Keselamatan Jemaah Jadi Pertimbangan Arab Saudi Tak Beri Kuota Haji
Keputusan Arab Saudi menggelar ibadah haji tahun ini terbatas bagi 60.000 orang di negara itu dan tidak memberi kuota haji bagi negara-negara lain senapas dengan semangat Indonesia yang ingin menjaga keselamatan jemaah.
Oleh
LUKI AULIA DAN MH SAMSUL HADI
·4 menit baca
RIYADH, SABTU -- Pemerintah Arab Saudi, Sabtu (12/6/2021), mengumumkan, ibadah haji tahun ini diselenggarakan hanya untuk 60.000 warga yang sudah divaksinasi Covid-19 dan tinggal di negara tersebut. Keputusan ini dibuat dengan mempertimbangkan kondisi dunia yang masih dilanda pandemi Covid-19 dan muncul varian-varian baru virus penyebab penyakit itu.
Kementerian Haji dan Umrah, seperti dilansir kantor berita Arab Saudi, SPA, menyatakan, ibadah haji tahun ini ”terbuka bagi warga negara (Arab Saudi) dan warga yang tinggal di wilayah kerajaan, terbatas untuk 60.000 anggota jemaah”. ”Bagi mereka yang ingin menunaikan haji harus bebas dari penyakit kronis dan sudah divaksinasi”, demikian pernyataan kementerian itu, ”serta berusia 18 tahun hingga 65 tahun”.
”Kerajaan Arab Saudi mengeluarkan ketentuan ini karena mengutamakan faktor kesehatan, keselamatan, dan keamanan jemaah, sekaligus keamanan negara-negara mereka,” demikian pernyataan tertulis Kementerian Haji dan Umrah, Sabtu.
Sebelum Pemerintah Arab Saudi mengumumkan tiadanya kuota haji bagi negara-negara lain, Pemerintah Indonesia telah lebih dulu mengumumkan tidak akan memberangkatkan jemaah haji tahun ini pada 3 Mei lalu. Seperti Arab Saudi, keselamatan jemaah menjadi salah satu pertimbangannya.
Di Jakarta, Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas mengapresiasi keputusan Kerajaan Arab Saudi. "Sebagaimana Pemerintah RI, keselamatan dan keamanan jemaah, selalu menjadi pertimbangan utama," kata Yaqut dalam pernyataan tertulis. "Keputusan Saudi senapas dengan semangat Indonesia yang ingin menjaga keselamatan jemaah."
Keputusan Arab Saudi tersebut mengulang penyelenggaraan ibadah haji tahun lalu. Saat itu, di tengah pandemi Covid-19, Arab Saudi tidak membuka pintu bagi jemaah negara-negara lain. Tahun lalu, Riyadh mengumumkan, hanya sekitar 1.000 anggota jemaah haji yang tinggal di Arab Saudi, baik warga setempat maupun ekspatriat, yang diizinkan beribadah haji.
Namun, ketika itu media lokal melaporkan, anggota jemaah haji yang diizinkan berhaji sebanyak 10.000 orang, sekitar 70 persen di antaranya ekspatriat di Arab Saudi dan sisanya warga setempat.
Jumlah jemaah tahun lalu dan tahun ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jemaah haji pada masa-masa sebelum pandemi Covid-19, yang bisa mencapai 2,5 juta orang. Ibadah haji tahun ini akan berlangsung pertengahan Juli mendatang.
Vaksinasi yang diterima
Dalam konferensi pers yang disiarkan televisi, Menteri Kesehatan Arab Saudi Tawfiq al-Rabiah menambahkan, keputusan penyelenggaraan haji dibuat di tengah ketidakpastian akibat pandemi Covid-19. ”Meski sudah ada vaksin, ada ketidakpastian terkait virus ini dan sebagian negara masih mencatat kasus Covid-19 yang tinggi. Tantangan lain adalah muncul beberapa varian virus. Karena itu, terbitlah keputusan untuk membatasi penyelenggaraan haji,” tuturnya.
