Idul Adha Para Diaspora, dari Gulai di Malaysia hingga ”Potluck” di Amerika
Di tengah pandemi Covid-19, ada hal yang berbeda dalam perayaan Idul Adha. Bagaimana para diaspora Indonesia merayakan Idul Adha di sejumlah negara di dunia?
Setiap tahun, ribuan diaspora Muslim Indonesia di luar negeri tetap khidmat melaksanakan Idul Adha. Di banyak negara, suasana Idul Adha di tengah pandemi Covid-19 serba terbatas. Akan tetapi, hal itu tidak mengurangi kekhusyukan dan niatan berbagi dengan orang yang membutuhkan.
Tata cara kurban boleh jadi tidak persis sama karena aturan di setiap negara berbeda, tetapi ibadah bernilai sosial itu setiap tahun menjadi saat yang dinantikan. Tidak terkecuali tahun ini. Pengurus Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) dan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) di sejumlah negara telah menyiapkan berbagai keperluan untuk penyelenggaraan kurban.
Pengurus-pengurus cabang istimewa itu menginduk langsung kepada Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Sebagaimana imbauan organisasi induk, pengurus cabang menyiapkan Idul Adha 1442 H dengan mematuhi protokol kesehatan.
Di sejumlah negara di Eropa dan Amerika Serikat, beberapa kelonggaran dapat dirasakan, yakni dengan tidak adanya keharusan mengenakan masker di tempat terbuka. Namun, kegiatan di ruang tertutup dan di kendaraan umum masih diwajibkan untuk menjaga jarak dan mengenakan masker. Di negara lain, seperti di Malaysia, kegiatan di luar ruangan harus mengenakan masker dan mencegah kerumunan.
Demikian pula dengan penyembelihan hewan kurban, aturan yang berlaku di setiap negara berbeda-beda sesuai ketentuan pemerintahan setempat. Faktor lain, yakni nuansa dan kultur di setiap negara, juga turut memberi warna dalam memaknai Idul Adha di negeri para diaspora.
”Dari tahun ke tahun, momentum hari besar keagamaan, termasuk Idul Adha, adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu. Karena sebagai diaspora, masing-masing dari kami ini memiliki kesibukan dan komunitas yang beragam sehingga tidak selalu bersama. Kalau ada kesempatan berkumpul, seperti Idul Adha, ini akan menjadi sesuatu momentum yang sangat istimewa,” ungkap Sonny Zulhuda, Ketua PCIM Malaysia, Senin (19/7/2021), saat dihubungi dari Jakarta.
Bersama jajaran pengurusnya, Sonny, yang juga Associate Professor bidang hukum siber di International Islamic University Malaysia (IIUM), setiap tahun memfasilitasi belasan hewan kurban. Tahun lalu, PCIM Malaysia memfasilitasi 14 sapi dan 16 kambing. Adapun tahun ini ada 15 sapi dan 10 kambing. Selama lebih dari 10 tahun, PCIM Malaysia konsisten menyelenggarakan kurban.
Warga negara Indonesia yang berada di Malaysia kerap memercayakan sumbangan hewan kurban mereka kepada PCIM, selain juga kepada sekolah yang ada di bawah naungan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia.
Berbeda dengan Indonesia, kehidupan beragama di Malaysia diatur lebih ketat, termasuk penyembelihan hewan kurban. Sebelum pandemi, PCIM diperbolehkan melakukan kurban di tanah lapang. Sejumlah titik tanah lapang yang tidak terlalu jauh dari permukiman warga Indonesia secara rutin menjadi lokasi kurban. Ratusan orang biasanya berkumpul di lokasi kurban.
Mereka yang datang umumnya adalah pekerja migran Indonesia yang datang dari beberapa daerah. Mereka ikut membersihkan hewan kurban, memotong, dan membagi-bagikan kepada warga yang memerlukan, seperti rumah anak yatim, pengungsi Rohingya, dan komunitas lokal.
”Suasana sangat meriah. Biasanya setelah itu kami membuat gulai untuk dimakan bersama-sama. Itu yang membuat suasana sangat menyenangkan. Namun, tahun lalu dan tahun ini, hal itu tidak bisa dilakukan lagi karena jumlah orang dibatasi. Dalam situasi pandemi, kini penyembelihan juga dilakukan di rumah pemotongan hewan, tidak lagi di tanah lapang. Kami tinggal mengambil daging itu dan mendistribusikannya,” ungkap Sonny.
Baca juga: Jaga Keselamatan Bersama, Idul Adha di Rumah Saja
Jika di Malaysia ibadah kurban menjadi ritual keagamaan yang dikenal karena kemiripan tradisi dan mayoritas warga setempat yang juga Muslim, suasana berbeda dialami diaspora di negara-negara lain. Diaspora Muslim Indonesia menjadi minoritas di benua Eropa dan Amerika. Kendati ibadah kurban tidak dilarang di negara-negara itu, ibadah kurban tidak semeriah yang dirasakan di negeri sendiri.
Bukan hari libur
Muhammad Rodlin Billah, Ketua Tanfidziyah PCINU Jerman, mengatakan, berbeda dengan Idul Adha yang selalu menjadi hari libur di Tanah Air, di Jerman tidak ada tanggal merah untuk ritual itu. Ketika Idul Adha jatuh pada hari kerja, maka ritual kurban tidak bisa dilakukan secara leluasa di Jerman. Suasananya pun akan terasa seperti hari-hari biasa.
”Pilihannya ada dua, apakah mengambil cuti atau tetap mengikuti shalat Idul Adha di pagi hari dan setelahnya berangkat kerja,” ungkap Rodlin yang juga biasa dipanggil Gus Oding.
