Perang Jins Antargenerasi, Bukan Sekadar Soal Tren
Di balik ”perang” jins antara generasi milenial dan generasi Z, terungkap tentang makna cantik dan keren yang tidak lagi disetir tren. Ada kesadaran tentang tubuh yang tak lagi mempermasalahkan pakaian yang dikenakan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
Media sosial di negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, beberapa bulan terakhir ini sibuk ”berperang”. Akan tetapi, ”perang” ini bukan mengenai isu politik, melainkan soal tren celana denim. Ya, benar, model celana denim berkaki ketat atau terkenal dengan istilah skinny jeans melawan celana denim berpipa lebar dan berpinggang tinggi alias celana model emak-emak atau istilahnya moms jeans. Tampaknya memang remeh-temeh, tetapi ketika ditelisik lebih lanjut ada ideologi yang lebih mendalam daripada sekadar tren pasar.
”Perang” soal celana ini terjadi antara generasi langgas atau milenial kelahiran 1980-1996 dan Generasi Z kelahiran 1997 hingga pertengahan 2000. Perang unggahan saling menjelekkan model celana yang populer di setiap generasi bertebaran di media sosial, terutama Instagram, TikTok, dan Twitter.
”Celana skinny jeans harus di-cancel. Bentuknya tidak pas buat era sesudah pandemi,” tulis salah satu pengguna TikTok dari Gen Z. Unggahan ini dibalas sejumlah pengguna media sosial milenial. ”Enak saja. Skinny jeans tetap celana yang bentuknya paling rapi daripada celana zaman ibu saya yang sekarang dipakai ABG.”
Minat Gen Z terhadap celana model emak-emak ini terdeteksi oleh kalangan mode sejak pertengahan tahun 2019. Akan tetapi, terjadi peningkatan yang signifikan sejak pandemi Covid-19 pada Maret 2020. Direktur Mode untuk gerai daring busana Shopbop, Caroline Maguire, mengatakan, selama pandemi, pembelian paling tinggi ialah celana denim longgar atau moms jeans dan gaun rumah. Gaun rumah ini bukan daster, melainkan baju terusan yang nyaman dan trendi dipakai, tetapi tidak tampak slebor.
”Sebenarnya, sejak angkatan milenial akhir hingga Gen Z awal sudah ada pengaburan jenis pakaian santai, busana kerja, dan busana pesta. Berbeda dengan angkatan Generasi X yang besar di tahun 1980-1990an, setiap pakaian ada fungsi sendiri. Baju kantor ya baju kantor, jangan dipakai ke pesta. Di generasi muda sekarang mereka menginginkan pakaian multifungsi,” papar Maguire kepada publikasi mode Pure Wow.
Ia menerangkan, Gen Z angkatan awal atau berusia 21-23 tahun mulai memasuki dunia kerja dan memiliki uang untuk membeli sendiri pakaiannya. Selain dana terbatas, terdapat pula perubahan konsep belanja di generasi ini. Mereka memiliki kesadaran terkait cara belanja yang tidak mubazir. Oleh sebab itu, generasi ini menekankan kepada pakaian yang bisa dikenakan ke berbagai jenis acara sekaligus nyaman di badan.
Pandangan Gen Z terhadap konsep cantik, seksi, dan keren juga berbeda daripada generasi-generasi sebelumnya. Apabila Gen X dan milenial menganggap kecantikan adalah tubuh semampai dan feminin serta seksi berarti buka-bukaan, Gen Z memberontak dari pemikiran yang mereka nilai sempit ini.
Bagi mereka, cantik, seksi, dan keren adalah kebebasan menjadi diri sendiri. Di dalamnya mencakup berpakaian sesuai dengan selera pribadi dan suasana hati saat itu. Bukan dikekang aturan bahwa seseorang harus berpakaian sesuai dengan bentuk tubuh, usia, status sosial, dan pekerjaan.
Menurut psikolog klinis yang berpraktik di New York, Beth Pausic, ini pemberontakan yang reflektif, apalagi selama pandemi orang-orang terpaksa berdiam di rumah sehingga mulai mengenal diri kembali. Ada kesadaran bersama untuk berdamai dan menerima bentuk tubuh masing-masing tanpa perlu takut dengan stereotip dan tren.
