Puluhan juta mahasiswa China kembali mengikuti perkuliahan tatap muka di kampus dan tinggal di asrama kampus. Mereka kaget, kamera-kamera pemantau terpasang di mana-mana, mengawasi mereka sejak bangun hingga tidur lagi.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Jumlah kasus positif Covid-19 yang menurun di China jelas menjadi kabar menggembirakan dan melegakan warga negara itu. Akhirnya kehidupan bisa beringsut-ingsut kembali normal. Sementara berbagai negara yang masih berjuang melawan pandemi Covid-19 memimpikan kapan saat normal itu akan datang.
Namun, mahasiswa-mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di China rupanya justru merasa hidup mereka terbelenggu dan tak bisa bebas bergerak. Ini karena hampir semua kampus memasang sistem pengawasan berteknologi canggih untuk memantau setiap gerak-gerik mereka baik di gedung perkuliahan maupun asrama mahasiswa di dalam lingkungan kampus.
Kegiatan perkuliahan tatap muka boleh kembali dilakukan. Namun, tetap dengan protokol kesehatan yang ketat. Data Komisi Kesehatan Nasional China tanggal 2 September 2020 menunjukkan ada 11 kasus Covid-19 baru. Semua kasus itu datang dari luar China. Selama 18 hari berturut-turut tidak dilaporkan ada kasus penularan lokal. Total kasus Covid-19 di China mencapai 85.077 kasus, sebanyak 4.634 orang di antaranya tewas.
Sebelum perkuliahan musim gugur dimulai, berbagai perguruan tinggi di negara itu menetapkan aturan-aturan baru yang ketat untuk semua hal, mulai dari cara mahasiswa makan, bepergian, sampai urusan mandi. Di berbagai media sosial banyak mahasiswa mengungkapkan bahwa mereka merasa terganggu dan mengeluhkan ketatnya protokol kesehatan yang diberlakukan pemerintah semasa puncak pandemi, Maret lalu.
Mahasiswa-mahasiswa di kota Beijing, Nanjing, dan Shanghai mengaku harus menyerahkan laporan kegiatan dan pergerakan mereka secara rinci setiap hari. Kewajiban ini terutama berlaku bagi mahasiswa yang tinggal di asrama di lingkungan kampus.
Di China terdapat lebih dari 20 juta mahasiswa, yang mayoritas tinggal di asrama kampus. Ini menjadi tantangan terberat bagi otoritas kesehatan setempat. "Tetapi, kami belum diberitahu soal proses pengajuan aplikasinya bagaimana atau alasan apa saja yang akan dianggap masuk akal," kata seorang mahasiswa Renmin University, Beijing, yang tak mau disebutkan namanya.
Di akun media sosial Renmin University disebutkan bahwa semua mahasiswa harus mengajukan permohonan terlebih dahulu setiap kali hendak meninggalkan kampus.
Sistem canggih
Untuk bisa mengawasi mahasiswa, kampus-kampus mengalokasikan anggaran tambahan khusus untuk membeli segala macam peralatan canggih untuk mengenali wajah, melacak kontak, dan memeriksa suhu badan setiap mahasiswa. Pembelian berbagai alat canggih ini tercantum dalam dokumen pengadaan barang pemerintah.
Kementerian Pendidikan China menyatakan, sebenarnya segala macam peralatan canggih itu tidak wajib dimiliki kampus asalkan pengelola kampus bisa melarang mahasiswanya meninggalkan kampus, kecuali ada keperluan mendesak. Pemerintah lebih menekankan pada pentingnya kampanye kesehatan dan pelajaran wajib, seperti semangat anti-pandemi.
Dokumen-dokumen pengadaan pemerintah yang diunggah secara daring selama dua bulan terakhir oleh belasan kampus China setidaknya bisa memberikan gambaran kehidupan kampus di era Covid-19. Dokumen itu juga menggambarkan sistem teknologi yang dirancang untuk mencegah orang luar masuk kampus dan untuk mengumpulkan data setiap mahasiswa.
