China Setelah Mars
Hanya dalam kurun 40 tahun, China yang awalnya negara agraris miskin menjelma menjadi adidaya ekonomi dan teknologi dunia. Keajaiban itu antara lain ditandai dengan misi China ke Mars. Lantas apa lagi berikutnya?
Hanya dalam kurun 40 tahun, China yang awalnya negara agraris miskin menjelma menjadi adidaya ekonomi dan teknologi dunia. Keajaiban China! Demikian berbagai pakar dunia melabeli pencapaian fenomenal itu. Lantas, puncak apa lagi yang mau digapai China selanjutnya?
Tahun ini, negara-negara dunia masih berjuang mengendalikan penyebaran Covid-19. Namun, bagi China, yang jauh lebih sukses mengendalikan pandemi, tahun ini adalah juga soal dua peristiwa penting dalam perencanaan pembangunan yang akan memandu perjalanan bangsa berpenduduk 1,4 miliar jiwa itu di masa depan.
Peristiwa pertama adalah pengesahan Rencana Pembangunan Lima Tahun (repelita) ke-14 (2021-2025) dan Visi 2035 (2021-2035) di Balai Rakyat Agung di Beijing, 4-11 Maret. Peristiwa kedua adalah peringatan 100 tahun Partai Komunis China (PKC) yang puncak perayaannya digelar di Lapangan Tiananmen, Beijing, 1 Juli.
Selain untuk warganya, kedua even itu juga relevan untuk dunia karena merupakan pernyataan pemerintah Republik Rakyat China tentang arah kebijakannya pada tahun-tahun mendatang. Ini menjadi pertimbangan negara-negara di dunia karena China sebagai adidaya baru di bidang ekonomi dan teknologi memiliki pengaruh besar ke global, terutama di bidang ekonomi.
Repelita ke-14 China terdiri atas 19 bab dengan 65 artikel yang tertuang dalam 142 halaman. Arahnya antara lain adalah mengutamakan kualitas ketimbang kuantitas pertumbuhan, menjadi adidaya teknologi dan manufaktur yang mandiri, dan mempercepat upaya menuju ekonomi rendah karbon guna membantu mencapai tujuan iklim 2030/2060.
Untuk urusan eksternal, China berniat meningkatkan peran kepemimpinannya dalam tata kelola ekonomi regional dan global. Secara paralel, China akan mengelola persaingannya dengan AS. Sementara untuk Visi 2035, China menargetkan menjadi negara adidaya sosialis modern di bidang ekonomi, teknologi, dan bidang-bidang lainnya.
China menargetkan menjadi negara adidaya sosialis modern di bidang ekonomi, teknologi, dan bidang-bidang lainnya.
”Dan, kita sekarang melangkah dengan penuh percaya diri menuju tujuan seratus tahun kedua, yakni membangun China menjadi negara sosialis modern yang hebat dalam segala hal,” kata Presiden China Xi Jinping yang juga Sekretaris Jenderal Partai Komunis China (PKC), pada pidato perayaan 100 tahun PKC di Lapangan Tiananmen, Kamis pekan lalu.
Dalam pidatonya selama 1 jam tersebut, Xi antara lain mengangkat ideologi, militer, generasi muda, dan kekuatan eksternal. Xi juga menyinggung kebijakan Beijing terhadap Makau, Hong Kong, dan Taiwan.
Soal ideologi, Xi menegaskan bahwa marxisme adalah ideologi yang menjadi fondasi PKC sekaligus negara China. Bersama dengan sosialisme khas China, hal ini akan terus dilestarikan dan dikembangkan dengan penyesuaian secara terus-menerus terhadap konteks China.
”Kita harus mengikuti jalan kita sendiri. Ini adalah landasan yang menopang semua teori dan praktik partai kita. Lebih dari itu, ini adalah kesimpulan historis partai dari perjuangannya selama satu abad terakhir,” kata Xi.
Dalam hal tekanan kekuatan eksternal, Xi menekankan, rakyat China tidak akan pernah membiarkan kekuatan asing menggertak, menindas, atau menundukkan China sebagai suatu bangsa. ”Siapa pun yang mencoba melakukan itu akan bertabrakan dengan tembok baja besar yang dibangun oleh lebih dari 1,4 miliar rakyat China,” kata Xi.
Baca Juga: Relasi AS-China dan Dunia
Sejalan dengan itu, Xi berjanji akan mempercepat modernisasi pertahanan negara dan angkatan bersenjata. Alasannya, sebuah negara yang kuat harus memiliki militer yang kuat. Hanya dengan itulah keamanan bangsa terjamin.
”Kita akan meningkatkan angkatan bersenjata kita ke standar kelas dunia sehingga kita dilengkapi dengan kapasitas yang lebih besar dan sarana yang lebih andal untuk menjaga kedaulatan, keamanan, dan kepentingan pembangunan nasional kita,” tutur Xi yang juga Ketua Komisi Militer Pusat, pemimpin dan pengendali angkatan bersenjata China.