”Generasi muda sekarang tumbuh dengan prinsip ’hari ini mau pakai baju apa’. Bukan ’hari ini harus pakai baju apa’ seperti generasi pendahulunya,” ujarnya.
Pendapat serupa disampaikan Shakaila Forbes-Bell, psikolog mode yang bekerja untuk perusahaan ritel Afterpay. Ia memaparkan, bentuk skinny jeans yang ketat dinilai tidak ramah kepada semua jenis tubuh. Perempuan-perempuan yang memiliki bobot badan di atas standar kecantikan konservatif merasa tidak nyaman mengenakannya. Bagi Gen Z, skinny jeans adalah semacam perlambangan tren awal tahun 2000-an yang mengagungkan tubuh langsing dan seragam sehingga mengekang individu menjadi diri sendiri.
Lantas apa yang membuat pemaknaan baru cantik dan keren ini ada hubungannya dengan celana emak-emak dan sepatu sneakers model bapak-bapak? Forbes-Bell menjelaskan, sensasi nostalgia selalu memiliki kedekatan emosional dengan setiap individu. Busana model emak-emak dan bapak-bapak ini selain nyaman dipakai juga memberi rasa keamanan dan kestabilan. Di masa pandemi yang serba tidak jelas ini, alam bawah sadar konsumen muda mencari benda-benda yang mengingatkan mereka kepada suasana hangat dan ajek seperti yang dirasakan ketika diasuh orangtua.
Media acuan bisnis mode, Women’s Wear Daily, yang melakukan studi terhadap sejumlah perusahaan retail terbesar di AS, seperti Bloomingdale’s, Intermix, Nordstorm, dan Saks Fifth Avenue, mendukung teori ini. Toko-toko tersebut melaporkan pada kuartal I hingga II tahun 2020 bisnis pakaian sepi akibat masyarakat harus tinggal di rumah. Baru pada kuartal IV-2020 dan kuartal I-2021 ada tanda-tanda kenaikan.
Laporan itu menjabarkan, konsumen milenial muda dan Gen Z yang meniti karier memilih pakaian yang praktis dan apik untuk dipakai dalam rapat daring di aplikasi rapat dan ketika berbelanja ke pasar. Pakaian yang tampak menarik di semua jenis bentuk tubuh, sehingga siluet longgar menjadi pilihan yang digemari.
Idealisme ini berkorelasi erat dengan prinsip netralitas ketubuhan (body neutrality). Ini adalah pandangan yang lebih inklusif daripada gerakan positivisme ketubuhan (body positivity). Positivisme selama ini menimbulkan pro dan kontra karena membuat masyarakat berpolemik terhadap penerimaan berat badan yang ideal, jenis tubuh gemuk yang sehat, atau kurus yang tidak membuat orang lain merasa terintimidasi.
Psikolog sekaligus Direktur Medis Pusat Pemulihan Pola Makan Denver, Elizabeth Wassenaar, kepada portal media Insider menuturkan, dalam konsep netralitas ketubuhan, individu dan masyarakat tidak lagi fokus pada bobot dan ukuran. Gerakan ini tidak menjustifikasi bahwa gemuk atau kurus adalah baik, melainkan fokus kepada kepercayaan diri dan kesehatan mental.
”Prinsip yang didorong dalam netralitas ketubuhan adalah tubuhmu itu alat yang akan membawamu mengejar cita-cita, melakukan hal yang kau senangi, dan berada bersama jiwamu dalam susah dan senang. Penerimaan diri sendiri ini melahirkan cara berpakaian yang menekankan kepada tampil menarik dan unik berdasarkan selera masing-masing, bukan didikte oleh tren,” ucapnya.
Lalu, apakah skinny jeans telah menuju senjakala? Pengamat mode dan pendiri perusahaan pakaian inklusif Neutral Ground, Alysha Cassis-Shaw, dalam harian USA Today menulis, berbasis pada perayaan individualitas dan penerimaan atas ketubuhan masing-masing, tidak masalah lagi jenis pakaian yang dikenakan seseorang. Mau longgar, ketat, berumbai, ataupun minimalis tidak ada lagi yang dilarang. Kejarlah impianmu sambil bergaya sesuai kepribadianmu.