengenai implementasi lima poin konsensus, termasuk atau terutama terkait isu penunjukan utusan khusus (special envoy),” kata Retno.
Menurut Retno, dalam pertemuan itu dia menyampaikan bahwa setelah 100 hari sejak pertemuan di Jakarta, tidak ada perkembangan yang signifikan. Sejak awal, kata Retno, Indonesia mendesak Pemerintah Myanmar melaksanakan isi konsensus dengan cepat karena terus terhambatnya implementasi lima hal itu tidak membawa kebaikan bagi ASEAN.
”Oleh karena itu, sudah waktunya bagi ASEAN untuk mengambil keputusan yang decisive,” kata Retno.
Hal yang ditekankan Indonesia saat ini adalah Myanmar segera bisa menyetujui usulan ASEAN untuk menunjuk utusan khusus guna membantu menyelesaikan persoalan di Myanmar. Utusan khusus juga harus segera mendapat mandat yang jelas dari ASEAN.
Dalam pandangan Indonesia, menurut Retno, utusan khusus harus dipastikan mendapat jaminan akses penuh, baik terkait dengan pertemuan dengan berbagai pihak maupun pergerakan selama menjalankan tugasnya di Myanmar. Indonesia, kata Retno, berharap, pertemuan AMM yang akan berlangsung selama beberapa hari mendatang bisa memutuskan siapa yang akan ditunjuk sebagai utusan khusus serta tugas-tugasnya, termasuk adanya komitmen dari junta militer Myanmar untuk memberikan akses penuh padanya selama menjalankan mandat.
Retno juga mengatakan, jika pertemuan AMM ini kembali gagal memastikan langkah konkret pelaksanaan lima poin konsensus yang disepakati sejumlah pemimpin ASEAN, Indonesia mengusulkan agar kondisi ini dilaporkan kembali kepada para pemimpin ASEAN.
Yang paling konkret sekarang, tambah Retno, adalah agar pertemuan para menlu ASEAN ini bisa mengambil keputusan konkret pemberian bantuan kemanusiaan, terutama bagi kaum perempuan dan anak-anak.
Ancaman Covid-19
Selama beberapa pekan terakhir, banyak pihak memperingatkan bahaya infeksi Covid-19 yang makin meluas di Myanmar jika tidak ada penanganan yang masif dan efektif. Terakhir, Pemerintah Inggris memperingatkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa setengah dari populasi Myanmar yang berjumlah 54 juta bisa terinfeksi Covid-19 dalam dua pekan ke depan.
Kondisi rawan itu membuat Inggris mendesak DK PBB untuk mematikan penerapan resolusi 2565, yang menuntut gencatan senjata di zona konflik, untuk memungkinkan pengiriman vaksin Covid-19 ke negara tersebut.
”Sangat penting bagi kita bagaimana untuk melaksanakannya,” kata Duta Besar Inggris Barbara Woodward.
Negara miskin itu berada dalam kekacauan sejak junta mengambil alih kekuasaan. Banyak rumah sakit dan fasilitas kesehatan tidak memiliki peralatan yang memadai untuk mengatasi lonjakan kasus setelah banyak pekerja kesehatan ikut gerakan pembangkangan nasional, yang berlangsung sejak 3 Februari. PBB memperkirakan hanya 40 persen fasilitas kesehatan Myanmar yang masih bisa berfungsi.
Tidak berfungsinya fasilitas kesehatan atau rumah sakit, selain karena peralatan yang minim, juga karena aparat keamanan junta melakukan serangan-serangan terhadap petugas kesehatan. PBB mencatat setidaknya terjadi 260 serangan terhadap personel kesehatan dan menahan lebih kurang 67 pejabat kesehatan.
Juru bicara Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), kelompok oposisi, Susanna Hla Hla Soe, mengatakan banyak warga meninggal terinfeksi Covid-19 karena junta menggunakannya sebagai alat untuk merepresi rakyat.
Otoritas kesehatan junta militer melaporkan 5.000 kasus baru pada pertengahan pekan lalu, naik 10 kali lipat dibandingkan 50 kasus per hari pada Mei. Namun, sejumlah analis memercayai jumlah korban sebenarnya jauh lebih tinggi. (AFP)