Ketika Partai Komunis China merayakan ulang tahun ke-100, Hong Kong belum pulih dari guncangan akibat tutupnya media prodemokrasi di wilayah itu. Guncangan akibat makin kuatnya tekanan Beijing.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
”Kepulangan” Hong Kong ke China tahun 1997 bukanlah sebuah reuni yang mengharukan antara orangtua dan anak yang telah lama meninggalkan rumah. Mungkin lebih cocok digambarkan seperti orangtua yang otoriter menjewer dan menyeret si anak yang bandel ini agar lekas pulang. Sepanjang perjalanan ke rumah, anak itu memberontak, meronta-ronta hendak melepaskan diri.
Pada Kamis (1/7/2021), seluruh stasiun televisi di China menyiarkan langsung perayaan ulang tahun ke-100 Partai Komunis China (PKC). Megabintang Jacky Chan turut ambil bagian di pergelaran itu. Di media sosial, aktor laga Donnie Yen, Nicholas Tse, dan Cecilia Cheung mengucapkan selamat ulang tahun kepada PKC dan mengharapkannya jaya selalu.
Seorang aktor sekaligus penyanyi asal Hong Kong idola lintas generasi tampak syahdu menyanyikan lagu ”Mutiara dari Timur” bersama penyanyi Taiwan, Na Ying, yang menceritakan kisah mengenai identitas Hong Kong sebagai wilayah unik. Wilayah dengan pengaruh internasional, tetapi tetap menjaga identitas sebagai bangsa China. Di belakangnya, ada layar menampilkan suasana gedung-gedung pencakar langit Hong Kong di malam hari.
Sementara itu, suasana di Hong Kong belum dapat dikatakan stabil. Pascapenutupan harian Apple Daily yang prodemokrasi, sejumlah media arus utama memilih tiarap sementara karena takut diberedel oleh pemerintah. Di satu sisi, para warganet berduyun-duyun mengunggah konten anti-Beijing ke layanan rantai blok (blockchain) di internet. Intinya, perjuangan untuk Hong Kong yang demokratis belum selesai meskipun sejauh ini masa depan tampak kelabu.
Tarik ulur antara Hong Kong dan China ini terjadi sejak wilayah tersebut dikembalikan oleh Inggris pada 1 Juli 1997. Dalam upacara yang dihadiri Perdana Menteri Inggris Tony Blair dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Madeleine Albright itu, Pangeran Charles selaku wakil Ratu Elizabeth II berpidato.
”Hong Kong tetap akan menjadi wilayah otonom untuk 50 tahun ke depan. Pemerintah China berjanji menerapkan sistem Satu Negara dengan Dua Sistem,” ujarnya (Kompas, 1/7/1997).
Dalam wawancara dengan Al Jazeera, wartawan senior Citizen News, Linda Wong, merefleksi peristiwa tersebut. Menurut dia, ketika itu warga Hong Kong optimistis bahwa situasi akan baik-baik saja. Hong Kong sangat percaya diri sebagai pusat ekonomi di Asia. Di masa kekuasaan Inggris, pemerintah tidak ikut campur dalam hal urusan bisnis dan ekonomi. Segala perjanjian usaha bersifat transparan.
China juga tampak menuju ekonomi bebas sejak akhir 1980-an di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping. Para pengusaha swasta bermunculan, perusahaan-perusahaan asing diizinkan masuk guna menanam modal. Ini dianggap pertanda baik bagi rakyat dan pemerintah Hong Kong.
”Kami berpikir dalam 50 tahun ke depan China yang akan semakin moderat dan menjadi mirip dengan Hong Kong,” ujar Wong.
Tidak tahunya, Beijing mulai menyisipkan birokrat mereka ke jajaran kepemimpinan berbagai media arus utama. Perlahan-lahan, kritik terhadap PKC dan China berkurang. Setelah itu, muncul aturan baru, misalnya, calon pemimpin Hong Kong tidak langsung dipilih oleh rakyat. Para kandidat harus orang-orang yang disetujui oleh PKC, baru boleh dipilih oleh rakyat.
Muncul unjuk rasa menentang aturan baru tersebut. Apalagi, pada tahun 2014 PKC dan Otoritas Hong Kong mengumumkan Rancangan Undang-Undang Ekstradisi yang jika disahkan akan membuat pihak yang kritis terhadap pemerintah dikirim ke China tanpa ada jaminan rosedur hukum yang adil. Unjuk rasa ini melahirkan “Gerakan Payung Kuning”, seperti atribut yang dipakai oleh para pendemo.
