Setelah Kartu Merah Liverpool
Keberlanjutan adalah satu-satunya jalan bagi peradaban manusia ke depan. Mengelola perubahan dalam jangkar keseimbangan antara alam dan budaya menjadi mantranya.
Daftar Warisan Dunia mutakhir mencakup 1.120 situs yang tersebar di 167 negara. Tak ada lagi Liverpool dalam katalog itu. Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO per 21 Juli 2021 telah mencoretnya. Kini Liverpool berjalan sendiri.
Komite Warisan Dunia yang bertugas mengevaluasi Daftar Warisan Dunia setiap tahun menggelar pertemuan di Fuzhou, China, 20-21 Juli 2021. Dasar evaluasi adalah kajian dan pertimbangan Dewan Internasional tentang Monumen dan Situs (Icomos).
Sejumlah keputusan dibuat. Namun hal paling menggemparkan, minimal untuk masyarakat Inggris, adalah pencoretan Liverpool sebagai Kota Dagang Maritim dari Daftar Warisan Dunia.
Dalam keterangan resmi di lamannya, UNESCO menyebutkan, pencoretan dilakukan karena Liverpool kehilangan atribut yang tidak mungkin dikembalikan lagi autentisitasnya. Ini disebabkan rencana pembangunan kawasan perairan Liverpool dianggap mengancam auntentisitas dan integritas situs.
Di saat yang sama, proyek pembangunan yang telah dan tengah dikerjakan dalam situs maupun di zona penyangga juga dinilai merugikan autentisitas dan integritas situs. Sejumlah bangunan modern besar bertingkat misalnya, berdiri di kawasan dermaga menghalangi pemandangan deretan gedung bersejarah Liverpool.
Keputusan pencoretan Liverpool tidak datang tiba-tiba. UNESCO pada 2012 telah memasukkan Liverpool ke dalam Daftar Warisan Dunia dalam Bahaya. Ini adalah semacam kartu kuning sebelum pencoretan. Perbaikan dan koreksi memadahi akan kembali menempatkan situs dalam Daftar Warisan Dunia tanpa embel-embel ”Dalam Bahaya”.
Sebaliknya, jika perbaikan dan koreksi memadahi tak dilakukan atau bahkan arah pembangunan yang mengancam autentisitas situs berlanjut, kartu merah alias pencoretan dari Daftar Warisan Dunia tinggal menunggu waktu.
Singkat cerita, Liverpool akhirnya mendapat kartu merah, dicoret dari Daftar Warisan Dunia. Hal sama menimpa Cagar Alam Oryx Arab di Oman pada 2007 dan Lembah Dresden Elbe di Jerman pada 2009. Sejak Daftar Warisan Dunia diluncurkan pada 1978, baru tiga pencoretan dilakukan.
”Setiap pencoretan dari Daftar Warisan Dunia adalah kehilangan bagi komunitas internasional dan bagi nilai-nilai dan komitmen internasional di bawah Konvensi Warisan Dunia,” kata UNESCO.
Kecewa
Menyusul putusan pencoretan Liverpool, berbagai media di Eropa serentak menempatkan kabar itu dalam salah satu berita utamanya. Media sosial pun dibanjiri ungkapan kecewa dan protes dari warga Inggris.
Anggota Dewan Kota Liverpool, Richard Kemp, melalui akun Twitter, menyebutkan, masuknya Liverpool dalam Daftar Warisan Dunia di 2004 dan kemenangan meraih predikat Ibukota Kebudayaan Eropa di 2008 telah membantu usaha merubah pandangan nasional dan global tentang Liverpool. Sampai dengan dua hal itu terjadi, Liverpool hanya dikenal karena The Beatles dan sepakbola.
”Hilangnya status Warisan Dunia adalah hari yang memalukan bagi Liverpool. Hilangnya status Warisan Dunia bagi kota kita pada hari ini, sekali pun sudah diperkirakan sebelumnya, adalah kehilangan yang besar bagi prestis internasional. Tanpa ragu, ini akan memengaruhi pariwisata dan investasi kita,” cuit Richard.
Wali Kota Liverpool, Steve Rotheram, menyebut keputusan UNESCO itu sebagai langkah mundur yang diambil pejabat yang tidak memahami Liverpool. ”Tempat-tempat seperti Liverpool tidak boleh dihadapkan pada pilihan sepihak antara mempertahankan status warisan dan meregenerasi komunitas tertinggal, termasuk keragaman usaha dan peluang yang menyertainya,” kata Steve.
