Konsensus ASEAN Macet, Indonesia Perlu Lebih Proaktif
Seiring macetnya implementasi konsensus ASEAN, krisis kemanusiaan dan politik di Myanmar terus berlanjut dan makin parah. Untuk itu, pengamat menilai Pemerintah Indonesia perlu lebih proaktif menjalankan diplomasi.
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seiring dengan macetnya implementasi konsensus ASEAN, krisis kemanusiaan dan politik di Myanmar terus berlanjut dan semakin parah. Guna mempercepat pelaksanaan konsensus sekaligus pemulihan demokrasi di Myanmar, sejumlah pakar mendorong Pemerintah Indonesia untuk memimpin upaya diplomasi ASEAN dalam penyelesaian krisis Myanmar.
”Indonesia bisa mengusulkan para diplomat atau eminent personalities yang memiliki rekam jejak berdiplomasi dengan Myanmar. Kita memiliki tokoh diplomasi memiliki perhatian besar pada demokratisasi di kawasan, seperti mantan Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa dan Hassan Wirajuda,” kata Muhammad Rum yang mendalami studi Asia Tenggara, ASEAN, dan kerja sama internasional di Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Kamis (10/6/2021).
Menurut Rum, implementasi lima konsensus ASEAN berjalan lamban. Ia menduga hal ini disebabkan junta militer memanfaatkan celah dalam konsensus itu, yakni nihilnya kerangka waktu implementasi.
Untuk itu, Indonesia bisa memberikan tekanan perancangan kerangka waktu implementasi konsensus. ”Seperti penentuan jadwal yang definitif kapan ASEAN harus mengirimkan utusan khusus, kapan dialog dengan semua pihak dalam Myanmar harus digelar, dan kapan AHA Centre harus mulai bekerja di Myanmar. Jadwal atau tanggal-tanggal pasti harus diumumkan,” kata Rum.
Peneliti bidang perkembangan politik internasional di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lidya Christin Sinaga, menilai, Indonesia perlu mengambil segala langkah yang diperlukan guna mendorong Myanmar menyelesaikan krisis. Lambannya eksekusi konsensus disebabkan ASEAN yang sejak awal tidak secara terbuka memutuskan utusan khusus untuk menyelesaikan krisis.
”Ini sudah memakan waktu terlalu lama. Sejak KTT ASEAN, 24 April lalu, sampai hari ini soal utusan khusus saja belum juga final,” ujarnya.
Indonesia sekali lagi, kata Lidya, harus melakukan terobosan untuk mengatasi macetnya implementasi konsensus ASEAN, misalnya dengan diplomasi ulang-alik. Diplomasi ulang-alik adalah mediasi oleh pihak ketiga tanpa mempertemukan pihak-pihak berselisih. Jadi, mediator menemui satu demi satu para pihak berselisih.
”Untuk usulan Indonesia sebagai utusan khusus itu bisa dilakukan pembicaraan langsung tingkat kepala negara. Presiden Joko Widodo bisa berkomunikasi langsung dengan ketua ASEAN tahun ini,” ujarnya.
Pengamat hubungan internasional di Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, menilai, kelambanan proses penyelesaian krisis Myanmar antara lain juga karena jumlah diplomat Brunei yang terbatas dan tidak terbiasa menangani masalah yang kritis dan strategis seperti yang sedang terjadi di Myanmar saat ini. ”Untuk itu, perlu energi intelektual dari Indonesia, yakni ide-ide konstruktif, yang disampaikan secara rahasia ke Brunei,” katanya.
ASEAN, kata Teuku, juga harus terus mengingatkan dan mendesak Myanmar untuk memenuhi komitmen yang dibuat sendiri. Ini penting karena kepemimpinan Myanmar saat ini dipegang rezim berkuasa yang tidak bermental negarawan dan tidak peka atas perlunya menyeimbangkan nafsu berkuasa dengan pembangunan berkelanjutan.
”Pada saat bersamaan, ASEAN perlu mengoordinasi ASEAN Inter-Parliamentary Assembly untuk menyampaikan pesan serupa,” ujarnya.