Menuju Pemilu Libya, Jerman Bersedia Mediasi Dialog Damai
Sejumlah pihak ingin mengebut dialog damai di Libya agar negara ini bisa menggelar pemilu, Desember mendatang. Sejak Khadafy dilengserkan dan dibunuh tahun 2011, Libya mengalami kekacauan karena perebutan kekuasaan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
BERLIN, SENIN — Pemerintah Jerman menawarkan diri menjadi penengah dalam perundingan damai antara pemerintah sementara Libya dan sejumlah fraksi militer yang menguasai berbagai wilayah di negara itu. Dialog damai ini ingin dikebut oleh sejumlah pihak agar pasukan asing beserta tentara bayaran bisa meninggalkan Libya sebelum pemilihan umum pada 24 Desember dilaksanakan.
Demikian disampaikan Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas di Berlin, Senin (21/6/2021). Menurut dia, setelah 10 tahun Libya bergejolak, dunia tidak bisa lagi menunda kesempatan melakukan dialog damai. Waktu dan tempatnya akan diumumkan belakangan.
Sejumlah pihak yang direncanakan menghadiri dialog itu, antara lain, Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang merupakan pemerintah sementara Libya dan diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, Tentara Nasional Libya (LNA) yang merupakan saingan utama GNA, Amerika Serikat (AS), dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang membantu melengserkan Moammar Khadafy pada tahun 2011.
Menlu AS Antony Blinken juga sudah berbicara dengan Menlu GNA Najla Mangoush. ”AS setuju untuk mengupayakan segala cara demi menegakkan kestabilan dan keamanan di Libya, juga bagi rakyat Libya untuk menentukan masa depan sendiri melalui pemilu,” tuturnya.
Sejak Khadafy dilengserkan dan dibunuh pada tahun 2011, Libya mengalami kekacauan karena perebutan kekuasaan. PBB dan Turki mendukung GNA sebagai pemerintahan sementara Libya di bawah Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibah. GNA berkedudukan di ibu kota Tripoli. Pada saat yang sama, ada pemerintahan oposisi, yakni LNA, yang dipimpin Khalifa Haftar dan didukung oleh Rusia.
Sehari sebelumnya, Dbeibah membuka kembali jalan raya Misrata-Sirte sepanjang 300 kilometer yang menghubungkan wilayah timur dengan barat Libya. Jalan ini ditutup GNA sejak tahun 2019 setelah Haftar dan LNA berusaha merebut Tripoli. Menurut Dbeibah, pembukaan jalan ini guna menunjukkan itikad baik menuju dialog damai.
Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan Libya diduduki oleh tentara asing, baik tentara utusan PBB dan NATO untuk menjaga keamanan maupun para tentara bayaran yang disewa oleh GNA atau LNA. Menurut PBB, ada sekitar 20.000 tentara asing dan tentara bayaran di Libya. Jika kedua belah pihak berkeinginan melaksanakan pemilu, tentara asing harus angkat kaki terlebih dulu.
Terkait hal tersebut, pakar isu Libya dari Global Institute, Jalel Harchaoui, menerangkan, penarikan tentara asing dan pemilu sama sekali tidak menjamin datangnya kestabilan di negara tersebut. Harus ada upaya yang lebih signifikan guna memastikan semua pihak mau menaati kesepakatan damai.
”Selain itu, tidak bisa sembarangan menarik tentara asing, harus ada mekanisme dan tahapan yang jelas. Kalau tidak, ada risiko wilayah-wilayah di Libya semakin kacau,” ucapnya.
Pekan lalu, di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi NATO di Belgia, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berbicara dengan Presiden Perancis Emmanuel Macron. Intinya adalah Istanbul bersedia tidak mencampuri urusan dalam negeri Libya dan menarik tentaranya dari sisi GNA jika Paris menghentikan dukungan kepada pemberontak Kurdi di wilayah timur Turki. (AFP/Reuters)