Penarikan pasukan AS dari Afghanistan diperintahkan oleh Presiden Joe Biden. Dia mengatakan sudah waktunya bagi AS untuk mengakhiri perang terpanjang Amerika itu.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
WASHINGTON, JUMAT — Perang dua dekade di Afghanistan telah memberi kesempatan sekaligus kemampuan badan dan aparat intelijen Amerika Serikat dalam mengawasi kelompok-kelompok yang diduga sebagai teroris. Pengawasan menyeluruh dan terukur itu dinilai dapat mencegah Amerika dari serangan di Afghanistan hingga dalam negeri AS. Namun, privilese itu bisa berubah menjadi kemunduran seiring penarikan pasukan AS dari negara itu tahun ini.
Penarikan pasukan AS dari Afghanistan membuat badan-badan intelijen berjuang mencari cara lain untuk memantau dan menghentikan tindakan teroris. Mereka harus lebih bergantung pada teknologi dan sekutu mereka di dalam Pemerintah Afghanistan. Masa depan yang diwarnai ketidakpastian mengemuka setelah pasukan AS dan NATO pergi.
”Anda mungkin tidak buta, tetapi Anda akan buta secara hukum,” kata Mike Waltz, politisi AS yang mantan seorang anggota militer AS dan pernah bertugas di Afghanistan. Dalam sebuah wawancara, dirinya mengaku yakin pasukan Amerika masih dapat mendeteksi ancaman. Namun, kelak mereka harus merespons dengan intelijen yang berkemampuan lebih rendah dan operasi yang lebih kompleks dari pangkalan di luar Afghanistan.
Penarikan pasukan AS dari Afghanistan diperintahkan Presiden Joe Biden. Dia mengatakan, sudah waktunya mengakhiri perang terpanjang Amerika itu. Keterlibatan AS selama dua dekade dalam konflik di Afghanistan telah menewaskan 2.200 tentara AS dan 38.000 warga sipil Afghanistan, dengan biaya sebanyak 1 triliun dollar AS.
Namun, penarikan itu tetap diwarnai aneka ketidakpastian karena Taliban yang bangkit kembali menguasai sejumlah wilayah dan kekhawatiran meningkat bahwa negara itu akan segera jatuh ke dalam perang saudara. Pentagon masih memastikan terciptanya kesepakatan untuk menempatkan pasukan kontraterorisme di wilayah tersebut. Otoritas AS juga berupaya mengevakuasi ribuan penerjemah dan warga Afghanistan lainnya yang membantu AS selama perang berkecamuk.
Pentagon masih memastikan terciptanya kesepakatan untuk menempatkan pasukan kontraterorisme di wilayah tersebut. Otoritas AS juga berupaya mengevakuasi ribuan penerjemah dan warga Afghanistan lainnya yang membantu upaya AS selama perang berkecamuk.
Direktur CIA William Burns bersaksi pada bulan April lalu bahwa anggota kelompok Al Qaeda dan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) masih beroperasi di Afghanistan. Anggota kedua kelompok itu dikatakannya ”tetap berniat memulihkan kemampuan untuk menyerang AS”. ”Ketika tiba saatnya bagi militer AS untuk mundur, kemampuan Pemerintah AS untuk mengumpulkan dan bertindak atas ancaman akan berkurang. Itulah faktanya,” kata Burns.
Sejumlah sumber mengungkapkan, Burns melakukan kunjungan rahasia ke Afghanistan pada April. Ia berupaya meyakinkan para pejabat Afghanistan bahwa AS akan tetap terlibat dalam upaya kontraterorisme. Dia menambahkan bahwa CIA dan badan-badan AS lainnya ”mempertahankan serangkaian kemampuan” untuk memantau dan menghentikan ancaman di Afghanistan.
Terkait hal itu, CIA dan Kantor Direktur Intelijen Nasional AS menolak berkomentar. CIA telah berperan di Afghanistan selama lebih dari 30 tahun, sejak membantu pemberontak melawan Uni Soviet dari 1979 hingga 1989. Selama AS berada di Afghanistan, CIA dikatakan telah menggelar aneka serangan terhadap target-target teror dan melatih pejuang Afghanistan dalam kelompok yang dikenal sebagai Tim Penanggulangan Terorisme. Tim-tim tersebut ditakuti banyak warga Afghanistan dan telah terlibat dalam pembunuhan di luar hukum terhadap warga sipil.
Associated Press melaporkan pada bulan April lalu bahwa CIA sedang bersiap menyerahkan kendali atas tim-tim tersebut di enam provinsi ke dinas intelijen Afghanistan. Dinas itu dikenal sebagai Direktorat Keamanan Nasional. Penutupan pos-pos dekat perbatasan Afghanistan dengan Iran dan Pakistan akan mempersulit pemantauan kelompok-kelompok musuh yang beroperasi di daerah-daerah itu. Penarikan tentara AS dari badan-badan Afghanistan juga dikhawatirkan dapat memperburuk masalah korupsi yang sudah menggerogoti lembaga-lembaga di negara itu.
Washington telah lama berupaya keras mengumpulkan intelijen, bahkan dari sekutunya di Afghanistan. Pada tahun-tahun awal konflik di Afghanistan, AS ditarik ke dalam persaingan antarfaksi di negara tersebut. Pensiunan Letnan Jenderal Robert Ashley, yang memimpin Badan Intelijen Pertahanan AS dari 2017 hingga 2020, mengatakan, pihak berwenang AS mungkin dapat mengganti beberapa jejak mereka yang hilang.
Misalnya lewat penyadapan informasi yang tersedia untuk umum yang diunggah secara daring. Hal itu terutama didukung dengan pertumbuhan jaringan telekomunikasi dan pengguna ponsel dibandingkan dengan tahun 1990-an. Menurut Ashley, meskipun kekuatan pasukan Afghanistan relatif kurang memadai saat melawan Taliban, mereka juga dapat memberikan informasi yang berharga, kata Ashley. ”Kita tidak boleh mengabaikan kemampuan mereka untuk memahami kebenaran dasar mereka,” kata Ashley, yang sekarang menjadi asisten peneliti senior di Center for a New American Security. ”Itu sifat mereka, itu budaya mereka, itu bahasa mereka.”
Mantan pejabat dan pakar intelijen mencatat bahwa CIA dan badan-badan intelijen AS lainnya kini harus bekerja tanpa kehadiran militer di negara-negara di luar AS. Politisi AS yang juga pernah berdinas militer di Afghanistan, Jason Crow, mengingatkan dua hal penting, yaitu sumber daya manusia di Afghanistan sudah terbatas dan turunnya kemampuan intelijen AS dibandingkan dengan dua dekade lampau. (AP)