Pandemi menjadi gelanggang ketiga perseteruan AS-China setelah perang di sektor perdagangan dan teknologi informasi. Bukan persaingan, melainkan kerja sama keduanya yang bisa membawa dunia mengalahkan Covid-19.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·5 menit baca
Hampir genap enam bulan pandemi Covid-19 telah membawa duka bagi dunia. Di luar dampaknya pada sektor kesehatan dan ekonomi yang sangat jelas terasa, pandemi juga berimplikasi pada tatanan geopolitik, terutama jika dikaitkan dengan Amerika Serikat dan seterunya, China.
Sejak pertama kali dilaporkan di kota Wuhan, China, akhir 2019, virus korona menyebar dalam kecepatan eksponensial ke seluruh dunia. Virus ini tak mengenal batas teritori negara. Untuk menghambatnya, diperlukan kerja sama global yang lebih erat dari sebelumnya, sebuah ikatan solidaritas yang mengedepankan kepentingan bersama, keselamatan umat manusia.
Sebenarnya, di luar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), negara besar seperti AS bisa memimpin dunia dalam merespons pandemi itu. Secara teori, AS memiliki banyak pakar kesehatan kelas dunia, dan sistem kesehatan AS pun maju.
Selama ini, AS juga hampir selalu mengambil peran terdepan dalam merespons masalah kesehatan global. Ketika wabah ebola merebak di Afrika tahun 2014-2015, Presiden Barack Obama memimpin koalisi puluhan negara untuk memerangi penyebaran ebola dengan menyediakan lebih dari 350 juta dollar AS, belum termasuk 111 juta dollar AS untuk bantuan kemanusiaan.
Pada tahun 2003, di era Presiden George W Bush, AS meluncurkan The President’s Emergency Plan for AIDS Relief (PEPFAR) untuk melawan epidemi HIV/AIDS. Dengan anggaran lebih dari 85 miliar dollar AS, terbesar sepanjang sejarah, PEPFAR menjadi komitmen terbesar sebuah negara di dunia untuk melawan satu penyakit. Dampaknya, 18 juta jiwa bisa diselamatkan dan jutaan lainnya di 50 negara terhindar dari HIV.
Di majalah Foreign Affairs, Kurt M Campbell, CEO Asia Group dan mantan Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik, serta Rush Doshi, Direktur China Strategy Initiative di Brooking Institution sekaligus fellow di Yale Law School’s Paul Tsai China Center, menyebut status AS sebagai pemimpin dunia selama tujuh dekade terakhir tidak hanya dibangun oleh kesejahteraan dan kekuasaan, tetapi juga oleh kemampuan dan kemauan untuk mengoordinasi respons global atas aneka krisis.
Namun, kini, di era Presiden Donald Trump, AS memiliki kebijakan luar negeri yang oleh Richard Haas, Presiden Dewan Foreign Relations, di Washington Post, Rabu (27/5/2020), disebut sebagai Doktrin Penarikan Diri.
Secara sepihak, AS menarik diri dari banyak kerja sama multilateral. AS menarik diri dari Trans Pacific Partnership (TPP), Kesepakatan Paris tentang perubahan iklim, Kesepakatan Nuklir Iran 2015, Intermediate-Range Nuclear Force Treaty (INF), UNESCO, Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta mundur dari donor untuk UNRWA, yaitu misi PBB untuk pengungsi Palestina. Dan terbaru, di tengah pandemi Covid-19, AS mengancam menarik diri dari WHO menyusul penundaan iuran AS di WHO.
Ancaman itu dilontarkan karena Trump berulang kali menilai WHO tidak tegas terhadap China yang gagal mencegah pandemi Covid-19 terjadi dan tidak transparan dalam menangani pandemi ini dan menyebut Covid-19 sebagai ”virus China”. AS pula yang pada Pertemuan Tahunan WHO, World Health Assemby (WHA), mendorong adanya penyelidikan asal virus korona baru itu.
”Organisasi ini gagal menyediakan informasi yang diperlukan dunia, dan kegagalan ini menyebabkan banyak kematian,” kata Menteri Kesehatan AS Alex Azar saat WHA seperti dikutip Reuters.
