Korsel dan AS Perkuat Kerja Sama Isu Keamanan di Kawasan
Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan Presiden Amerika Serikat Joe Biden sepakat untuk menjalin kerja sama bidang keamanan, termasuk menjaga keamanan di Selat Taiwan. Namun, Korsel diyakini akan susah bergerak.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
WASHINGTON, SABTU — Pemerintah Korea Selatan dan Amerika Serikat sepakat menjalin kerja sama lebih erat untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan, termasuk di Selat Taiwan. Selain itu, kedua pemerintahan kembali menyuntikkan urgensi baru upaya denuklirisasi Korea Utara sebagai salah satu cara menjaga stabilitas keamanan di kawasan Asia Timur, khususnya Semenanjung Korea.
”Mengenai perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan, kami sepakat betapa pentingnya kawasan itu, terutama mengingat karakteristik khusus antara China dan Taiwan. Kami baru saja memutuskan untuk bekerja lebih dekat dalam masalah ini ke depan,” kata Presiden Korea Selatan Moon Jae-in kepada wartawan pada konferensi pers bersama Presiden AS Joe Biden, Jumat (21/5/2021).
Kementerian Luar Negeri Taiwan mengucapkan terima kasih atas dukungan tersebut dengan mengatakan negara pulau itu selalu memainkan peran kunci dalam stabilitas dan kemakmuran kawasan.
Washington sangat tertarik untuk melihat pernyataan yang kuat dari Moon tentang China, salah satu kekuatan pesaing AS tidak hanya di kawasan tapi juga global. Walaupun hingga saat ini Korea Selatan berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan terkait China, Biden menyambut baik rencana para pengusaha Korsel untuk menanamkan miliaran dollar uangnya pada sektor strategis di AS, seperti microchip. Dia menyatakan, AS dan sekutunya, dalam hal ini Korsel, dalam kerja sama itu harus bisa mengalahkan Beijing.
Biden menyebut kemitraan AS-Korea Selatan sebagai inti perdamaian dan keamanan serta menjanjikan pendekatan bersama untuk perselisihan dengan Korea Utara. Dia juga mengatakan, selama bertemu Moon di Gedung Putih, keduanya membahas kebebasan navigasi untuk pengiriman internasional di Laut China Selatan serta perdamaian dan stabilitas di sekitar Taiwan, yang telah menjadi sasaran keberatan China yang semakin meningkat.
Pertemuan Moon dan Biden merupakan pertemuan mereka secara langsung untuk pertama kalinya setelah Biden dilantik sebagai presiden pada Januari 2021. Moon adalah presiden asal Asia kedua yang bertemu Biden secara langsung setelah Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga yang berkunjung pada bulan lalu.
Selama ini, pemerintahan Presiden Moon terlihat berhati-hati agar tidak membuat komentar atau pernyataan yang menyinggung Beijing. Menurut Chung Min Lee, peneliti senior bidang keamanan di Asia Timur dan Korea pada lembaga Carnegie Endowment International, ada beberapa hal yang membuat Moon berhati-hati mengeluarkan pernyataan soal China, yaitu ketergantungan Korsel pada pasar China yang besar serta hubungan patronasi China dengan Korea Utara.
Chung mengatakan, pengusaha dan Pemerintah Korsel menikmati hubungan yang baik dengan China, terutama karena nilai total ekspor Korsel ke Negeri Tirai Bambu senilai 136 miliar dollar AS pada 2019, setara 25 persen dari nilai total ekspor Korsel.
Dikutip dari Asia Times, China, partner ekonomi besar bagi Korea Selatan, marah ketika di 2017 Pemerintah Korsel memasang sistem pertahanan THAAD (terminal high altitude area defense) buatan AS untuk menggantikan sistem pertahanan mereka yang lama. Dampak kemarahan Beijing atas keputusan Istana Biru Korsel cukup besar.
Membalas keputusan Korsel, Pemerintah China memutuskan tidak memberi izin bagi para artis K-Pop untuk tampil di China. Selain itu, perusahaan gim Korea Selatan, yang menikmati hasil penjualan besar di daratan China, terpukul karena mereka tidak bisa mendapatkan lisensi baru penjualan ke negara berpenduduk terbesar di dunia itu.
Lotte, perusahaan ritel Korsel, terkena dampak dari merenggangnya hubungan kedua negara. Perusahaan yang memiliki 112 lokasi di seluruh China itu menjadi sasaran kesalahan administrasi oleh pemerintah setempat. Lotte menutup usahanya dan hengkang dari China.
Berdasarkan data lembaga penelitian Hyundai Research Institute, dampak pemasangan sistem pertahanan THAAD membuat perekonomian Korsel merugi hingga 7,5 miliar dollar AS atau setara dengan 0,5 persen GDP Korsel di tahun 2017.
Selain itu, sebagai patron bagi Pemimpin Korut Kim Jong Un, masukan Beijing bisa menjadi opsi bagi kebijakan negara itu kepada Korsel, atau bahkan ke kawasan dan lebih jauh terhadap AS.
Kim Dong Woo, doktor ilmu politik pada Universitas British Columbia, dikutip dari laman The Diplomat, mengatakan, Pemerintah Korsel tidak bisa leluasa bergerak menentukan kebijakan luar negerinya karena China memegang ”kartu” kebijakan pemerintahan Moon.
Program nuklir Korea Utara
Kedua pemimpin juga membahas secara intensif masalah konflik di Semenanjung Korea yang melibatkan Korea Utara. Mereka sepakat, pelucutan senjata nuklir Korut adalah tujuan bersama dan keduanya akan mencoba mengambil langkah pragmatis untuk mengurangi ketegangan.
Sejak Biden dilantik sebagai presiden, Korut telah menolak upaya diplomasi AS. Kim Jong Un menolak untuk mengurangi atau menyerahkan seluruh persenjataan nuklirnya dan bahkan, diyakini para ahli, Korut terus mengembangkan kemampuan persenjataan nuklirnya.
Biden menyatakan, dia bersedia bertemu Kim dalam kondisi yang tepat dengan syarat Korut sepakat untuk membahas program nuklirnya. Dia menginginkan penasihatnya dan penasihat pemimpin Korut bertemu untuk meletakkan dasar perundingan.
Biden menegaskan, dia tidak akan meniru apa yang dilakukan pendahulunya, Donald Trump, ketika menghadapi Korut. ”Saya tidak akan melakukan apa yang telah dilakukan di masa lalu. Saya tidak akan memberikan semua yang dia cari, termasuk pengakuan internasional, sebagai hal yang sah dan memungkinkan dia untuk bergerak ke arah agar terlihat serius tentang apa yang tidak dia lakukan. Padahal dia sama sekali tidak bermaksud serius tentang tindakannya itu,” papar Biden.
Untuk mengurusi Korut, Biden telah menunjuk pejabat veteran Departemen Luar Negeri, Sung Kim, sebagai utusan khusus AS untuk Korea Utara.
Sung Kim adalah seorang diplomat Korea-Amerika yang menjabat sebagai utusan khusus untuk Korea Utara di bawah Presiden Barack Obama dan membantu mengatur pertemuan puncak Trump dengan Kim Jong Un.
Jenny Town dari 38 North, sebuah proyek Korea Utara yang berbasis di Washington, mengatakan penunjukan Sung Kim merupakan langkah positif setelah pemerintah mengisyaratkan tidak terburu-buru untuk mengisi jabatan tersebut. (AFP/REUTERS)