Meski demikian, bukan berarti aktivitas berkurban sepenuhnya tidak dapat diupayakan. PCINU Jerman bekerja sama dengan Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah NU (Lazisnu) menyalurkan sumbangan hewan kurban untuk warga di Indonesia.
PCINU berperan sebagai pengumpul sumbangan untuk diserahkan kepada Lazisnu. Dengan sumbangan yang terkumpul dari diaspora Muslim Indonesia di Jerman, Lazisnu membelikan hewan kurban untuk dibagi-bagikan kepada warga yang memerlukan di Tanah Air. Dengan segala keterbatasan di negeri orang, semangat berbagi itu tetap dapat diupayakan.
Di Jerman, komunitas Muslim sebagian besar ialah warga Turki. Ibadah kurban sebenarnya masih dapat dilakukan dengan bergabung atau mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh komunitas mereka.
”Komunitas mereka jemaahnya paling besar di antara warga pendatang di Jerman. Mereka biasanya selalu membantu kami untuk menjalankan kewajiban shalat lima waktu dan sebagainya karena mereka mempunyai masjid. Termasuk untuk menyalurkan zakat fitrah dan Idul Adha, mereka juga memiliki program-program seperti itu. Namun, khusus untuk Idul Adha, PCINU bekerja sama dengan Lazisnu,” ungkap Rodlin, mahasiswa doktoral Institute of Photonics and Quantum Elelctronics (IPQ) di Karlsruhe Institute of Technology, yang berada di negara bagian Baden-Wurttemberg.
Hargai kemajemukan
Lain lagi dengan praktik di Amerika Serikat. Di AS, kurban dilakukan di Islamic Center dan 2.200 masjid yang tersebar di negara tersebut. Ada 4-7 juta Muslim di AS dan itu merupakan populasi yang kecil. Meski demikian, komunitas Muslim datang dengan latar belakang yang sangat beragam. Mereka berasal dari Timur Tengah, Turki, Afrika, Malaysia, Indonesia, China, India, Pakistan, dan negara-negara lain.
”Warga Muslim akan datang ke titik-titik Islamic Center yang dekat dengan tempat tinggal mereka atau ke masjid terdekat. Ketika sampai di sana, sekalipun orang datang dari beragam latar belakang, tetapi saat bertemu dan menjalankan ibadah, suasana khidmat tetap terasa. Bahkan, suasana keberagaman ras dan budaya lebih terasa. Dari warna kulit saja sudah berbeda. Ada yang hitam, sawo matang, putih, berikut cara berpakaiannya yang berbeda-beda sesuai latar belakang budayanya,” ucap Muhamad Ali, Ketua PCIM AS.
Ali yang merupakan Direktur Studi Timur Tengah dan Islam di University of California di Riverside ini mengatakan, penyembelihan hewan di AS tidak boleh dilakukan di tempat terbuka. Hewan yang telah disembelih itu biasanya sudah selesai diolah dan dibawa ke masjid dalam kondisi sudah bersih.
Menariknya, warga Muslim di sana terbiasa untuk menggelar potluck seusai shalat Idul Adha. Potluck ialah makan bersama-sama dengan makanan bawaan dari rumah. Makanan yang dibawa pun bervariasi. Ada yang membawa nasi briyani, donat dengan kopi, teh, dan makanan tradisional masing-masing orang sesuai latar belakangnya.
”Yang membuat menarik itu makanannya. Saat ketemu di sana, kami makan bersama-sama dengan makanan khas masing-masing bangsa. Sangat terasa sekali kemajemukannya. Berbeda dengan Indonesia, sekalipun terdiri dari banyak suku, tetapi masih banyak kesamaan yang menyatukan. Sedangkan pengalaman di AS, ini tidak hanya suku, tetapi juga ras yang berbeda-beda,” kata Ali.
Nuansa berbeda juga dirasakan diaspora Muslim di China. Di ”negeri Sungai Kuning” itu, Muslim merupakan kelompok minoritas. Jangan bayangkan ada takbir keliling atau hewan kurban dijajakan di sana sebagaimana kerap ditemui di Tanah Air. Takbir hanya dilakukan di dalam masjid.
”Penyembelihan hewan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu di rumah pemotongan hewan atau dipotong di halaman masjid. Umumnya kambing yang menjadi hewan kurban, bukan sapi. Setelah dipotong, dagingnya tidak dibagi-bagikan mentah kepada warga sebagaimana di Indonesia, tetapi dibawa pulang kembali oleh orang yang berkurban untuk diolah menjadi masakan,” kata Budy Sugandi, Wakil Katib Syuriah PCINU China.
Biasanya, orang yang berkurban itu menggelar makan malam dengan olahan daging kurban itu di masjid. Orang-orang diajak makan bersama, termasuk mahasiswa Muslim yang datang ke masjid. Suasana tetap meriah dan semangat berbagi masih bisa dirasakan.
”Hewan kurban tidak dibagikan karena itu bukan tradisi di sana. Orang akan canggung menerima hewan kurban itu karena tidak banyak orang mengenal ibadah kurban,” ungkap Gandi yang kini sedang menuntaskan disertasi di Jurusan Education Leadership and Management, Southwest University, Chongqing.
Di mana pun berada, kehikmatan Idul Adha dan semangat berbagi bisa dirasakan diaspora Muslim Indonesia meski mereka jauh dari kampung halaman. Universalitas nilai-nilai kebersamaan, kemanusiaan, dan semangat tolong-menolong di antara sesama manusia menembus sekat-sekat yang ada. Semangat yang sama semoga terus bermekaran di tengah pandemi.