Jalan Menuju Perubahan Konstitusi di Thailand Kian Terbuka
Parlemen Thailand mengesahkan UU yang memungkinkan pelaksanaan referendum untuk mengamendemen konstitusi. Namun, banyak pihak skeptis hal itu bisa dilaksanakan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
Upaya aktivis pro-demokrasi dan rakyat Thailand melakukan perubahan mulai terbuka. Hal itu terjadi setelah parlemen mengesahkan Undang-Undang Referendum pekan lalu. Ketentuan tersebut merupakan salah satu tuntutan para pengunjuk rasa dalam rangkaian demonstrasi yang terjadi sepanjang tahun lalu. Namun, mewujudkan perubahan itu dipastikan tidak mudah karena harus melalui berbagai kesepakatan politik, termasuk di dalam parlemen itu sendiri.
Pada saat yang sama, para aktivis prodemokrasi juga terancam karena dugaan pelanggaran aturan pembatasan kegiatan setelah melakukan aksi sepanjang akhir pekan kemarin.
Awal pekan lalu, anggota legislatif yang berada di Senat dan Majelis Rendah membuka peluang untuk mengubah Konstitusi yang telah digunakan sejak 2017. Namun, untuk mengubah konstitusi atau amendemen sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi pada Maret 2020, pemerintah harus mengadakan referendum untuk mendapat persetujuan rakyat atas rencana amendemen itu.
Dalam pemungutan suara Kamis (24/6/2021), RUU yang diusulkan Partai Demokrat dan koalisinya, kecuali Palang Pracharath (PPRP), berhasil mencapai pembacaan kedua karena mendapat dukungan cukup banyak dari para senator dan anggota legislatif. Partai oposisi, Move Forward Party, menyatakan akan mendorong referendum untuk bisa mengamendeman konstitusi dan membentuk badan perancang konstitusi untuk menyusun konstitusi Thailand yang baru.
Untuk pertama kalinya, dalam UU yang baru itu, warga Thailand yang tinggal di luar negeri bisa ikut serta memberikan suara. Untuk memudahkan pemungutan suara, para pemilih bisa menggunakan hak pilihnya melalui surat atau sarana elektronik yang nantinya akan disediakan oleh Komisi Pemilihan (election committee)
Dikutip dari laman The Bangkok Post, UU yang sudah disahkan dalam proses untuk diundangkan dalam Royal Gazette atau semacam lembar negara dalam waktu 90-120 hari mendatang.
Sementara itu, mengenai pelaksanaan referendum, hal itu bisa dilaksanakan dalam waktu 90-120 hari setelah kabinet atau pemerintah menyetujui untuk melaksanakannya. Komisi Pemilihan akan menjadi pelaksana referendum.
Setelah dinyatakan sah dan berlaku, Move Forward, dalam pernyataannya dikutip dari The Bangkok Post, akan segera mengajukan mosi untuk mencari suara untuk referendum. Dibutuhkan setidaknya 50.000 tanda tangan warga agar referendum bisa terlaksana.
Berdasarkan UU tersebut, yang memiliki hak untuk ikut serta dalam referendum adalah warga Thailand berusia 18 tahun atau lebih atau warga negara asing yang sudah menjalani proses naturalisasi dan sudah menjadi warga negara Thailand setidaknya lima tahun terakhir pada saat pelaksanaan referendum. Mereka juga sudah harus terdaftar oleh Komisi Pemilihan tidak kurang dari 90 hari sebelum tanggal pelaksanaan referendum.
Biksu atau pemuka agama, warga yang hak pilihnya telah dicabut, narapidana, ataupun orang yang sedang mengalami gangguan jiwa tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Aktivis pro demokrasi menuding konstitusi, yang dirancang di bawah rezim militer yang sekarang dipimpin PM Prayuth Chan-ocha, berperan dalam mempertahankan kekuasaan
Aktivis menuduh Konstitusi 2017, yang dirancang di bawah rezim militer, berperan penting dalam membantu pemimpin kudeta yang berubah menjadi Perdana Menteri Prayut Chan-ocha dan para pendukungnya mempertahankan kekuasaan pada pemilihan umum 2019. Para kritikus menilai, konstitusi yang ada saat ini cenderung memberikan ruang yang luas bagi partai politik yang menjadi proksi militer.
Skeptis
Terlepas dari adanya peluang untuk mengamendemen konstitusi, beberapa orang pengamat skeptis hal itu bisa terwujud. Upaya mengamendeman konstitusi pada 2019 akhirnya gagal karena taktik penundaan oleh anggota parlemen Palang Pracharath (PPRP) dan didukung oleh para senator yang takut kehilangan kekuasaan mereka.
Dikutip dari laman ThaiPBS, Stithorn Thananithichot, Direktur Kantor Inovasi untuk Demokrasi di King Prajadhipok’s Institute, mengamati bahwa UU yang baru disahkan itu hanya membuka langkah pertama menuju referendum. Langkah berikutnya membutuhkan persetujuan mayoritas dari anggota parlemen dan senator untuk memicu permintaan kepada kabinet untuk mengorganisasi plebisit. Kabinet kemudian memiliki keputusan akhir tentang apakah referendum harus diadakan atau sebaliknya.
Hal senada disampaikan Yuthaport Issarachai, pengamat politik Universitas Sukothai Tahmmathirat. Dia skeptis bahwa referendum itu bisa terlaksana dan kalaupun referendum terlaksana, penulisan ulang konstitusi tidak akan bisa dilakukan oleh parlemen.
”UU baru itu menawarkan sedikit harapan untuk melihat warisan pembuat kudeta dihilangkan. Tidak mungkin bahwa penguasa dan 250 senator yang ditunjuk junta akan memilih piagam baru yang akan mengekang kekuasaan mereka,” katanya.
Meski peluangnya kecil, Yuthaporn menyatakan, amendemen dan penulisan ulang konstitusi negara tetap berpeluang terjadi selama ada kekuatan sosial yang kuat dari warga dan rakyat untuk menekan penguasa dan senator agar melaksanakannya.
Parit Chiwarak, salah satu aktivis pro-demokrasi Thailand, mengatakan, tuntutan perubahan harus tetap ada karena jika rakyat berhenti menuntut, pemerintah atau para penguasa tidak akan melakukan perubahan, termasuk soal amendemen konstitusi. ”Selama PM Prayuth berkuasa, amendemen tidak mungkin terlaksana,” kata Parit. (AP)