Melindungi Warga Dunia Melalui R2P Tak Semudah Membalik Telapak Tangan
”Responsibility to protect” atau tanggung jawab untuk melindungi warga dari genosida, kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan pemusnahan etnis sudah menjadi prinsip global. Namun, penerapannya tak mudah dijalankan.
Oleh
Luki Aulia
·7 menit baca
Responsibility to protect atau tanggung jawab untuk melindungi warga dari genosida, kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan pemusnahan etnis sudah diadopsi dalam Dokumen Hasil Pertemuan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN World Summit Outcome Document) tahun 2005. Tanggung jawab tersebut merupakan norma internasional yang pada dasarnya sudah menjadi kesepakatan untuk melindungi umat manusia dan memastikan komunitas internasional tidak gagal lagi menghentikan keempat kejahatan itu di belahan dunia mana pun.
Konsep responsibility to protect (R2P) awalnya muncul untuk menanggapi kegagalan komunitas internasional dalam menangani genosida di Rwanda dan Yugoslavia—kini terbagi menjadi beberapa negara—pada tahun 1990-an. Pada 2001, Komite Internasional untuk Intervensi dan Kedaulatan Negara mulai mengembangkan konsep R2P itu.
Pada Januari 2009, Sekretaris Jenderal PBB mengeluarkan laporan implementasi R2P. Kemudian ada debat pertama Majelis Umum PBB soal R2P pada Juli 2009. R2P telah didukung di dalam PBB melalui lebih dari 80 resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB tentang krisis di Afrika Tengah, Pantai Gading, Republik Demokratik Kongo, Liberia, Libya, Mali, Somalia, Sudan Selatan, Suriah, dan Yaman serta resolusi-resolusi tentang pencegahan genosida, konflik bersenjata, dan pembatasan perdagangan persenjataan ringan.
R2P juga telah didukung dalam lebih dari 50 resolusi Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan 13 resolusi Majelis Umum PBB. Resolusi-resolusi itu menunjukkan bahwa tindakan kolektif untuk melindungi warga dunia yang sedang terancam sesungguhnya bisa dilakukan. Namun, sejak awal, efektivitas R2P ini diragukan dalam melindungi warga dunia. Bahkan, seiring berjalannya waktu, banyak yang menilai R2P ini melempem, teori saja tanpa praktik.
Pengamat diplomasi kemanusiaan di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Ririn Tri Nurhayati, menjelaskan bahwa R2P awalnya muncul sebagai norma atau prinsip negara bertanggung jawab melindungi penduduknya. R2P menjadi basis tindakan komunitas internasional yang dijalankan dengan resolusi DK PBB antara lain untuk menyikapi krisis kemanusiaan di Libya saat Moammar Khadafy bertindak represif menekan kelompok antipemerintah.
DK PBB mengeluarkan resolusi yang memberi mandat kepada komunitas internasional—yang dijalankan oleh Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO)—untuk bersikap tegas menghentikan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan Pemerintah Libya. Menurut R2P, tanggung jawab utama melindungi penduduk berada di pundak negara.
Namun, jika negara tersebut tidak mampu atau tidak mau melindungi penduduknya, komunitas internasional akan mengambil tanggung jawab itu. ”Caranya melalui berbagai mekanisme, mulai dari cara-cara damai hingga intervensi. Kalau perlu, bisa juga memakai kekuatan militer,” kata Ririn.
Jika R2P ini bisa membantu melindungi rakyat, dunia semestinya juga bisa melindungi rakyat Myanmar, misalnya. Ini yang menjadi tuntutan pengunjuk rasa antikudeta Myanmar yang meminta komunitas internasional untuk membantu. Ririn menilai, R2P relevan dikaitkan dengan kebijakan Pemerintah Myanmar terhadap masyarakat minoritas Rohingya dan tindakan represif junta militer kepada pengunjuk rasa.
Non-intervensi
Namun, komitmen komunitas internasional, khususnya ASEAN, dalam memanfaatkan R2P untuk menyikapi situasi di Myanmar belum kuat. ”Dibandingkan dengan negara-negara di kawasan lain, negara-negara anggota ASEAN bersikap hati-hati menerima R2P meski secara formal semua mendukung R2P, termasuk Indonesia,” ujarnya.
Ririn mengingatkan adanya tiga pilar dalam R2P, yakni tanggung jawab negara untuk melindungi penduduk, tanggung jawab komunitas internasional untuk membantu mengembangkan kapasitas negara dalam menjalankan tanggung jawab perlindungan, dan jika negara gagal melindungi, komunitas internasional bisa mengambil alih tanggung jawab itu. ”ASEAN mendukung penuh pilar pertama dan kedua, tetapi sangat berhati-hati dengan pilar ketiga karena itu membuka peluang intervensi,” ujarnya.
Sikap ASEAN untuk lebih berhati-hati itu karena ada prinsip non-intervensi yang dipegang kuat. Selain itu, juga karena ada sejarah kolonialisme yang membuat ASEAN berhati-hati dalam melibatkan pihak eksternal di urusan domestik. Namun, kata Ririn, ASEAN juga memiliki Deklarasi ASEAN tentang HAM dan Komisi HAM Antarnegara (AICHR). Prinsip R2P juga sudah diterima Panel Penasihat Tingkat Tinggi ASEAN yang menyatakan R2P sejalan dengan visi ASEAN yang bertujuan membangun komunitas yang saling peduli dan berbagi.
Dengan mengakui atau menerima R2P, berarti ASEAN menerima arti kedaulatan negara itu bukan berarti negara bisa melakukan apa pun.