Ia menambahkan, hanya vaksin Covid-19 buatan Pfizer, AstraZeneca, Moderna, dan Johnson & Johnson yang dinyatakan sah sebagai syarat vaksinasi untuk berhaji.
Hingga kini Arab Saudi melaporkan 462.000 kasus Covid-19, sebanyak 7.500 orang di antaranya meninggal. Sampai sejauh ini, Arab Saudi yang berpenduduk 34 juta jiwa menyuntikkan lebih dari 15 juta dosis vaksin Covid-19 bagi warga di negara itu.
Keluarga kerajaan Arab Saudi, Dinasti Al Saud, mempertaruhkan legitimasinya untuk mengawasi dan melindungi tempat-tempat ibadah. Penyelenggaraan ibadah haji menjadi salah satu prioritas kerajaan. Pembatasan haji ini membuat kerajaan kehilangan sumber pendapatan yang besar. Haji dan umrah bisa memberi pemasukan bagi kerajaan sekitar 12 miliar dollar AS per tahun.
Namun, sejak pandemi Covid-19 muncul, muncul kekhawatiran akan keamanan dan keselamatan kesehatan para jamaah dan masyarakat setempat. Bukan kali pertama pandemi atau wabah penyakit mengganggu pelaksanaan haji.
Sebelumnya, pernah ada wabah malaria, kolera pada tahun 1821 menewaskan 20.000 orang, dan pada tahun 1865 menewaskan 15.000 orang. Ancaman wabah yang terakhir datang dari sindrom pernapasan Timur Tengah atau MERS. Untuk mencegah penularan, ketentuan kesehatan publik diperketat pada saat pelaksanaan haji tahun 2012 dan 2013. Pada waktu itu, orangtua dan orang yang sakit tidak boleh berhaji.
Beberapa tahun terakhir ini, Arab Saudi juga melarang masuk para jamaah yang berasal dari negara-negara yang terdampak virus Ebola. Akibat pandemi Covid-19, Arab Saudi juga sudah menutup perbatasannya selama berbulan-bulan untuk mencegah meluasnya Covid-19.
Persiapan tahun depan
Di Jakarta, Menag Yaqut mengajak semua pihak untuk mengambil hikmah dari peristiwa ini. Ia mengatakan, Pemerintah RI akan secara aktif menjalin komunikasi lebih dini jika tahun depan kuota haji dibuka bagi negara-negara lain.
"Kita sekarang akan fokus pada persiapan penyelenggaraan haji 1443 H," ujarnya. "Pemerintah Indonesia akan secara aktif dan lebih dini melakukan komunikasi dengan Pemerintah Saudi untuk mempersiapkan pelaksanaan haji jika tahun 2022 ibadah haji dibuka kembali."
Penyelenggaraan haji juga menjadi prestise bagi para pemimpin Arab Saudi. Para pemimpin kerajaan itu menyebut diri mereka sebagai Penjaga Dua Kota Suci (Khadimul Haramain). Peran penyelenggaraan haji ini memberi mereka legitimasi kekuasaan yang besar.
Setelah berhasil menyelenggarakan ibadah haji dengan protokol kesehatan yang ketat, Arab Saudi mulai melonggarkan pembatasan akses ke Masjidil Haram pada bulan Oktober 2020. Saat itu, Arab Saudi untuk pertama kali membuka masjid tersuci bagi umat Islam tersebut bagi jemaah umrah setelah sekitar tujuh bulan umrah dihentikan sementara karena pandemi Covid-19.
Sejak itu pula, ibadah umrah kembali dibuka secara terbatas, yakni 20.000 anggota jemaah per hari. Ibadah shalat di masjid tersebut juga dibatasi hingga 60.000 anggota jemaah per hari. (REUTERS/AFP/AP)