Sementara terhadap Taiwan, Xi menyatakan, China berkomitmen untuk menyatukan kembali wilayah itu. Reunifikasi bahkan ia sebutkan sebagai tugas sejarah PKC. ”Kita harus mengambil tindakan tegas untuk mengalahkan segala upaya menuju kemerdekaan Taiwan dan bekerja sama untuk menciptakan masa depan yang cerah bagi peremajaan nasional,” kata Xi.
Adapun terhadap Hong Kong dan Makau, Xi mengatakan, China akan tetap setia pada surat dan semangat prinsip ”Satu Negara, Dua Sistem”. Dalam hal ini, kedua wilayah itu dijanjikan otonomi tingkat tinggi.
5.000 tahun
Saat ini, China dalam jalur menuju puncak dunia. Namun, sejumlah catatan penting dalam 5.000 tahun peradaban China menjadi fondasi China masa kini dan masa depan.
Pernah pada suatu masa yang panjang, China memiliki pengaruh luas ke dunia, terutama dalam hal perdagangan dan kebudayaan. Salah satu prasastinya adalah Jalan Sutera yang hidup selama sekitar 1.500 tahun, mulai tahun 130 sebelum masehi hingga 1453 masehi. Jalur sepanjang 6.500 kilometer itu menghubungkan dua perabadan besar saat itu, China dan Kekaisaran Romawi yang kemudian bergeser menjadi China-Eropa.
Jalur sepanjang 6.500 kilometer itu menghubungkan dua perabadan besar saat itu, China dan Kekaisaran Romawi yang kemudian bergeser menjadi China-Eropa.
Pasca Perang Opium antara Inggris dan China di 1840, sebagaimana istilah Xi, peradaban Cina merosot menjadi masyarakat semi-kolonial dan semi-feodal, serta menderita berbagai kerusakan parah. Peradaban China bahkan terjerumus ke dalam kegelapan. Sejak saat itu, peremajaan nasional menjadi impian terbesar masyarakat dan bangsa China.
Setelah perang saudara 1927-1949 dengan pemerintahan Kuomintang, Partai Komunis China (PKC) akhirnya berkuasa. PKC lantas membentuk negara Republik Rakyat China pada Oktober 1949. Mengadopsi model komunis Uni Soviet, China menyelenggarakan pembangunan lima tahun sejak 1952-1957 yang konsisten diterapkan hingga kini. Target jangka menengah-panjangnya adalah mentransformasikan ekonomi China dari agraris ke industri.
Jalannya panjang dan berliku. Bahkan di tahun-tahun awal, terjadi kesalahan kebijakan yang menyebabkan kelaparan hebat selama empat tahun, yakni 1958-1962. Tragedi itu menyebabkan puluhan juta warga China mati. Sejumlah literatur menyebutkan, dalam hal bencana yang disebabkan manusia, tragedi itu adalah bencana terbesar dalam sejarah umat manusia.
Berdasarkan data statistik Pemerintah China, pertumbuhan ekonomi rata-rata selama 1953-1978 adalah 6,7 persen. Data faktualnya, menurut perkiraan komunitas global, lebih rendah dari klaim tersebut. Memasuki awal 1970-an, China bahkan mengalami stagnasi ekonomi.
Ekonomi terbuka
Lantas tibalah momentum besar di bidang ekonomi saat Deng Xiaoping melanjutkan estafet kepemimpinan PKC dan nasional dari Mao Zedong yang meninggal pada 1976. Mulai 1979, Deng menerapkan pendekatan pragmatis dengan cara membuka ekonomi China yang sebelumnya tertutup. Investasi asing dan peran swasta pun dibuka.
Prinsip keterbukaan ekonomi ini dilanjutkan pada kepemimpinan selanjutnya. Per 11 Desember 2001, China bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Hasil akhir dari semua ikhtiar itu sangat luar biasa.
Selama 40 tahun terakhir, berdasarkan data Bank Dunia, China mencatatkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) rata-rata 9,5 persen per tahun. Dengan itu, China melesat menggeser Jepang sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia di bawah AS sejak 2010.
China awalnya diperkirakan akan melengserkan AS dari puncak pada 2032. Namun, persoalan pandemi Covid-19 yang terjadi belakangan justru membuat China berpeluang lebih cepat menggusur AS. Perkiraannya di 2028. Dalam hal paritas daya beli, China bahkan sudah menggusur AS dari posisi puncak sejak 2017.
Baca Juga: China Mulai Gantikan Peran AS
Dalam kurun 40 tahun terakhir, China juga berhasil mengentaskan sekitar 850 juta jiwa warganya dari kemiskinan sekaligus menjadi negara yang paling banyak mencetak miliarder baru mengalahkan AS. China menjadi raksasa manufaktur terbesar dunia selama 11 tahun terakhir dan menjadi eksportir terbesar dunia sejak 2009. China bahkan telah menjadi negara dengan nilai perdagangan terbesar di dunia sejak 2013, menggulingkan AS.