Selama ini, AS merupakan negara donor terbesar bagi WHO dengan kontribusi antara 400 juta dollar AS dan 500 juta dollar AS setahun.
China
Sikap China justru berbeda. Ketika Trump mengancam akan menunda iuran AS kepada WHO, di forum WHA, Presiden China Xi Jinping justru menyatakan akan memberikan dukungan finansial sebesar 2 miliar dollar AS kepada WHO untuk membantu memerangi Covid-19, terutama di negara miskin dan berkembang, selama dua tahun ke depan.
Jumlah bantuan tersebut hampir menyamai jumlah total anggaran WHO tahun 2019 dan lebih dari cukup untuk mengompensasi dibekukannya sumbangan AS. ”China akan bekerja dengan anggota negara-negara G-20 guna mengimplementasikan inisiatif pengurangan utang untuk negara-negara termiskin,” kata Xi.
Ketika AS kian sibuk mengatasi dua juta lebih kasus Covid-19 di dalam negerinya dengan lebih dari 115.000 kasus meninggal, China melancarkan kampanye diplomatik untuk meyakinkan dunia bahwa Beijing bersedia berbagi informasi tentang bagaimana mengendalikan pandemi.
Narasi besar yang ingin disebarkan oleh China adalah bahwa negara itu berhasil mengendalikan pandemi. Selain itu, China juga terbuka dan transparan dalam melaporkan munculnya wabah dari Wuhan dengan membagi informasi genetik virus korona sejak awal.
Berbeda dengan AS yang kini menarik diri dari kerja sama multilateral, China justru menjalankan perannya itu melalui mekanisme multilateral. Salah satunya, China mendekati Eropa tengah dan timur melalui mekanisme ”17+1”.
Bukan cuma ucapan, China juga menyalurkan bantuan alat medis dan mengirimkan tenaga kesehatannya ke banyak negara di Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Memanfaatkan ketidakhadiran AS di Eropa, China juga mengirimkan bantuan ke Italia, Perancis, Spanyol, dan Belanda. Bahkan, China juga mengirimkan bantuan ke New York ketika pemerintah federal kalang kabut memenuhi kebutuhan ventilator untuk pasien Covid-19.
Dalam perlombaan pengembangan vaksin Covid-19, China, yang melakukan uji klinis lima calon vaksin Covid-19, juga berjanji akan menjadikan vaksin Covid-19 nantinya sebagai barang publik global dan memberikan akses kepada negara lain dengan harga terjangkau.
Ini berbeda dengan AS yang menyuntikkan dana sekitar 1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 17,7 triliun kepada perusahaan farmasi Inggris, AstraZeneca, yang tengah mengembangkan vaksin Covid-19 untuk mengamankan kebutuhan vaksin dalam negeri AS.
Kekhawatiran Barat terhadap jebakan utang China, termasuk di kala pandemi, saat ini dijawab China dengan turut serta—bersama negara G-20— dalam moratorium utang bagi negara miskin selama delapan bulan. China juga berkontribusi pada Catasthrope Containment and Relief Trust dari Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mendukung negara miskin menghadapi utang luar negeri mereka.
Dari rentetan peristiwa tersebut terlihat bahwa China menjadikan pandemi sebagai titik masuk untuk mempromosikan dirinya sebagai negara yang memiliki role model dalam kepemimpinan global. Sebuah negara kaya dengan kekuatan militer besar dan kemampuan dan kemauan mengatasi krisis global.
Apakah itu berarti China akan mengisi kekosongan yang ditinggalkan AS dalam respons terhadap krisis kesehatan global? Semua sangat bergantung kepada Beijing dan Washington. Sebab, bagaimanapun AS masih berpeluang untuk kembali mempertegas perannya, dimulai dengan mengerjakan pekerjaan rumah pengendalian Covid-19 di dalam negerinya.
Ketika dunia menghadapi satu musuh bersama tak kasatmata bernama virus korona, yang diharapkan, sebenarnya, kedua kekuatan dunia itu bisa bekerja sama berbagi informasi dan sumber daya untuk mengakhiri pandemi.