Haiti akan kian terpuruk ke dalam konflik dan kekerasan tak berujung setelah Presiden Haiti, Jovenel Moise, tewas ditembak di kediamannya oleh sekelompok orang bersenjata.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Terbebas dari jerat perbudakan di masa kolonial Perancis, 200 tahun silam, tak lantas membuat hidup rakyat Haiti tenang, damai, dan sejahtera. Lepas dari kekuasaan Perancis setelah mengalahkan pasukan Napoleon Bonaparte pada 1803, Haiti merupakan negara merdeka pertama Karibia pada era kolonial dan republik pertama yang dipimpin kulit hitam.
Namun, Haiti tak pernah bisa terlepas dari warisan korupsi, kekerasan, dan kelumpuhan politik tanpa ujung. Haiti terus saja bergelut dengan kekuasaan diktator dan kudeta tak berkesudahan yang membuat Haiti sulit berkembang dan kesulitan memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Pembunuhan Presiden Haiti Jovenel Moise di kediamannya di Port-au-Prince, Rabu lalu, semakin membuat Haiti terpuruk. Gejolak kekerasan dikhawatirkan meluas.
Kekhawatiran ini beralasan karena selama beberapa bulan terakhir ini penculikan dengan tuntutan uang tebusan meningkat. Ini menunjukkan kelompok-kelompok bersenjata di negeri ini kian merajalela. ”Haiti lebih parah daripada neraka dan akan semakin parah. Apalagi mengingat sejarah kekerasan yang panjang. Ini negara demokrasi yang gagal,” kata Irwin Stotzky, pakar Haiti dan Guru Besar Sekolah Hukum University of Miami, AS.
Kelam
Jika ditilik dari sejarahnya, pada 1492, Spanyol menjajah Pulau Hispaniola setelah kedatangan Christopher Columbus. Sekitar 200 tahun kemudian, Spanyol menyerahkan separuh wilayah itu ke Perancis yang kemudian membuat Perancis kaya dari hasil perkebunan gula, rum, dan kopi dengan mempekerjakan budak dari Afrika. Pada 1801, mantan budak Toussaint Louverture memimpin revolusi dan berhasil menghapuskan perbudakan.
Pada 1804, Haiti merdeka di bawah kepemimpinan mantan budak, Jean-Jacques Dessalines. Namun, Dessalines dibunuh pada 1806. Pada 1915, Amerika Serikat kemudian menginvasi Haiti, lalu mundur pada 1943, tetapi tetap mempertahankan kendali politik dan finansialnya. Pada 1957, Francois ”Papa Doc” Duvalier mengambil alih kekuasaan dengan dukungan militer. Ia memerintah dengan kejam dengan bantuan polisi rahasia Tonton Macoutes.
Pada 1964, Duvalier mengangkat dirinya sendiri menjadi presiden seumur hidup. Setelah ia meninggal tahun 1971, kekuasaan Duvalier dilanjutkan anaknya, Jean-Claude Duvalier atau ”Baby Doc” yang juga menindas rakyat dan memaksa ribuan warga Haiti melarikan diri dengan naik perahu ke Florida, AS. Pada 1986 revolusi meletus, Baby Doc mengasingkan diri ke Perancis selama 25 tahun dan kembali ke Haiti pada 2011. Tiga tahun kemudian, dia tewas.
Lalu kekuasaan diambil alih militer. Pada 1988, Jenderal Prosper Avril mengambil alih kekuasaan melalui kudeta. Ia kemudian mengundurkan diri pada 1990 karena tekanan komunitas internasional. Pada tahun itu pula, mantan imam Katolik Roma, Jean-Bertrand Aristide, terpilih sebagai presiden dalam pemilu bebas pertama di Haiti. Namun, Aristide digulingkan melalui kudeta, dipilih lagi, lalu dikudeta lagi untuk kedua kalinya, dan kemudian diasingkan karena tekanan AS, Perancis, dan Kanada.
Dalam pemilu 2006, terpilih Rene Preval, lalu dilanjutkan mantan penyanyi, Michel Martelly pada 2011. Moise kemudian memenangi pemilu yang sempat kontroversial dan berkuasa pada 2017, tetapi tak lama kemudian juga digoyang gelombang protes yang dipicu krisis bahan bakar.
Moise semakin tak dipercaya rakyat setelah pada 2019 ia terbukti menggelapkan bantuan dana minyak Venezuela sebesar 2 miliar dollar AS. Ia bersikeras tetap mempertahankan kekuasaan sebagai presiden hingga 7 Februari 2022 sesuai konstitusi, tetapi ditolak oposisi.
Miskin
Lebih dari tiga perlima warga dari total populasi 11,4 juta jiwa hidup dengan pendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari. Ini menjadikan Haiti negara termiskin di Amerika Latin dan Karibia. Haiti juga salah satu negara yang paling tidak berkembang di dunia. Indeks Pembangunan Manusia UNDP menempatkan negara itu di peringkat ke-170 dari 189 negara. Perekonomian Haiti mengalami kontraksi sekitar 3,8 persen pada 2020 dan, menurut Bank Dunia, pandemi Covid-19 memperparah perekonomian dan politik Haiti.
Harian The New York Times, 7 Juli 2021, menyebutkan, situasi politik yang tak menentu dan seperti terjadi kekosongan menyebabkan kekuasaan di Haiti diisi para pemimpin kejahatan terorganisasi yang menguasai sebagian wilayah ibu kota selama 1-2 tahun terakhir. Ini yang menyebabkan banyak terjadi penculikan, penjarahan, dan kekerasan lain sampai warga takut keluar rumah.
Bulan lalu, salah satu pemimpin kelompok terkenal di Haiti, Jimmy Cherizier, menyatakan perang terhadap para elite pemerintah dan mengajak rakyat menjarah. ”Semua yang ada di bank, toko, supermarket, dan semua toko itu milik rakyat. Ambil semua yang menjadi milikmu dan hakmu,” ujarnya di media sosial.
Aktivis hak asasi manusia, Pierre Espérance, kepada harian The Guardian, 7 Juli 2021, menegaskan, tidak ada tempat aman di Haiti. Situasinya kian pelik. Selama ini sedikitnya 437 orang tewas dan 129 orang hilang dalam 13 kekerasan yang melibatkan geng bersenjata sejak November 2018.
Pakar Haiti di American University, Fulton Armstrong, tidak kaget dengan pembunuhan presiden Haiti meski itu belum pernah terjadi sebelumnya. Apalagi, selama ini nyawa rakyat seakan tak ada harganya. Setiap hari selalu saja ada yang diculik atau dibunuh, termasuk wartawan dan aktivis HAM. ”Jika polisi atau tentara sudah tidak berkutik dan tak mampu melindungi rakyatnya, apa saja bisa terjadi,” ujarnya. (REUTERS/AFP/AP)