Membangun Budaya Riset untuk Melahirkan Ilmuwan Layak Nobel
Penghargaan Nobel yang bergengsi memberikan semangat, konsistensi, dan ketekunan bagi peneliti serta dukungan negara dalam riset-riset dasar.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
Di masa penjajahan Belanda, Indonesia pernah menghasilkan ilmuwan Christiaan Eijkman yang mendapatkan anugerah Nobel di bidang fisiologi dan kedokteran tahun 1929. Namun, saat ini upaya Indonesia untuk menghasilkan ilmuwan yang layak mendapatkan Nobel dinilai lebih sulit, antara lain, karena belum terbangunnya budaya riset yang baik.
Selain lemahnya dukungan infrastruktur dan pendanaan terhadap riset-riset dasar, perangai ilmiah di masyarakat juga belum terbangun. Padahal, sosok ilmuwan peraih Nobel biasanya memiliki karakteristik untuk terus mempertanyakan serta tekun mencari jawaban secara saintifik. Sering kali hal itu membutuhkan waktu hingga puluhan tahun.
Berbicara dalam diskusi yang diselenggarakan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) secara daring, Kamis (25/2/2021), ahli biologi molekuler Indonesia, Sangkot Marzuki, mengisahkan tentang perjalanan panjang Christiaan Eijkman mendapatkan Nobel. Eijkman merupakan warga Belanda yang mendapatkan Nobel fisiologi dan kedokteran tahun 1929 untuk riset-risetnya tentang beri-beri di Indonesia.
Selain ketekunan, menurut Sangkot, ilmuwan peraih Nobel juga terkadang didukung oleh momen yang tepat dan terkadang sulit diprediksi.
Setelah lulus kedokteran dari Universitas Amsterdam tahun 1883, Eijkman menjadi tenaga medis di Semarang, Cilacap di Jawa Tengah, dan kemudian Padang Sidimpuan di Sumatera Utara. Dua tahun kemudian, dia pulang ke Belanda karena sakit. Pada tahun 1886, dia kembali ke Indonesia setelah mendalami bakteriologi di Berlin.
Eijkman menjadi Direktur Laboratorium Patologi Anatomi dan Bakteriologi di Batavia. Lembaga ini kemudian menjadi Geneskundig Laboratorium (Laboratorium Pusat Kedokteran). Riset Eijkman terutama tentang penyakit beri-beri yang tengah mewabah di Batavia sejak tahun 1890.
Dia berhasil membuktikan bahwa beri-beri tidak disebabkan bakteri, tetapi masalah gizi. Dia menemukan polineuritis pada ayam jika diberi makan beras putih dan menemukan model binatang untuk eksperimen lebih lanjut. Pada saat yang sama, ahli biokimia Belanda, BCP Jansen, berhasil mengisolasi vitamin anti beri-beri.
”Eijkman dinominasikan mendapatkan Nobel dua kali. Tahun 1927 oleh empat orang berbeda. Baru tahun 1929 dinominasikan kembali dan akhirnya mendapatkannya bersama Hopkin. Ini berkat jasa dari Jansen yang menemukan vitamin,” kata Sangkot.
Jadi, selain ketekunan, menurut Sangkot, ilmuwan peraih Nobel juga terkadang didukung oleh momen yang tepat dan terkadang sulit diprediksi. ”Eijkman sebenarnya mencari kuman penyebab beri-beri. Dia tidak menemukan kuman, tetapi menemukan ada penyakit defisiensi. Ini mirip dengan Barry Marshall yang mendapatkan Nobel kedokteran tahun 2005 yang menemukan bakteri Helicobacter pylori,” lanjutnya.
Menurut Sangkot, yang paling penting adalah ilmuwan tersebut konsisten berada di tempat dan jalur riset yang benar sehingga bisa melihat kesempatan untuk terus berkembang. Hal ini hanya bisa terjadi jika dukungan negara terhadap sains sangat kuat karrena sains dianggap berperan penting bagi martabat bangsa ke depan. Masalahnya, situasi ilmuwan di Indonesia kerap menghadap pendanaan riset yang kecil, terutama terhadap penelitian dasar.
