Bergeraklah Sebelum Tubuhmu Membengkak
Kebijakan karantina atau pembatasan yang lama berisiko membuat kita kelebihan berat badan. Apalagi jika kurang bergerak dan makan makanan kurang sehat.
Kebijakan karantina wilayah atau pembatasan pergerakan orang di masa pandemi Covid-19 menjadi cara ampuh menekan laju penyebaran Covid-19. Setiap negara mempraktikkan kebijakannya berbeda-beda. Ada yang karantina atau pembatasan sebagian, ada yang total, ada yang hanya dalam hitungan hari, tetapi ada juga yang sampai berbulan-bulan. Semua tergantung dari kondisi dan tingkat penularan Covid-19 masing-masing. Meski berbeda-beda, rupanya semua menghadapi risiko yang sama selama masa karantina atau pembatasan, yakni obesitas atau, sederhananya, kelebihan berat badan.
Baca juga : Gemuk Itu Sumber Penyakit
Padahal, orang yang mengalami obesitas berisiko sakit lebih parah bahkan meninggal jika tertular Covid-19 ketimbang orang yang tidak mengalami obesitas. Definisi obesitas atau kelebihan berat badan, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2014, adalah penumpukan lemak yang berlebihan akibat ketidakseimbangan asupan energi dengan energi yang dikeluarkan yang kemudian dapat mengganggu kesehatan.
Patokan untuk menentukan obesitas yang biasanya digunakan adalah ukuran standar indeks massa tubuh atau BMI yang dihitung berdasarkan tinggi dan berat badan. Orang dengan BMI 25 akan dianggap kelebihan berat badan dan 30 ke atas dianggap obesitas. BMI yang sehat berkisar 18,5 hingga 24,9.
Sebagai gambaran ancaman obesitas ini, Meksiko mencatat dari 230.000 orang yang tewas karena Covid-19, sekitar 22 persen obesitas, 45 persen hipertensi, dan 37 persen diabetes. Data serupa terlihat di New Orleans, AS. Tingkat obesitas, diabetes, dan hipertensi di New Orleans lebih tinggi ketimbang daerah lain di AS. Akibatnya, dari sekitar 97 persen dari warga New Orleans yang tewas karena Covid-19, sebesar 40 persen akibat diabetes, 25 persen obesitas, 23 persen penyakit ginjal kronis, dan 21 persen masalah jantung.
Baca juga : Obesitas Perlu Ditangani sebagai Penyakit
Hasil studi Johns Hopkins University, Amerika Serikat, dan Observatori Kesehatan Global WHO tahun lalu juga menemukan mayoritas kematian akibat Covid-19 di dunia terjadi di negara-negara yang memiliki banyak warga obesitas. Tingkat kematian akibat Covid-19 10 kali lebih tinggi di negara-negara dengan setidaknya 50 persen orang dewasa kelebihan berat badan. Sekitar 90 persen atau 2,2 juta dari 2,5 juta orang yang tewas akibat Covid-19 berada di negara-negara dengan tingkat obesitas tinggi.
”Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan yang tingkat kematian akibat Covid-19 rendah, jumlah orang yang obesitas juga tak banyak,” kata penasihat untuk Federasi Obesitas Dunia dan Guru Besar di Sidney University, Australia, Tim Lobstein.
Harian the Guardian, 26 Maret 2021, mengutip hasil penelitian Surabhi Bhutani, asisten guru besar di Sekolah Ilmu Gizi dan Olahraga di San Diego State University in California, di jurnal Nutrients. Penelitian itu menemukan 40 persen berat badan responden naik rata-rata 1-2 kilogram selama masa karantina wilayah minimal dua pekan pada tahun 2020. Ini tak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi juga anak.
Baca juga : Olahraga Sendiri di Masa Pandemi
Malas gerak
Dana Gavrinevova, guru olahraga di sebuah SMP di Praha, Ceko, khawatir melihat berat badan siswa-siswanya naik setelah berada di rumah saja. ”Mengkhawatirkan karena banyak anak yang di rumah saja selama berminggu-minggu. Banyak yang duduk saja di depan komputer atau ponsel untuk belajar daring atau main gim,” ujarnya.
Guru Besar Didaktika Olahraga di Charles University, Praha, Jiri Suchy menjelaskan, berat badan bertambah karena baik orang dewasa maupun anak-anak tidak banyak melakukan kegiatan fisik atau berolahraga. Apalagi, khusus di Praha, warga tidak bisa berolahraga di lapangan atau tempat-tempat olahraga lain karena ditutup. Berbeda dengan negara-negara lain yang masih memperbolehkan warganya untuk berolahraga di luar ruang.