Pada 2019, kembali muncul unjuk rasa melibatkan aktivis dari Gerakan Payung tersebut. Kali ini, dua juta orang turun ke jalan untuk berunjuk rasa. Gara-gara demo ini, Otoritas Hong Kong mengeluarkan Undang- Undang Keamanan Nasional dan menangkap 54 orang, termasuk pendiri Apple Daily, Jimmy Lai, atas tuduhan bersekongkol dengan pihak asing untuk mendiskreditkan, bahkan menjatuhkan Pemerintah China.
Undang-Undang ini tidak hanya mengancam media arus utama sehingga tidak bisa mengkritisi pemerintah, tetapi juga warga sipil. Semua jenis unggahan daring, film, novel, iklan, buku pelajaran, dan ekspresi individual maupun publik yang menentang pemerintah akan menghadapi risiko penjara dari beberapa bulan hingga seumur hidup.
"Mandat dari surga"
Kejadian di Hong Kong memang memprihatinkan dari sisi kemanusiaan dan demokrasi akibat berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Meskipun demikian, jika dicermati secara skeptis, pola bahwa China cepat atau lambat akan “merebut” Hong Kong sudah terbaca. Mereka tak akan menunggu hingga tahun 2047 agar hal itu terjadi.
“Negara-negara Barat dan masyarakat Hong Kong seolah lupa bahwa PKC berjalan dengan kepercayaan tianmin atau mandat dari surga. Integrasi adalah wujud kekuasaan PKC dan tanpa integrasi mandat tersebut tidak bisa dijalankan. Bagi China, integrasi dengan Hong Kong, Tibet, Makau, dan Taiwan tak bisa dikompromikan,” papar Nur Rachmat Yulianto, pakar hubungan internasional Universitas Gadjah Mada yang mendalami kawasan China.
Ia menjelaskan, ini adalah bentrok pemikiran politik Barat yang mengedepankan demokrasi dengan China yang otoriter. Sejak awal, meskipun ada perjanjian Satu Negara dengan Dua Sistem, Beijing sudah menyetir sistem pemerintahan tersebut agar lebih sejalan dengan mereka dibandingkan sistem yang murni otonom.
Ketika Xi Jinping terpilih sebagai Presiden sekaligus Sekretaris Jenderal PKC pada tahun 2012, ia bersumpah akan mewujudkan China bersatu di masa jabatannya. Apakah hal ini kemudian membuat China curang karena oleh dunia dianggap memaksakan kehendak kepada Hong Kong?
“Ini sudah murni persoalan sistem politik yang berbeda. Jadi kalau menyebut curang, curang menurut siapa? Mungkin curang bagi politik Barat, tetapi wajar bagi politik China. Barat tidak bisa memaksakan prinsip mereka kepada China, dan China juga tidak bisa terus menindas rakyat Hong Kong karena dampaknya akan melebar tidak hanya ke politik kawasan, tetapi juga global,” tutur Nur.
Menurut dia, Hong Kong setelah 2047 belum jelas nasibnya. Akan tetapi, China tetap harus memegang komitmennya dan memberi ruang bagi rakyat Hong Kong sampai tahun tersebut tiba.
Pemberian ruang ini merupakan tantangan sendiri. Dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh Chinese University of Hong Kong tahun 2019 mengungkapkan bahwa 59 responden menolak diperintah langsung oleh Bejing. Sebanyak 69 persen mengemukakan memilih pemerintahan Satu Negara dengan Dua Sistem dilanjutkan setelah tahun 2047, sementara 20 persen responden memilih Hong Kong menjadi negara merdeka. (Kompas, 15 Juni 2019)
Saat ini, pengaruh China mungkin kian terasa di Hong Kong. Namun, seperti yang diucapkan oleh para pegiat Gerakan Payung ataupun disiden yang ditangkapi berdasarkan tuduhan pelanggaran UU Keamanan, “siap-siap saja menghadapi gelombang-gelombang unjuk rasa berikutnya karena kami menolak demokrasi kalah”. Ibarat kata, Hong Kong si anak bandel tidak menunjukkan tanda-tanda akan menurut di “rumah” barunya.