Dinominasikan
Peneliti fisika nuklir Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Suharyo Sumowidagdo, mengatakan, setiap tahun hanya ada tiga orang yang mendapatkan Nobel ilmu alam. ”Pemenangnya diseleksi oleh komite setelah dinominasikan oleh ilmuwan lain. Salah satu kriteria pemberi nominasi adalah pemenang Nobel sebelumnya. Jadi, ada lebih banyak karya layak Nobel dibandingkan penerimanya,” tuturnya.
Menurut Suharyo, ada yang sudah dapat nominasi berkali-kali, tetapi tidak terpilih mendapatkan penghargaan paling bergengsi di bidang ilmu pengetahuan ini. Dia mencontohkan Ludwig Boltzmann, yang merintis bidang mekanika yang akhirnya bunuh diri.
Contoh lain, Otto Frisch dan Lise Meitner yang menemukan fisi nuklir bersama Otto Hahn. ”Frisch dan Meitner banyak dinominasikan oleh peraih Nobel sebelumnya. Puluhan kali malah, tetapi yang dapat penghargaan hanya Hahn,” ucapnya.
Dengan adanya pengajuan nominasi dari peraih Nobel sebelumnya, penghargaan ini umumnya didapatkan ilmuwan dari Eropa dan Amerika Serikat. Bahkan, China yang memiliki tradisi ilmu pengetahuan alam sangat panjang juga baru sekali mendapatkan Nobel, yaitu Tu Youyu yang mendapatkan penghargaan di bidang fisiologi dan kedokteran pada 2015.
”Dia satu-satunya ilmuwan China peraih Nobel yang bekerja dan riset di negaranya sendiri. Mayoritas ilmuwan China yang mendapat Nobel berkarya atau berdiaspora di luar negerinya,” kata Suharyo.
Selalu mempertanyakan
Sekalipun selalu ada bias dalam pemilihan Nobel, menurut Suharyo, ada karakteristik dasar yang dibutuhkan untuk membangun karakteristik ilmuwan layak peraih Nobel. ”Salah satunya, budaya selalu bertanya harus menjadi bagian dari budaya akademik. Saat ini ada kecenderungan pendidikan kita untuk menguasai pengetahuan, tetapi tidak pernah menanyakan apa yang belum diketahui dan mencoba mencari jawabannya sendiri. Untuk menjawab itu perlu riset,” ujarnya.
Senada dengan itu, Tatas Brotosudarmo, ahli biokimia dari Universitas Ma Chung, Malang, mengatakan, kebanyakan peraih Nobel adalah orang yang selalu mempertanyakan dan membuktikan sendiri untuk mencari jawabannya. ”Proses untuk mempertanyakan sangat penting dalam dunia sains,” katanya.
Dalam kasus Tu Youyu, dukungan pemimpin yang memiliki imajinasi ilmu pengetahuan menjadi sangat penting. Tu awalnya mendapat tugas dari pemimpin China, Mao Tse Tung, pada 21 Januari 1969 untuk memimpin ”Proyek 523”, yaitu unit militer rahasia yang memiliki misi mencari obat malaria.
Tu kala itu berusia 39 tahun dan bekerja bagi Academy of Traditional Chinese Medicine di Beijing. Ia dipilih karena dinilai cocok dengan semangat ”Revolusi Kebudayaan” yang digagas Mao. Ia mendalami teknik pengobatan tradisional China dan mendapat didikan cara Barat dari Departemen Farmakologi Peking University School of Medicine.
Selama puluhan tahun dia meneliti dan mencoba sekitar 2.000 resep obat tradisional China. Akhirnya, dia menemukan daun qinghao atau sweet wormwood (Artemisia annua L). Dari naskah kuno abad ke-4, dia akhirnya menemukan cara yang tepat untuk mengekstrak tanaman ini sehingga menghasilkan obat yang bisa efektif mengatasi malaria, yang kemudian dinamakan artemisinin atau qinghaousu.