Oposisi Raih Posisi Kuat Lengserkan Netanyahu dari Kepemimpinan Israel
Koalisi oposisi Israel menangi kursi di Parlemen Israel, Knesset. Kemenangan itu mengancam posisi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
TEL AVIV, KAMIS – Koalisi oposisi menduduki 62 kursi di Knesset atau parlemen Israel. Angka ini berarti mereka berhasil membangun kekuatan untuk mengancam posisi Perdana Menteri Benyamin Netanyahu, dan berpotensi kuat melengserkannya dari tampuk kepemimpinan. Meskipun demikian, sejumlah pihak meragukan kelanggengan koalisi gado-gado ini mengingat betapa mudahnya melayangkan mosi tidak percaya di Knesset.
Pengumuman koalisi dilakukan pada hari Kamis tanggal 2 Juni tepat sebelum tengah malam. Apabila pengumuman dilakukan ketika waktu sudah menandakan masuk hari Kamis (3/6/2021), langkah itu akan dinyatakan tidak sah karena melewati tenggat dan Israel terpaksa melakukan pemilihan umum (pemilu) untuk kelima kali di dalam kurun dua tahun.
Koalisi oposisi ini dipimpin oleh Yair Lapid (57) dari Partai Yesh Atid dan Naftali Bennett (49) dari Partai New Right. Keduanya merupakan pribadi yang bertolak belakang, Lapid dikenal sebagai politisi sekuler dan moderat dengan mayoritas pendukung kalangan kelas menengah yang kritis terhadap pemerintah. Sebaliknya, Bennett dikenal sayap kanan dan ultranasionalis. Ia pendukung berbagai program pengalihan kawasan permukiman Palestina di Israel menjadi milik Yahudi.
Bennett awalnya adalah anggota Partai Likud yang merupakan kendaraan politik Netanyahu. Ia kemudian berselisih dengan mentornya sehingga memutuskan keluar dari Likud untuk membangun partai sendiri. Tindakan ini oleh Netanyahu dikatakan sebagai pengkhianatan terhadap dirinya dan publik Israel.
Ketika ditanya alasan mau berkoalisi dengan Lapid maupun partai-partai oposisi lainnya setelah sekian lama memilih berjalan sendiri, Bennett menjawab sudah saatnya berpandangan luas. “Koalisi ini menyatukan pihak-pihak yang kritis terhadap Netanyahu dan menginginkan Israel yang progresif sehingga agendanya lebih besar daripada kepentingan satu partai saja,” tuturnya.
Anggota koalisi ini adalah partai islamis United Arab List atau Ra’am, dua partai Yahudi sekuler yang mendukung kemerdekaan Palestina, dan tiga partai Yahudi sayap kanan yang mendukung okupasi serta penggusuran warga Palestina dari tepi Barat.
Koalisi oposisi ini masih harus melalui sidang Knesset agar bisa diakui keabsahannya. Permasalahannya, Ketua Knesset adalah Yariv Levin, anggota Partai Likud yang merupakan partai pendukung Benyamin Netanyahu. Dugaannya, Levin akan menggunakan kekuasaannya untuk menunda sidang pembahasan Knesset.
“Harapannya Knesset segera melakukan rapat paripurna karena ini membahas masa depan Israel. Pemerintahan ini untuk menyatukan Israel, baik mereka yang mencoblos kami maupun orang-orang yang tidak memilih kami,” kata Lapid melalui unggahannya di Twitter.
Sejumlah perjanjian politik disepakati di dalam koalisi gado-gado ini. Ketika telah resmi, Naftali Bennett akan menjabat sebagai perdana menteri (PM) untuk dua tahun pertama masa tugas. Setelah itu, pada dua tahun terakhir jabatan PM diberikan kepada Yair Lapid.
Dalam wawancara dengan Army Radio, Ketua Partai Ra’am, Mansour Abbas mengatakan koalisi ini cukup menguntungkan bagi warga Arab-Israel, mengingat Ra’am merupakan partai islam pertama yang masuk dalam jajaran Pemerintah Israel. Selama ini mereka merupakan oposisi yang bergerak di pinggiran.
Keuntungan yang diperoleh komunitas Arab-Israel dari koalisi ini adalah penanaman modal sebesar 9,2 miliar dollar Amerika Serikat untuk kota-kota berpenduduk Arab, rencana aksi lima tahun penghentian kekerasan di komunitas Arab, dan pengakuan kampung Bedouin di Israel sebelah selatan.
Pengamat isu Timur Tengah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Hamdan Basyar skeptis memandang koalisi ini. Alasannya terlalu banyak pihak yang memiliki agenda berbeda di dalamnya. Isu kemerdekaan Palestina tidak akan bisa duduk bersama dengan pihak yang mengumandangkan perluasan kawasan Israel.
“Risiko partai melayangkan mosi tidak percaya terlalu besar. Koalisi ini tidak menampakkan akan bisa melalui tahun-tahun politik yang akan datang,” katanya.
Kalah, tapi masih berbahaya
Netanyahu bersama Partai Likud walaupun kalah tetap tidak bisa dianggap enteng. Pasalnya, Likud masih menduduki 30 kursi di Knesset dan pengaruh mereka dalam masyarakat Israel masih kuat. Partai ini terkenal dekat dengan kelompok Yahudi ultra ortodoks. Bahkan, pemerintahan Netanyahu terkenal murah hati memberi suntikan dana kepada tempat-tempat ibadah kaum ortodoks. Komunitas ini juga diizinkan tidak mengikuti wajib militer dan selama pandemi Covid-19 juga dibebaskan tidak menerapkan protokol kesehatan.
Akan tetapi \'hak khusus\' itu membuat masyarakat Israel lainnya antipati terhadap Netanyahu. Apalagi, sejak tahun 2019 berbagai kasus suap dan korupsi terhadap Netanyahu dan Partai Likud terus bermunculan. Selain itu, perang sebelas hari melawan Hamas pada Mei 2021 juga semakin menurunkan popularitas Netanyahu. Korban tewas di peperangan itu adalah 250 warga palestina dan 12 warga Israel.
Sejak 2019 Israel telah empat kali melakukan pemilu. Syarat memenanginya ialah menguasai 61 dari 120 kursi di Knesset. Tidak satu pun partai yang bisa melakukannya dan partai-partai, baik Likud maupun oposisi menolak membentuk koalisi.
Likud terkenal sering mengingkari janji politik. Koalisi terakhir adalah dengan Benny Gantz, mantan panglima angkatan bersenjata Israel. Akan tetapi, di bulan Desember 2020 koalisi ini ambruk dan Gantz yang dijanjikan memperoleh tampuk kepemimpinan terpaksa menerima kenyataan dengan tangan hampa.