Saat ini, 1.120 situs masuk Daftar Warisan Dunia. Ini terdiri atas 868 situs budaya, 213 situs alam, dan 39 situs campuran. Indonesia mewakilkan 9 situs dalam katalog itu. Di antaranya adalah Hutan Hujan Tropis Sumatera dan Candi Borobudur di Jawa Tengah.
Sejak 2011, Hutan Hujan Tropis Sumatera masuk kategori dalam bahaya alias mendapat kartu kuning. Sementara Candi Borobudur, sebagaimana disampaikan Anggota Komite Eksekutif Dewan Internasional untuk Monumen dan Situs (ICOMOS) Indonesia, Soehardi Hartono, Senin (26/7/2021), statusnya juga sedang terancam. Pembangunan kawasan Borobudur saat ini, menurut ICOMOS Indonesia dan UNESCO, dapat membahayakan potensi dan integritas situs itu.
Pengajar Departemen Arsitektur, Sekolah Desain dan Lingkungan, Universitas Nasional Singapura, Johannes Widodo, Jumat (30/7/2021), mengungkapkan kekhawatirannya bahwa situs Hutan Hujan Tropis Sumatera bisa menyusul Liverpool. Ini mungkin terjadi jika tidak ada koreksi dan usaha-usaha progresif dari pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan terkait. Hal sama bahkan bisa juga terjadi pada Candi Borobudur.
”Kalau tidak belajar dari Liverpool dan Great Barrier Reef (di Australia), kita akan dipermalukan karena dianggap tidak mampu memenuhi janji untuk menjaga warisan budaya dunia bagi umat manusia di masa depan,” kata Johannes.
Konservasi, Johannes menekankan, tidak berbenturan dengan pembangunan dan pengembangan. Bahkan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) menempatkan konservasi dalam Tujuan ke-11 poin 4.
”Prinsipnya, konservasi adalah bagian dari kota atau daerah dan komunitas yang berkelanjutan. Definisi konservasi budaya adalah mengelola perubahan. Perubahan seperti apa yang dikelola? Perubahan yang menjaga autentisitas dan kesinambungan peradaban,” kata Johannes.
Untuk itu, UNESCO telah memperkenalkan instrumen historic urban landscap (HUL) sebagai dasar menyusun rencana induk kota dan wilayah. Ini dianjurkan oleh UNESCO untuk diadopsi setiap negara yang memiliki situs dalam Daftar Warisan Dunia. Selain itu, terdapat instrumen heritage impact assessment (HIA) alias Kajian Dampak Warisan/Pusaka.
”Semuanya itu memang belum ada undang-undangnya di Indonesia. Ini yang harus segera diundangkan dan dilaksanakan oleh pusat-daerah. Tapi sebelum payung hukumnya ada, pola pikir pembangunan berkelanjutannya yang didahulukan,” kata Johannes.
Dosen Departemen Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM, Laretna T Adishakti, menyatakan, kawasan di mana alam dan budaya, termasuk hubungan manusia di dalamnya, memiliki kekuatan dan signifikansi warisan atau pusaka, tidak boleh diisolasi dan dibiarkan mandeg. Untuk itu, pembangunan dibutuhkan.
”Situs harus ditempatkan sebagai katalisator untuk pertumbuhan sosial-ekonomi sekaligus menjadi satu kesatuan dengan pembangunan ekonomi dan sosial serta pembangunan fisik lainnya. Persoalannya, pembangunan yang dilakukan selama ini tidak konsisten mendasarkan pada prinsip berkelanjutan. Mayoritas orientasinya eksploitatif dan jangka pendek,” kata Laretna.
Selain persoalan belum adanya undang-undang, menurut Laretna, pelaksanaan instrumen HUL dan HIA terganjal persoalan kelembagaan. Selama ini, pembangunan dilakukan masing-masing sektor dengan koordinasi yang minim atau bahkan nihil.
”Kunci utama, UNESCO tidak menghambat pembangunan. Tapi kita perlu melakukan pembangunan yang tepat. Ini ada indikatornya. Ini yang harus dilakukan. Indonesia belum punya mekanismenya. Siapa lembaga yang akan menangani ini. Tidak bisa diserahkan ke masing-masing sektor seperti sekarang sehingga tidak terkoordinasi,” kata Laretna. (FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA)