Gangguan Keamanan di Afghanistan Marak, NATO Bergeming Tarik Pasukan
Meski gangguan keamanan masih saja terjadi, pasukan NATO di Afghanistan tetap akan ditarik. NATO telah membantu memberikan keamanan di negara itu selama hampir dua dekade sejak tahun 2003.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
BRUSSELS, SELASA — Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO Jens Stoltenberg menyatakan, penarikan pasukan NATO dari Afghanistan berjalan dengan baik. Pernyataan itu muncul di tengah masih maraknya gangguan keamanan di Afghanistan. Peristiwa terbaru terjadi pada Selasa (1/6/2021) malam berupa ledakan tiga bom yang terjadi secara terpisah, menewaskan sedikitnya 10 orang dan membuat kota Kabul gelap gulita.
NATO telah membantu memberikan keamanan di Afghanistan selama hampir dua dekade. Kelompok itu mengambil alih upaya keamanan di Afghanistan pada 2003, dua tahun setelah pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat menggulingkan Taliban karena menyembunyikan mantan pemimpin Al Qaeda, Osama bin Laden. Organisasi itu tetap percaya pemerintah dan angkatan bersenjata Afghanistan yang telah dilatih cukup kuat untuk berdiri sendiri di negara yang dilanda konflik tanpa bantuan pasukan internasional itu.
”Penarikan pasukan kami berlangsung tertib dan terkoordinasi. Di setiap langkah, keselamatan personel kami tetap yang terpenting,” kata Stoltenberg kepada wartawan setelah memimpin pertemuan virtual para menteri luar negeri dan pertahanan NATO. Hingga saat ini pasukan NATO yang masih tersisa di Afghanistan berjumlah kurang dari 9.000 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 3.500 orang adalah personel pasukan AS. Seluruh pasukan itu menurut rencana akan ditarik dari Afghanistan paling lambat 11 September mendatang.
Setelah pasukan NATO tidak lagi berada di Afghanistan, aliansi 30 negara dan mitranya akan terus memberikan dana bagi negara tersebut. Hal itu digambarkan Stoltenberg sebagai ”kekuatan keamanan yang kuat dan cakap bagi Afghanistan”. Meski demikian, belum ada kejelasan bagaimana dana itu akan disalurkan ke tentara Afghanistan.
”NATO akan melanjutkan kehadiran diplomatik sipil kami di Kabul untuk memberikan saran dan dukungan pengembangan kapasitas kepada lembaga-lembaga keamanan Afghanistan,” kata Stoltenberg.
Para diplomat NATO mengatakan pekan ini bahwa masih belum jelas siapa yang akan melindungi warga sipil atau bagaimana bandara internasional Kabul akan diamankan. Kepergian NATO dari Afghanistan akan menjadi agenda penting dalam pertemuan puncak NATO di Brussels pada 14 Juni mendatang yang dipimpin Presiden AS Joe Biden. Tidak ada pemimpin Afghanistan yang akan ambil bagian dalam pertemuan itu.
NATO akan melanjutkan kehadiran diplomatik sipil kami di Kabul, untuk memberikan saran dan dukungan pengembangan kapasitas kepada lembaga-lembaga keamanan Afghanistan.
Stoltenberg, mantan Perdana Menteri Norwegia, mengatakan, NATO juga sedang mempelajari cara-cara untuk mendidik pasukan Afghanistan dan melatih tentara pasukan khusus di luar negeri. Dia menambahkan, para menteri sepakat bahwa ”dukungan berkelanjutan ini adalah cara terbaik di mana kita semua dapat berkontribusi pada upaya perdamaian di Afghanistan”.
Para ahli militer telah mengingatkan bahwa pasukan militer Afghanistan terdiri dari personel-personel yang kurang terlatih, tidak mumpuni, sekaligus rawan goyah loyalitasnya: terhadap negara atau terhadap panglima perang di tingkat lokal. Kelompok-kelompok militer Afghanistan juga ditengarai korup. Padahal, angkatan bersenjata Afghanistan adalah benteng terakhir melawan kelompok-kelompok gerilyawan Taliban.
Ledakan bom
Gangguan keamanan masih saja membayangi kehidupan warga di Afghanistan. Tiga ledakan mengguncang Kabul pada Selasa malam. Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Afghanistan, Said Hamid Rushan, mengungkapkan, dua bom meledak secara berurutan di lokasi terpisah di lingkungan Kabul barat, menewaskan sedikitnya 10 orang dan melukai belasan lainnya. Adapun ledakan bom ketiga merusak stasiun jaringan listrik di Kabul utara. Akibatnya, sebagian wilayah Kabul gelap gulita tanpa jaringan listrik.
Rushan mengungkapkan, dua bom meledak di kawasan yang dihuni warga etnis Hazara. Ledakan pertama terjadi tidak jauh dari rumah seorang pemimpin Hazara terkemuka, Mohammad Mohaqiq. Bom kedua menargetkan sebuah minivan. Polisi menutup kedua area tersebut dan menggelar penyelidikan setelahnya.
Tidak ada pihak yang mengaku bertanggung jawab atas pengeboman itu. Namun, kelompok yang berafiliasi dengan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dan beroperasi di Afghanistan sebelumnya telah menyatakan perang terhadap warga minoritas Syiah. Warga Syiah mencakup sekitar 20 persen dari total populasi Afghanistan yang mencapai 36 juta jiwa.
Kelompok afiliasi NIIS bertanggung jawab atas beberapa serangan di Afghanistan pada Mei lalu. Salah satunya ledakan yang terjadi di pembangkit listrik Afghanistan di Kabul dan di beberapa provinsi lainnya. Pada 8 Mei, sebuah bom mobil dan dua bom di pinggir jalan juga meledak di luar sekolah putri Syed-al-Shahada, juga di lingkungan yang didominasi warga Hazara. Peristiwa itu menewaskan lebih dari 80 jiwa, sebagian besar adalah pelajar. (AP/AFP)