Asia telah melahirkan sejumlah ilmuwan terkemuka. Kepakarannya diakui dan telah memberikan sumbangsih pada ilmu pengetahuan dunia.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
Meski barangkali belum seproduktif dunia Barat, Asia selama ini juga telah menghasilkan sejumlah ilmuwan terkemuka. Dari masa silam hingga zaman modern, dari Iran hingga India. Bintang-bintang Asia itu lahir dan telah memberikan sinar cemerlangnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan dunia.
Pada usia 37 tahun 3 bulan, Maryam Mirzakhani telah meraih capaian tertinggi di dunia matematika. Ia menjadi perempuan pertama yang meraih medali Fields atas kontribusinya pada salah satu persoalan matematika terpenting selama hampir dua abad, geometri Riemann.
Medali itu kerap dianggap sebagai Nobel khusus matematika. Matematika, berbeda dari kedokteran, fisika, kimia, atau sastra, tidak termasuk bidang yang diberi hadiah Nobel.
Namun seperti Benhard Riemann yang mencetuskan geometri dan intergral Riemann, Mirzakhani meninggal pada usia muda. Perempuan kelahiran dan berkebangsaan Iran itu meninggal pada usia 40 tahun 2 bulan karena kanker payudara yang menyebar hingga ke tulang belakang.
Sejak muda ia tinggal di Amerika Serikat untuk kuliah dan akhirnya bekerja sebagai dosen di di Universitas Stanford di California. Jenasahnya dikebumikan di Los Gatos Memorial Park, San Jose, Santa Clara Countu, California.
Menyusul kematiannya pada 14 Juli 2017, sejumlah media Iran menerbitkan foto Mirzakhani tanpa kerudung dengan rambut yang terlihat. Padahal di Iran, amat tabu menampilkan foto perempuan tanpa mengenakan kerudung. Hal itu dilakukan untuk menghormati pencapaian dan sumbangan Mirzakhani. Presiden Iran Hassan Rouhani secara terbuka memuji Mirzakhani sebagai sosok yang mengharumkan nama Iran.
Iran yang di masa lalu disebut Persia dikenal menjadi bangsa yang banyak menghasilkan ilmuwan cemerlang. Bapak Aljabar dan algoritma, Musa bin Muhammad al Khawarizmi, adalah salah satu jenius matematika asal Persia. Bahkan kata algoritma berakar dari transliterasi bahasa latin atas nama Al Khawarizmi yakni algoritmi.
Berabad sebelum Copernicus dan Galileo Galilei mengungkap soal Bumi mengitari matahari, ilmuwan Persia lain bernama Abu Rayhan al Biruni sudah menyinggung itu. Ia juga menyinggung soal kecepatan cahaya. Ada pun Kamaludin Al Farizi menjelaskan soal pembiasan cahaya yang membentuk pelangi.
Mirzakhani menjadi salah satu penerus tradisi panjang itu. Kecemerlangan Mirzakhani sudah terlihat sejak masih menjadi pelajar di Iran. Kala itu, ia memenangi sejumlah olimpiade matematika tingkat Iran dan internasional. Sebagai mahasiswa di AS, ia dibimbing Curtis McCullen yang meraih Medali Fields pada 1998.
Sementara dari India, ada Srinivasa Ramanujan. Jenius matematika itu dikenal karena fokus pada ketakberhinggaan, konjektur Ramanujan, teori bilangan, hingga persamaan yang memungkinkan perhitungan untuk mencari lubang hitam di antariksa. Sebagaimana dilaporkan The Hindu, Hindustan, dan Indian Express, sebagian dari pengetahuannya didapat dengan belajar sendiri.
Pada usia 16 tahun, ia mempelajari hampir 5.000 persamaan dan rumus dari buku GS Carr, A Synopsis of Elementary Results in Pure and Applied Mathematics. Pada usia 17 tahun, ia mulai fokus teori bilangan dengan mengerjakan bilangan Bernoulli dan konstanta Euler–Mascheroni. Teman-temannya sampai menyebut Ramanujan aneh dan sulit dipahami. Meski demikian, mereka hormat pada Ramanujan.
Ramanujan awalnya menemui Pendiri Indian Mathematical Society, V. Ramaswamy Aiyer untuk melamar kerja di Kementerian Keuangan. Belakangan, Aiyer malah terkagum pada catatan-catatan Ramanujan.
Kekaguman itu bertambah karena Ramanujan putus sekolah di berbagai perguruan tinggi. Pendidikan formal matematika yang ia dapatkan hanya sebatas pelajaran wajib matematika di SMP dan SMA.
Sejumlah matematikawan berusaha membantu Ramanujan mendapat pendidikan formal matematika di Inggris. Mereka mengirimkan makalah-makalah Ramanujan ke beberapa pakar di Inggris. Seorang pakar akhirnya tertarik dan antusias, yakni GS Hardy. Hardy kemudian menghabiskan berbulan-bulan untuk membujuk Ramanujan agar mau belajar ke Cambrigde.
Awalnya, Ramanujan tidak mau berangkat. Status sebagai brahmana membuatnya menolak menyeberangi laut. Belakangan, ia setuju dan belajar di Trinity College selama 5 tahun.
Cuaca dan suhu Inggris yang dingin, serta penjatahan makanan selama perang dunia I, membuat kesehatan Ramanujan memburuk. Ia akhirnya terpaksa pulang ke India dengan pendidikan doktoral yang belum tuntas. Pada usia 32 tahun, jenius matematika asal Madras itu meninggal karena tuberkolosis. Sebagian pihak juga menyebut Ramanujan punya penyakit liver. (AFP/REUTERS/RAZ)