Pemerintah Indonesia menegaskan sepakat pada resolusi tentang Tanggung Jawab untuk Melindungi atau dikenal sebagai Responsibility to Protect (R2P). Indonesia, siap untuk terlibat lebih lanjut dalam pembahasan R2P.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Pemerintah Indonesia mendukung upaya melawan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk upaya yang sudah tertuang di dalam resolusi Tanggung Jawab untuk Melindungi atau Responsibility to Protect yang dikenal dengan R2P.
Hal itu ditegaskan oleh Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Febrian Alphyanto Ruddyard, Kamis (20/5/2021). Sikap Indonesia ini ditegaskan kembali karena adanya dugaan Indonesia tidak mendukung resolusi itu. Dugaan itu beredar di media sosial dan disebutkan Indonesia menolak mengadopsi resolusi R2P saat pengambilan suara dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Selasa lalu.
Sebanyak 115 negara mendukung, 15 negara menolak, dan 28 negara tidak memilih. Indonesia termasuk salah satu negara yang menolak. Selain Indonesia, Belarusia, Bolivia, Burundi, China, Kuba, Korea Utara, Mesir, Eritrea, Kirgistan, Nikaragua, Federasi Rusia, Suriah, Venezuela, dan Zimbabwe juga menolak.
Hanya saja, berbeda dengan negara-negara yang menolak itu, Indonesia bukan menolak substansi dari resolusi R2P itu. Febrian menegaskan Indonesia menolak adanya agenda baru pembahasan resolusi R2P karena berpandangan bahwa konsep R2P yang disepakati dalam World Summit Outcome tahun 2005 itu masih relevan.
”Supaya tidak ada salah paham, Indonesia tidak menolak substansinya, tetapi mekanisme pembahasannya saja. Penolakan Indonesia ini lebih ke urusan prosedurnya, bukan substansinya. Kalau membuat resolusi baru, akan buang-buang waktu dan energi. Pakai saja resolusi yang 2005 itu,” kata Febrian.
Menurut Febrian, yang dibahas dalam pertemuan terakhir adalah soal isu prosedural, tentang di mana R2P akan dibahas. Dan posisi Indonesia adalah lebih baik menggunakan agenda yang telah ada daripada membentuk agenda baru.
Febrian menjelaskan, menurut Indonesia tidak perlu membuat agenda baru. Karena sudah ada agenda yang sebelumnya mengakomodasi pembahasan tentang R2P. Menurut dia, yang lebih mendesak adalah pembahasan lebih lanjut tentang bagaimana tiga pilar yang dimiliki R2P diimplementasikan, khususnya pilar ketiga yang membutuhkan elaborasi lebih lanjut.
Pilar pertama menyebutkan kewajiban melakukan perlindungan terhadap genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan tanggung jawab pemerintah negara itu sendiri.
Adapun pilar kedua, apabila negara tersebut tidak mampu memberi perlindungan, komunitas internasional wajib memberikan bantuan kepada negara itu agar mampu melakukan perlindungan. Bantuan komunitas internasional itu berupa bantuan kemanusiaan, pelatihan, dan lain-lain.
Pilar ketiga menyebutkan, apabila negara tidak mampu dan tidak mau memberi perlindungan, komunitas internasional dapat melakukan tindakan kolektif untuk memberikan perlindungan kepada rakyatnya sesuai dengan Bab 7 Piagam PBB.
”Karena masih berupa konsep dasar yang isinya prinsip-prinsip, perlu pembahasan lebih lanjut hingga ke tindakan konkret,” kata Febrian.
Febrian menilai pilar ketiga inilah yang akan membutuhkan pembahasan lebih lanjut, terutama untuk menentukan kapan komunitas internasional bisa melakukan tindakan kolektif.
”Belum ada konsensus untuk implementasi R2P. Perlu dibahas lagi parameter-parameternya. Seperti, kapan suatu negara bisa dianggap tidak mampu atau tidak mau memberikan perlindungan,” ujarnya.
Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kemlu RI Abdul Kadir Jailani menambahkan, Indonesia pernah mempraktikkan R2P ketika Myanmar diterjang bencana angin topan Nargis pada tahun 2008. Pemerintahan junta militer Myanmar pada waktu itu menolak bantuan dari komunitas internasional. Namun lewat pendekatan diplomasi dan melalui mekanisme ASEAN, akhirnya Myanmar terbuka pada bantuan internasional.
Sebagaimana dijelaskan Febrian, Kadir mengatakan, Indonesia tidak pernah menolak upaya menghentikan genosida atau mencegah kejahatan kemanusiaan. Menurut dia, komunitas internasional harus bertanggung jawab untuk memberi perlindungan dan Indonesia sepakat dengan posisi itu. Akan tetapi bagaimana itu dilakukan, ”intervensi” seperti apa yang memungkinkan, termasuk penegasan bahwa proses tersebut harus melalui Dewan Keamanan PBB, hal-hal seperti itulah yang menurutnya perlu dibahas.
Mengelaborasi tindakan kolektif komunitas internasional itulah yang menurut Kadir penting untuk lebih diperhatikan. Sebagaimana Febrian, diplomasi kemanusiaan termasuk menghentikan genosida, kejahatan kemanusiaan, dan lain-lain merupakan esensi dari kebijakan luar negeri Indonesia.