Banyak pihak berharap pertemuan puncak Biden-NATO bisa merekatkan hubungan di antara kedua pihak yang retak pada masa Donald Trump berkuasa di Gedung Putih. Turki juga berharap demikian.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
BRUSSELS, MINGGU — Empat tahun masa kekuasaan Donald Trump di Gedung Putih merusak hubungan mesra yang diciptakan presiden Amerika Serikat sebelumnya dengan sekutu-sekutunya, termasuk negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Trump lebih suka bertindak sendirian, unilateral, ketimbang memainkan peran kolektif bersama NATO dalam hal militer dan keamanan.
Namun, setelah Joe Biden terpilih dan menggeser posisi Trump di Gedung Putih, AS terus berupaya merekatkan kembali hubungannya dengan NATO. Pertemuan antara Biden dan pemimpin NATO, sekutu-sekutunya, Senin (14/6/2021), diharapkan akan memperbaiki hubungan yang sempat retak.
Biden, dalam tulisannya di The Washington Post, menyebut pertemuannya nanti dengan para sekutunya sebagai komitmen baru AS. Pertemuan itu juga menunjukkan kapasitas demokrasi untuk menghadapi tantangan serta mencegah ancaman nyata di zaman yang baru.
Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg menyebut pertemuan Biden dengan pemimpin 30 negara sekutu anggota NATO adalah kesempatan bagi perbaikan hubungan. Akan tetapi, sejatinya hal itu tidak akan mudah.
Hanya beberapa bulan setelah menjabat sebagai presiden, ketegangan antara AS dan NATO masih terasa. Beberapa hal yang membuat hubungan keduanya masih tegang di antaranya ketidaksepakatan dalam hal perdagangan, cara mengatasi tantangan dari China, keputusan Biden untuk angkat kaki dari Afghanistan yang akan berimplikasi besar pada keamanan kawasan dan juga global, serta pembagian beban pertahanan bersama.
Bayang-bayang kebijakan Trump di masa lampau yang masih diteruskan oleh pemerintahan Biden juga membuat keraguan sejumlah pemimpin negara anggota NATO.
Presiden Perancis Emmanuel Macron, yang memiliki hubungan baik dengan AS dan Biden, dalam beberapa kali pernyataannya menyiratkan keinginan agar Eropa yakin pada kemampuannya sendiri dalam hal pertahanan dan keamanan. Hal itu telah ditunjukkan beberapa kali oleh Eropa ketika Trump ”mengisolasi diri sendiri”.
Rachel Ellehuus, mantan pejabat Departemen Pertahanan AS, dikutip dari laman Foreign Policy mengatakan, pernyataan Macron menyiratkan keinginan agar ada ruang yang cukup bagi kepemimpinan Eropa.
”Entah itu di bidang ekonomi atau perdagangan atau kebijakan luar negeri atau pertahanan, ada perasaan bahwa Anda telah pergi untuk sementara waktu, sehingga Anda tidak bisa kembali begitu saja dan mengambil tempat duduk di kepala meja. Banyak hal telah bergerak, dan kita harus menciptakan ruang bagi kepemimpinan Eropa,” kata Ellehuus, yang kini bergabung pada Center for Strategic and International Studies (CSIS).
Turki
Di sela-sela pertemuan di Brussels, Biden dijadwalkan akan bertemu dengan Presiden Turki Reccep Tayyip Erdogan. Pertemuan ini menjadi penting karena hubungan kedua negara sekutu tidak begitu baik menyusul beberapa kebijakan dan peristiwa yang dinilai bertentangan dengan garis kebijakan luar negeri AS, begitu juga sebaliknya.
Daftar ketidaksepakatan luar biasa panjang untuk dua sekutu NATO, seperti dukungan AS untuk pejuang Kurdi di Suriah dan pembelian sistem pertahanan dari Rusia oleh Turki. April lalu, Biden membuat marah Ankara dengan menyatakan bahwa pembunuhan massal era Ottoman dan deportasi orang-orang Armenia adalah genosida.
Ellehuus mengatakan, Ankara tidak membalas pernyataan Biden soal genosida itu karena Turki membutuhkan hubungan diplomatik dan ekonomi dengan AS.
“Erdogan dan Turki membutuhkan hubungan diplomatik dan ekonomi yang baik dengan AS. Dan, kerja sama itu akan membuatnya mempertahankan dukungannya dari rakyat, yang dibangun di atas ekonomi Turki sangat tertambat ke Barat,” kata Ellehuus.
Erdogan, yang berkuasa di Turki selama 18 tahun, menghentikan retorika anti-Baratnya ketika pemerintahnya bergulat dengan penurunan ekonomi yang diperburuk oleh pandemi Covid-19. Partai AKP yang dipimpinnya juga kini tengah menghadapi tekanan setelah serangkaian tuduhan korupsi. Tekanan lain adalah soal adanya tudingan mereka terlibat dalam perdagangan narkoba dan penyelundupan senjata, sebuah tuduhan yang dibuat oleh bos mafia yang kini berstatus buron.
Merve Tahiroglu, Koordinator Program Turki pada Proyek Demokrasi Timur Tengah, mengatakan, yang terpenting bagi Erdogan saat ini adalah memoles citranya di hadapan pemimpin AS yang baru.
”Dia tampaknya memahami bahwa untuk mendapatkan segala jenis investasi internasional ke Turki, dia perlu memproyeksikan citra hubungan positif dengan AS,” katanya.
Erdogan menikmati hubungan yang erat dengan Trump, yang tidak mempermasalahkan rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia dan pelaksanaan demokrasi di Turki. Trump juga setuju menarik pasukan AS dari Suriah utara pada 2019, membuka jalan bagi serangan militer Turki terhadap pejuang Kurdi Suriah yang telah berjuang bersama AS menghadapi kelompok NIIS.
Setelah Biden dinyatakan memenangi pemilihan presiden, Erdogan menunggu beberapa hari sebelum mengucapkan selamat. Pada saat yang sama, Erdogan mengirim pesan kepada Trump untuk berterima kasih kepadanya atas persahabatan hangatnya.
Setelah menjabat, Biden menunggu tiga bulan sebelum menelepon Erdogan. Ini secara luas dilihat di Turki sebagai penghinaan. Pertama kali mereka berbicara setelah pemilihan adalah ketika Biden menelepon untuk memberi tahu Erdogan tentang pengumuman ”genosida” Armenia.
Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan mengatakan, Biden dan Erdogan akan membahas Suriah dan Iran serta peran apa yang dapat dimainkan Turki di Afghanistan setelah penarikan pasukan AS. Juga dalam agenda adalah bagaimana Washington dan Ankara ”menangani beberapa perbedaan signifikan kami pada nilai-nilai dan hak asasi manusia serta isu-isu lainnya”.
Sullivan mengatakan, meski ada perbedan, Biden mengenal Erdogan dengan sangat baik. ”Keduanya pernah menghabiskan banyak waktu bersama. Dan, mereka berdua, menurut saya, menantikan kesempatan untuk benar-benar memiliki peluang seperti bisnis untuk meninjau keseluruhan hubungan mereka,” kata Sullivan. (AP/REUTERS)