”Pemahaman dan penerapan prinsip non-intervensi dan kedaulatan negara perlu ditinjau ulang karena dengan mengakui atau menerima R2P, berarti ASEAN menerima arti kedaulatan negara itu bukan berarti negara bisa melakukan apa pun. Namun, dalam kedaulatan itu melekat tanggung jawab melindungi penduduk,” kata Ririn.
Oleh karena itu, ASEAN dinilai perlu mengambil kebijakan lebih tegas kepada Myanmar dengan mengingatkan akan tanggung jawab melindungi semua penduduk dengan memperbaiki kebijakan-kebijakannya. ”Cara memaknai prinsip kedaulatan dan non-intervensi agar sejalan dengan prinsip perlindungan HAM dan nilai-nilai kemanusiaan ini yang harus terus dilakukan,” kata Ririn.
Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Febrian Alphyanto Ruddyard menegaskan, R2P ini masih berupa konsep. Sebenarnya yang lebih mendesak segera dilakukan adalah pembahasan lebih lanjut mengenai implementasi tiga pilar R2P, khususnya pilar ketiga yang membutuhkan elaborasi lebih lanjut.
Pilar ketiga menyebutkan, apabila negara tak mampu dan tak mau memberi perlindungan, komunitas internasional dapat melakukan tindakan kolektif untuk memberikan perlindungan kepada rakyatnya sesuai dengan Bab 7 Piagam PBB.
”R2P ini masih berupa konsep dasar yang isinya prinsip-prinsip, perlu pembahasan lebih lanjut hingga ke tindakan konkret,” katanya.
Febrian menilai, pilar ketiga inilah yang akan membutuhkan pembahasan lebih lanjut dan prosesnya masih membutuhkan waktu lama, terutama untuk menentukan kapan komunitas internasional bisa melakukan tindakan kolektif.
”Belum ada konsensus untuk implementasi R2P. Perlu dibahas lagi parameter-parameternya, seperti kapan suatu negara bisa dianggap tidak mampu atau tidak mau memberikan perlindungan,” ujarnya.
Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kemenlu RI Abdul Kadir Jailani menambahkan, Indonesia pernah mempraktikkan R2P ketika Myanmar diterjang bencana angin topan Nargis pada 2008. Pemerintahan junta militer Myanmar pada waktu itu menolak bantuan dari komunitas internasional. Namun, lewat pendekatan diplomasi dan melalui mekanisme ASEAN, akhirnya Myanmar terbuka pada bantuan internasional.
Kadir mengatakan, komunitas internasional harus bertanggung jawab untuk memberi perlindungan dan Indonesia sepakat dengan posisi itu. Namun, bagaimana hal itu dilakukan, ”intervensi” seperti apa yang memungkinkan, termasuk penegasan bahwa proses tersebut harus melalui DK PBB, hal-hal seperti itulah yang, menurut dia, perlu dibahas.
Mengelaborasi tindakan kolektif komunitas internasional itulah yang, menurut Kadir, penting untuk lebih diperhatikan. Sebagaimana Febrian, diplomasi kemanusiaan, termasuk menghentikan genosida, kejahatan kemanusiaan, dan lain-lain, merupakan esensi dari kebijakan luar negeri Indonesia.
Pelajaran dari Libya
Direktur Pusat Studi Kebijakan Internasional Roland Paris dalam harian The Washington Post, 9 Desember 2014, menjelaskan, R2P masih memiliki harapan, tetapi harus diselesaikan terlebih dahulu soal mekanisme intervensi komunitas internasional supaya tidak juga melanggar norma karena mencampuri urusan orang lain.
Mantan Penasihat Senior untuk Sekjen PBB Ghassan Salame menambahkan, salah satu persoalan R2P adalah R2P itu berangkat dari konsep hubungan internasional abad ke-19 bahwa dunia bisa mengintervensi negara lain ketika negara itu tidak dapat atau tidak mau melindungi penduduknya sendiri. Selain itu, kepercayaan pada R2P juga menurun. ”Kepercayaan dunia pada kemampuan negara-negara Barat untuk menyelesaikan konflik dan membangun perdamaian anjlok setelah R2P digunakan di Libya pada 2011,” kata Salame.
Pada Maret 2011, DK PBB mengeluarkan resolusi mendukung tindakan militer untuk melindungi warga sipil dari pasukan Khadafy. Namun, setelah Khadafy digulingkan dan tewas, Libya lalu terjebak perang sipil di antara dua kubu.
”Kita masuk Libya, lalu kita keluar begitu saja. Padahal, seharusnya kita membantu membangun jaringan untuk merekonstruksi perdamaian di Libya. Karena tidak begitu, situasinya berantakan. Itu juga kita lakukan di Irak,” kata Salame.
Meski sampai sekarang belum ada konsensus implementasi R2P, semua pihak sudah sepakat perlindungan keamanan umat manusia harus diutamakan dan diperkuat dengan struktur alternatif yang lebih gesit dan mampu melampaui batasan geopolitik. Konsep R2P tetap harus dihidupkan karena sampai sejauh ini, itu konsep paling ideal, terutama jika ditekankan pada upaya-upaya di pilar kedua yang sifatnya lebih preventif.
Selain itu, agar lebih langgeng dan konkret, pendekatan R2P juga mestinya bisa melibatkan banyak pemangku kepentingan, termasuk dengan aktor-aktor masyarakat sipil, sehingga tanggung jawabnya melindungi penduduk dunia pun bisa dibagi merata.