Sedikitnya 68 orang, sebagian besar adalah para siswi, tewas akibat serangan bom di pinggiran Kabul, Afghanistan. Situasi negara itu kian mengkhawatirkan di tengah buntunya perundingan pihak-pihak yang bertikai.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar dan Mahdi Muhammad
·4 menit baca
KABUL, MINGGU — Situasi keamanan di Afghanistan semakin tidak terkendali selama beberapa pekan terakhir. Kekerasan demi kekerasan berulang, terutama menyasar anak-anak dan remaja. Dua pekan lalu, bom mobil meledak di penginapan calon mahasiswa yang hendak mengikuti ujian masuk perguruan tinggi di Provinsi Logar, kejadian serupa terulang, Sabtu (8/5/2021) siang. Sebuah bom mobil meledak di depan sekolah perempuan di Das-i-Barchi, pinggiran Kabul, menewaskan 68 orang serta melukai sedikitnya 165 orang.
Pernyataan juru bicara Kementerian Dalam Negeri Afghanistan, Tariq Arian, menyebutkan, ledakan tidak hanya terjadi sekali, tetapi tiga kali. Ledakan pertama berasal dari kendaraan yang membawa bahan peledak, disusul ledakan kedua dan ketiga tak jauh dari gerbang sekolah.
Soal adanya tiga ledakan ini diperkuat keterangan Zahra, siswi yang selamat. ”Saya bersama teman sekelas saya, kami meninggalkan sekolah, ketika tiba-tiba terjadi ledakan. Sepuluh menit kemudian ada ledakan lagi dan hanya beberapa menit kemudian ledakan lain,” tuturnya.
Di luar Rumah Sakit Muhammad Ali Jinnah di Dasht-e-Barchi, puluhan orang berbaris menyumbangkan darah. Marco Putin, koordinator program rumah sakit di Afghanistan, mengatakan bahwa sebagian besar korban adalah perempuan remaja berusia 12-20 tahun.
Mohammad Dawood Danish, Kepala RS Muhammad Ali Jinnah, mengatakan, mereka merawat sekitar 40 korban luka pada peristiwa itu. Ia mengungkapkan, sejumlah gadis remaja menjadi korban dalam situasi kritis.
Tidak ada yang langsung mengaku bertanggung jawab atas serangan. Juru bicara kelompok Taliban, Zabihullah Mujahid, mengirimkan pesan kepada sejumlah wartawan dan menyatakan hanya kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang dapat bertanggung jawab atas kejahatan keji seperti itu. Ia juga menuduh intelijen Afghanistan terlibat dengan NIIS meski dia tidak memberikan bukti.
Presiden Afghanistan Ashraf Ghani menyalahkan Taliban atas peristiwa tersebut. Situasi yang semakin sulit terkendali di Afghanistan terjadi di tengah langkah pasukan AS dan NATO untuk secara bertahap menarik sisa pasukan mereka. Direncanakan, penarikan pasukan itu akan selesai pada September nanti.
Bertambahnya warga sipil yang menjadi korban di tengah upaya perundingan damai yang terhenti mengkhawatirkan banyak pihak. Direktur Komisi Hak Asasi Manusia Independen Afghanistan (AIHRC) Shaharzad Akbar, seperti dikutip The New York Times, mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menghitung kembali jumlah serangan terhadap institusi pendidikan dan korban jiwa di kalangan pelajar Afghanistan.
”Saya tidak bisa lagi menghitung berapa banyak serangan yang telah membuat anak-anak, warga sipil menjadi korban. Hanya dalam bulan ini saja. Perang ini, kegilaan ini, harus dihentikan. Ini sungguh menyakitkan,” katanya.
Misi Khusus PBB Untuk Afghanistan, UNAMA, awal bulan Mei merilis sebuah laporan kuartal pertama soal Perlindungan Warga Sipil Afghanistan dalam Konflik Bersenjata 2021. Laporan tersebut menyatakan, jumlah korban warga sipil pada kuartal pertama tahun 2021 sebanyak 1.783 jiwa, yakni 573 orang tewas dan 1.210 terluka.
Jumlah ini mengalami kenaikan 29 persen dibandingkan dengan jumlah korban pada periode yang sama tahun lalu.
Deborah Lyons, Kepala Misi UNAMA, mengatakan, yang perlu mendapat perhatian adalah kenaikan korban perempuan dan anak-anak pada kuartal pertama tahun 2021 yang mengalami kenaikan hingga 37 persen dan 23 persen. ”Jumlah warga sipil Afghanistan yang terbunuh dan cacat, terutama wanita dan anak-anak, sangat mengganggu. Saya mohon para pihak segera menemukan cara menghentikan kekerasan ini," kata Lyons.
Penarikan pasukan Amerika Serikat dan NATO yang mulai berlangsung sedikit demi sedikit dan direncanakan selesai pada September 2021, menurut Ghani, menjadi penting bagi masa depan negara tersebut karena dengan begitu mereka berdiri sendiri sebagai sebuah bangsa.
Dalam artikelnya di jurnal Foreign Affairs, 4 Mei 2021, Ghani menulis, penarikan mundur pasukan AS dan koalisi dari negara itu telah sesuai dengan keinginan Taliban. Jika masih terus menolak untuk melakukan perundingan damai, tulis Ghani, Taliban memang tidak memiliki niatan agar negara ini berada dalam kondisi damai, pasukan keamanan pemerintah Afghanistan siap berperang dengan kelompok tersebut.
Ghani mengatakan, banyak indikator telah diperlihatkan oleh Taliban tentang masa depan yang mereka inginkan, mulai dari penolakannya untuk ikut serta dalam perundingan damai yang seharusnya berlangsung di Istanbul, Turki, April lalu, hingga penolakan mereka untuk melakukan gencatan senjata. ”Tampaknya Taliban lebih tertarik dengan kekuasaan dibandingkan melihat Afghanistan yang damai,” kata Ghani.
Sistem pemerintahan Afghanistan yang diinginkan oleh Taliban, menurut Ghani, sebenarnya sudah dilaksanakan sekarang ini. Tidak ada alasan lagi bagi Taliban untuk menolak berunding. Apalagi para pemimpin Taliban sama sekali tidak pernah mengajukan rencana detail dan kejelasan tentang Afghanistan di dalam benak mereka.
Ghani juga menyatakan, perundingan intra-Afghanistan ataupun perundingan lain yang digagas oleh AS dan sekutunya tidak bisa berjalan karena para pemimpin Taliban sendiri tidak pernah bisa menerima ada kondisi damai di negara tersebut. ”Seperti kesiapan kami berunding dengan mereka, kami juga siap untuk berperang dengan Taliban. Kami siap bertempur dengan mereka di medan tempur,” kata Ghani.
Dia mengatakan, penarikan militer AS dan koalisi adalah kesempatan bagi rakyat Afghanistan untuk benar-benar mewujudkan negara yang berdaulat dan perdamaian. Namun, hal itu hanya bisa terwujud jika seluruh rakyat dan mitra internasional serta para pihak yang bertikai berkomitmen pada jalur yang jelas. (AP/AFP/REUTERS)