Pemerintah Dinilai Belum Berkomitmen Penuh untuk Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah Indonesia dinilai belum berkomitmen secara penuh dalam menangani kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. Padahal, Indonesia mendukung prinsip tanggung jawab negara dalam melindungi dan mencegah warganya dari kajahatan atau kekejaman. Prinsip yang disetujui secara global itu dikenal dengan konsep Responsability to Protect, yang dilahirkan dalam World Summit 2005.
"Implementasi prinsip R2P (Responsability to Protect) di Indonesia tidak mudah. Setelah Soeharto, semua presiden Indonesia telah berupaya mengatasi kasus-kasus pelanggaran HAM. Tetapi, semua upaya itu tidak konklusif," kata mantan Wakil Tetap RI untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Makarim Wibisono, Rabu (29/8/2018), dalam acara diskusi yang digelar oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Asia Pacific Centre for the Responsability to Protect di Jakarta Pusat.
Ia mencontohkan, Presiden Indonesia ke-tiga BJ Habibie membebaskan tahanan-tahanan politik dan menolak pemutaran film propaganda G30S/PKI. Presiden Indonesia ke-empat Abdurrahman Wahid menyatakan permohonan maaf kepada korban kasus pelanggaran HAM masa lalu dan menerbitkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Presiden Indonesia ke-lima Megawati Soekarnoputri menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2004-2009. Presiden Indonesia ke-enam Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Pemilihan Calon Anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Terakhir, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019.
Menurut Makarim, pelanggaran HAM itu dapat dicegah, di antaranya melalui penegakan hukum yang tegas, pemberantasan korupsi, promosi keanekaragaman etik dan budaya, dan kebebasan pers. "Saat pelaku kasus pelanggaran HAM tidak dihukum, maka hal itu akan mengundang orang lain melakukan pelanggaran yang sama," ucapnya.
Bagi Rafendi Djamin, Penasehat Senior dari Human Rights Working Group (HRWG) Jakarta, implementasi R2P itu sulit dilakukan dalam konteks Indonesia. "Ini karena terkait dengan kekuatan politik. Pelaku (kasus pelanggaran HAM) masih memegang kekuasaan," ujarnya.
Menurutnya, prinsip R2P semestinya lebih dipromosikan oleh Kementerian Luar Negeri. "Namun, mereka enggan untuk mengimplementasikan prinsip itu," lanjutnya.
Hafid Abbas, mantan Komisioner Komnas HAM, menegaskan, perlunya keseriusan politik dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. "Kasus itu dapat diselesaikan apabila ada political willingness. Konflik di Aceh mampu diselesaikan karena Pak JK (Jusuf Kalla) ngotot dan tidak menyerah," katanya.
Makarim menambahkan, di negara lain, seperti negara dengan sistem kediktatoran, implementasi R2P juga tidak mudah karena mereka merasa terancam adanya kekuatan internasional yang berresiko mengambil kontrol negara itu. "Masih ada perbedaan antara formulasi R2P dan implementasinya," ujarnya.
Ada empat kejahatan yang diatur dalam prinsip R2P, yaitu genosida, kejahatan perang (war crimes), pembersihan etnis (ethnic cleansing), dan kejahatan terhadap manusia (crimes against humanity). Tertulis dalam paragraf 138 dan 139 dokumen hasil World Summit 2005 (A/RES/60/1), pemerintah atau kepala negara bertanggung jawab melindungi warga mereka dari keempat kejahatan itu. Kesiapan untuk memberikan bantuan kepada negara lain yang menyatakan tidak mampu melindungi warganya juga dideklarasikan.
Sebelumnya, Anggota Komas HAM Choirul Anam, berpendapat, penyelesaian kasus pelanggaran HAM terkendala karena dipandang dalam bingkai politik dan tidak dalam spektrum dan perspektif hukum. (Kompas, 29/8/2018)