Capaian obyektif inilah yang oleh dunia disebut sebagai keajaiban China. Dan sampai saat ini, tak ada negara lain di dunia yang mencatatkan capaian sefenomenal itu. Sejumlah pakar bahkan menyatakan, rekor itu tak mungkin diduplikasi oleh negara berpenduduk besar lainnya.
Saat ini, China berada di kategori negara dengan pendapatan menengah-atas. Ini adalah level terakhir sebelum sebuah negara naik ke dalam kategori negara berpendapatan tinggi atau biasa juga disebut negara maju. Bersama dengan target-target lainnya, China pun mulai menjalankan sejumlah rencana strategisnya.
Salah satunya adalah Inisiatif Sabuk dan Jalan yang diluncurkan pada 2013. Megaproyek ini merupakan kebijakan dan investasi jangka panjang lintas benua yang bertujuan untuk pembangunan infrastruktur dan percepatan integrasi ekonomi negara-negara di sepanjang rute. Sejauh ini, 71 negara ikut ambil bagian. Bagi China, proyek ini sekurang-kurangnya akan mengembangkan jaringan ekonominya, mulai dari Asia, Timur Tengah, Eropa, hingga Afrika.
Baca Juga: Menyoroti Tantangan Prakarsa Sabuk dan Jalan China
Lee Kuan Yew, mentor para pemimpin China mulai Deng Xiao Ping hingga Xin Jinping, dalam buku berjudul Lee Kuan Yew: The Grand Master’s Insights on China, The United States, and the World”, berpendapat, China pada akhirnya tentu ingin menjadi kekuatan nomor 1 di Asia dan berpotensi menjadi nomor 1 di dunia.
Namun, kepemimpinan China, Lee melanjutkan, memiliki cakrawala jangka panjang. Mereka berpikir dalam hitungan abad, bukan hanya tahun atau dekade saja. Dengan demikian, China mau bekerja dengan sabar untuk jangka waktu yang lama menuju tujuan mereka menjadi nomor 1 dunia.
Penerima Nobel Ekonomi 2001, Joseph E Stiglitz, pada kuliah umum di Universitas Bisnis Norwegia, 2018, memperkirakan, China akan melanjutkan prinsip pembangunan yang terbukti sukses selama 40 tahun terakhir untuk pembangunan ke depan. Prinsip itu adalah pragmatisme dan keterbukaan ekonomi.
Saat ini, menurut Stiglitz, China tengah memasuki babak baru dalam pembangunannya. Dalam periode ini, China antara lain dihadapkan pada persoalan ketimpangan ekonomi, kesehatan, lingkungan, dan daya dukung kota.
Dalam paparan yang hanya tentang ekonom itu, Stiglitz tentu saja tidak menyinggung tantangan di luar ekonomi. Dan faktanya, tantangan besar juga datang di luar ekonomi. Ini terutama datang dari tekanan AS dan Eropa.
Dalam berbagai forum, AS dan Eropa menyerang China dalam isu hak asasi manusia dan demokrasi. Di bidang ekonomi, AS menekan China dengan sejumlah sanksi dengan berbagai alasan. Perang dagang yang dimulai pada era Presiden Donald Trump bahkan berlanjut dan meluas skalanya di era Presiden Joe Biden.
Pada 1980-an, Deng Xiaoping memperkenalkan frasa, ”tao guang yang hui” atau ”keep low profile” sebagai diplomasi China. Dokumen Xiaoping menunjukkan bahwa yang ia maksud adalah mengamati dengan tenang, mengamankan posisi, mengatasi urusan dengan tenang, menyembunyikan kapasitas China sesungguhnya dan menunggu waktu yang tepat, serta tidak mengklaim kepemimpinan.
Beberapa tahun belakangan, pemerintahan Xi merespons kritik dan pernyataan keras AS-Eropa dengan nada yang tak kalah keras pula. Apakah ini tandanya China mulai menganggap waktunya tepat untuk tampil lebih ke depan dan menunjukkan kapasitas sesungguhnya? Atau itu masih sebatas retalisasi rasional yang terukur dari China dalam hubungan internasional?
Terlepas dari ketegangan dengan AS-Eropa yang tampaknya akan berkepanjangan, China terus menambah katalog pencapaiannya. Pada Sabtu (15/5/2021) pagi, China melalui misi Tianwen-1 berhasil mendaratkan robot penjelajah nirawak dengan selamat di permukaan Mars, menyusul misi serupa yang dilakukan AS per Februari 2021. Sebulan kemudian, China mengirimkan tiga atronotnya untuk menjalani misi 3 bulan di Stasiun Luar Angkasa Tiangong di orbit Bumi. China belum selesai.