Tolak Penggabungan Kampus, Mahasiswa di China Sandera Rektor
Dalam unjuk rasa menolak rencana penggabungan kampus di kota Danyang, Provinsi Jiangsu, China, Selasa (8/6/2021), mahasiswa Kampus Zhongbei menyandera rektor mereka. Polisi akhirnya berhasil membebaskan rektor itu.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
NANJING, RABU — Mahasiswa Kampus Zhongbei di China menyandera rektor mereka dalam unjuk rasa di kompleks kampus di kota Danyang, Provinsi Jiangsu, Selasa (8/6/2021). Mereka menolak penggabungan kampus mereka dengan sejumlah kampus lain sebagaimana diamanatkan Kementerian Pendidikan China.
Berdasarkan laporan kepolisian resor Danyang, per Rabu (9/6/2021), rektor kampus bernama Chang Qing disandera mahasiswa selama 30 jam. Setelah polisi berhasil memasuki area kampus, ia kemudian dibebaskan dan selanjutnya dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa.
Berdasarkan unggahan status, foto, dan video yang viral di media sosial, polisi menggunakan cara kekerasan untuk membubarkan mahasiswa yang awalnya melakukan aksi damai dengan beramai-ramai membentangkan spanduk. Polisi memukul dan menyemprotkan cairan pedas kepada mahasiswa.
Secara paralel, Pemerintah China memblokade semua tagar terkait unjuk rasa di media sosial dalam negeri seperti Weibo. Akan tetapi, melalui jaringan virtual privat (VPN), warganet tetap bisa menyebarluaskan kejadian di media sosial internasional seperti Twitter.
Protes mahasiswa tersebut merupakan penolakan terhadap peraturan Kementerian Pendidikan China pada 2020 yang menyatakan bahwa sejumlah kampus independen akan digabung dengan politeknik per akhir Juni 2020. Kampus independen adalah bagian dari universitas negeri top di negara itu. Misalnya, Kampus Zhongbei yang menjadi bagian dari Nanjing Normal University.
Perbedaan kampus independen dari perguruan tinggi induk ialah mereka menerapkan uang kuliah yang lebih tinggi dan nilai kelulusan ujian masuk yang rendah. Sebagai contoh, Nanjing Normal University pada 2020 mensyaratkan skor minimal ujian masuk adalah 603 dan biaya kuliah per semester 781 dollar Amerika Serikat (AS). Sebaliknya, Kampus Zhongbei hanya menyaratkan skor minimal 362 dan biaya kuliah 2.474 dollar AS.
Para pengkritik sistem pendidikan China mengatakan, kampus-kampus independen ini hanya metode bagi universitas negeri untuk mengeruk uang. Namun, keberadaan kampus independen sangat dibutuhkan oleh mahasiswa maupun orangtua karena ketika mereka lulus, ijazahnya juga mencantumkan nama universitas induk sehingga menambah gengsi.
Nama besar
Bursa tenaga kerja di negara ini masih mengagungkan nama perguruan tinggi top. Orang-orang dengan ijazah nama universitas negeri terkenal, walaupun sebenarnya lulusan kampus independen, tetap dianggap lebih bonafide dibandingkan pelamar kerja lulusan perguruan tinggi swasta.
Pada 2020, Kementerian Pendidikan China membuat peraturan Reformasi Pendidikan Tinggi guna meningkatkan mutu serta keefektifan perkuliahan. Menurut rencana, kampus-kampus independen akan digabung dengan politeknik negeri. Setelah penggabungan, otomatis nama perguruan tinggi baru ini akan lepas dari universitas induk. Ada empat provinsi yang menjadi proyek rintisan, yaitu Jiangsu, Jiangxi, Zhejiang, dan Shandong.
Di Jiangsu, tempat kota Nanjing, ada enam kampus independen dan politeknik yang hendak digabung. Rencana ini langsung terhenti akibat unjuk rasa di Kampus Zhongbei tersebut. Sebenarnya, protes juga terjadi di tiga provinsi lain, tetapi bentuknya berupa penandatangan petisi tidak setuju atas rencana penggabungan. Akibat demo mahasiswa di Nanjing tersebut, Pemerintah China menunda rencana penggabungan kampus. Bahkan Kampus Zhongbei akhirnya mengeluarkan rilis tentang pembatalan penggabungan.
Dilansir dari harian Hong Kong, Apple Daily, seorang mahasiswa yang menolak disebutkan namanya mengatakan, ia tidak mau Kampus Zhongbei digabung dengan perguruan tinggi lain karena akan melahirkan lembaga pendidikan dengan nama baru. ”Nanti akan menyusahkan saya mencari kerja. Saya sengaja kuliah di Zhongbei ini demi afiliasi dengan Nanjing Normal University,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Lembaga Penelitian Pendidikan Adab ke-21, Beijing, Xiong Bingqi, dalam wawancara dengan media Pemerintah China, Global Times, menerangkan, penggabungan kampus independen memang diperlukan karena mengelola perguruan tinggi dengan jumlah terlalu banyak tidak efisien. Namun, melihat reaksi dari mahasiswa, menurut dia, lebih baik pemerintah membuka ruang dialog untuk mencapai kesepakatan. (AFP/DNE)