Banyak kampus menggunakan sistem yang membutuhkan puluhan kamera untuk mengumpulkan data wajah dan suhu badan serta sistem semacam pemberitahuan yang mengharuskan mahasiswa memasukkan informasi tentang aktivitasnya sampai beberapa kali dalam sehari.
"Tiba-tiba kami melihat ada puluhan kamera di dalam asrama. Ada enam kamera di setiap lantai," kata salah seorang mahasiswa di Peking University.
"Rasanya seperti ada orang yang mengawasi kita mulai dari bangun pagi sampai tidur lagi," kata mahasiswa Peking University lainnya bernama keluarga Mei.
Ia menemukan kamera-kamera terpasang di asramanya ketika ia kembali ke asrama bulan ini. Peking University tidak menanggapi permintaan tanggapan mengenai hal itu dari kantor berita Reuters.
Untuk menyediakan berbagai perlengkapan sesuai protokol kesehatan tersebut, kampus-kampus di China mengeluarkan biaya tidak sedikit. Sebagai gambaran biaya yang harus dikeluarkan kampus untuk mengawasi mahasiswa, University of Science and Technology Liaoning sampai mengeluarkan biaya sampai 62.376 dollar AS (sekitar Rp 919,6 juta). Kampus tersebut menggunakan kamera-kamera teknologi canggih yang bisa memantau suhu tubuh dan mengenali wajah setiap orang dengan waktu cepat. Sistem itu mengumpulkan laporan suhu badan harian dan mampu menyimpan data suhu badan mahasiswa selama 30 hari.
Adapun Nanchang University di Provinsi Jiangxi mengeluarkan biaya 158.000 yuan (sekitar Rp 340,6 juta) untuk membeli sistem yang bisa melacak dan menyimpan data pergerakan mahasiswa dengan menggunakan nomor kartu tanda penduduk dan pengenalan wajah.
Sistem di Tianjin Normal University juga mengumpulkan catatan rinci tentang keluarga mahasiswa, alamat rumah, tempat-tempat yang pernah dikunjungi saat berada di luar kampus, dan cara mereka menuju ke kampus atau alat transportasi apa yang digunakan. Sistem itu juga bisa mengirimkan pengingat kepada mahasiswa dan dosen. Bagi yang tidak merespons peringatan itu akan dilaporkan ke pihak kampus.
Mandi pun diatur
Aturan-aturan yang baru di kampus juga sampai mengatur kebiasaan sehari-hari mahasiswa, termasuk sampai urusan mandi. Beberapa mahasiswa yang kembali ke Nanjing University mengaku mereka harus bersusah payah mengatur waktu untuk mandi di kamar mandi asrama. Waktu mandi hanya bisa dilakukan di antara waktu-waktu penyemprotan disinfektan. Untuk bisa mandi, mahasiswa harus mendaftarkan diri terlebih dahulu.
"Banyak mahasiswa yang akhirnya tidak bisa mandi karena terlalu ribet. Akhirnya banyak yang diam-diam mandi tanpa mendaftar dulu," kata Liu, mahasiswa di Nanjing.
Beberapa mahasiswa merasa aturan-aturan baru tersebut bisa merendahkan mereka. Padahal, menurut Liu, sistem pengawasan itu juga tak akan efektif. Ia mencontohkan, pengukuran suhu tubuh di gerbang-gerbang kampus lemah karena para penjaga gerbang hanya mengukur suhu tubuh para mahasiswa dengan alat pengukur suhu tubuh dari jarak agak jauh.
Bahkan, banyak mahasiswa khawatir teknologi pengawasan yang baru tersebut akan terus digunakan kampus bahkan setelah pandemi berakhir. Jika hal itu terjadi, berarti mahasiswa tak bisa bebas lagi. "Saya kira banyak mahasiswa khawatir akan begitu. Tetapi, kita tidak punya pilihan lain selain harus menerima saja," kata Mei, mahasiswa di Peking University. (REUTERS)