Baca juga : Diet 16:8 Efektif Kurangi Berat Badan
Sebelum masa pandemi, dalam laporan ”State of the World’s Children oleh UNICEF” tahun 2019, disebutkan bahwa semakin banyak anak obesitas di seluruh dunia dengan proporsi anak obesitas berusia 5-19 tahun naik dari 10 sampai 20 persen antara tahun 2000 dan 2016. Masalahnya, anak yang kelebihan berat badan lebih berisiko menderita diabetes tipe 2, gagal jantung, terkena stigma, depresi, dan tetap kelebihan berat badan saat dewasa.
Untuk mencegah obesitas lebih parah, Gavrinevova memaksa siswa-siswanya untuk berolahraga apa saja dan direkam, lalu dilaporkan saat pembelajaran daring. Namun, banyak anak tidak paham kenapa mereka tetap harus berolahraga. ”Jadi, saya minta mereka paling tidak berdiri, menggerakkan badan, lari, atau setidaknya jalan-jalan keliling rumah saja,” ujarnya.
Baca juga : Pusat Kebugaran Virtual Saat Pandemi
Makanan
Jennifer Bergin (50), warga North Carolina, Amerika Serikat, sudah kelebihan berat badan dan diabetes sebelum pandemi. Tekanan darahnya juga tinggi dan ini membuatnya cemas bisa sakit parah jika tertular Covid-19. Menyadari tingginya risiko itu, ia mulai rajin jalan kaki minimal tiga jam sehari. Berhasil, berat badannya turun sampai 27 kilogram. Kini berat badannya 77 kilogram dengan tinggi badan 152 meter.
Bagi Bergin dan banyak orang di dunia ini, jarang bergerak karena pekerjaan memaksa berada di depan komputer terus dan rapat melalui Zoom. Sebelum pandemi, Bergin masih bisa banyak bergerak karena harus ke kantor. Kini, Bergin memaksa dirinya untuk terus bergerak dan berjalan kaki setiap kali ada waktu luang. ”Tetapi ada bagusnya juga lebih banyak di rumah karena saya jadi tidak banyak jajan makanan dan bisa lebih mengontrol apa yang saya makan,” ujarnya.
Baca juga : Ilmuwan Ungkap Cara Kegemukan Sebabkan Penyakit
Hanya saja, tak semuanya bisa seperti Bergin. Lebih banyak orang yang kurang bergerak saat di rumah dan lebih banyak makan bukan karena lapar, melainkan hanya karena bosan, stres, depresi, cemas, dan gelisah. Apalagi, kata Presiden Akademi Dokter Keluarga Amerika Sterling Ransone Jr, makanan yang dikonsumsi kerap kali tak sehat, tetapi hanya makanan cepat saji atau makanan yang disukai saja, misalnya di AS, makaroni dan keju atau burger yang dibeli secara daring.
Peneliti obesitas di Pusat Kanker Komprehensif Roswell Park di Buffalo, New York, Karen Yeary, menilai tak cukup hanya berbekal niat kuat untuk menurunkan berat badan. Dibutuhkan banyak usaha dan energi untuk berolahraga dan makan makanan yang sehat agar berat badan bisa turun. ”Tak semua orang bisa punya tekad sekuat itu,” ujarnya.
Peneliti obesitas di University of Alabama di Birmingham, Eric Plaisance, mengatakan, orang baru termotivasi menurunkan berat badan dan mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat ketika mulai merasakan ada masalah kesehatan. Di masa pandemi ini banyak orang kemudian termotivasi menurunkan berat badan karena takut. Selain olahraga atau sekadar menari dengan melihat video di Youtube, banyak juga yang akhirnya jarang membeli makanan dari luar atau keluar makan-makan dengan teman atau keluarga.
Baca juga : Waspadai Obesitas Selama Kerja dari Rumah
Menjalani karantina atau pembatasan memang tak mudah dan bisa memengaruhi tak hanya kondisi kesehatan fisik, tetapi juga mental. Namun, setidaknya dengan berolahraga, kita bisa mencegah keduanya. Lakukan saja yang mudah-mudah, seperti jalan kaki, angkat-angkat galon air, naik turun tangga, senam, atau bersepeda dalam ruangan dengan alat khusus.
Supaya bisa termotivasi terus, kata fisioterapis Ben Lombar kepada BBC, tulis saja jadwal kegiatan olahraga apa saja yang mau dilakukan. Pastikan juga alat-alat olahraga yang dibutuhkan, jika ada, disiapkan sejak malam supaya ketika bangun pagi dan melihat alat-alat olahraga itu lalu teringat bahwa harus olahraga. Patricia Smith dari University of London juga menyarankan hal serupa. ”Orang itu perlu diatur dengan target-target yang simpel, tetapi spesifik dan itu sulit tercapai jika tak dibuat jadwalnya,” ujarnya.
Baca juga : Olahraga Yuk, daripada Gabut!
Jadi, sebelum perut kita semakin buncit dan seluruh tubuh membengkak selama mendekam di rumah, mulai besok mulai jalan kaki saja dulu atau apa sajalah, yuk! Tuk ... wak ... tuk ... wak ... tuk ... wak .... (REUTERS/AFP/AP)