Dari Masker Bekas Jadi Perabot Rumah
Limbah sampah masker tak hanya mengotori lingkungan, tetapi juga meningkatkan risiko penularan Covid-19 apabila tersentuh oleh manusia. Di tangan orang kreatif, limbah masker bisa diolah menjadi benda-benda fungsional.
Sudah lebih dari satu tahun dunia mengalami pandemi Covid-19. Metode penanganannya berbeda-beda untuk setiap negara. Tetapi, ada satu kesamaan di antara semuanya: meningkatnya pemakaian masker, terutama masker medis sekali pakai.
Memang masker mencegah penularan virus korona, tetapi saat sudah selesai dipakai, masker mendatangkan persoalan lain, yaitu pencemaran lingkungan dan risiko penularan Covid-19 secara tidak langsung.
Sejumlah lembaga penelitian, perusahaan, dan bahkan individu memiliki ide kreatif untuk mengumpulkan masker dan mengolahnya menjadi bahan-bahan yang bisa didaur ulang serta dimanfaatkan membuat benda-benda fungsional. Mulai dari perabotan rumah tangga sampai pembangunan infrastruktur publik.
”Kami memang menerapkan tarif cukup mahal, tetapi antusiasme masyarakat tampak meningkat soal daur ulang masker. Sejak program daur ulang masker medis sekali pakai diluncurkan, sudah ada 30 klien yang berlangganan layanan kami,” kata Matthieu de Chanaleilles, Direktur Tri-o et Greenwishes, perusahaan daur ulang di Perancis dalam wawancara dengan AFP, Rabu (19/5/2021).
Baca juga : Asal-usul dan Cerita Perjalanan Panjang Tameng Penangkal Virus
Kliennya adalah rumah sakit, kantor-kantor, serta perusahaan konstruksi. Setiap klien membayar uang langganan 250 euro (Rp 4,3 juta) per bulan. Tri-o et Greenwish akan mengambil sampah masker para klien yang dikumpulkan di wadah terpisah dari sampah lain. Masker medis terbuat dari serat plastik polipropilene, karet, dan logam.
Guna menghindari penularan Covid-19, pekerja yang mengambil sampah ini memakai alat pelindung diri lengkap. Masker-masker bekas itu dibawa ke gudang dan didiamkan selama 14 hari. Teori medis sejauh ini mengatakan, virus SARS-Cov-2 bisa bertahan hidup dua pekan.
Setelah masa inkubasi selesai, masker disterilkan dengan sinar ultraviolet. Masker ini lalu diproses dan dicacah menjadi butiran-butiran plastik yang, oleh Tri-o et Greenwishes, dijual ke perusahaan-perusahaan pembuat perangkat plastik untuk kendaraan bermotor.
Bisnis ini cukup menguntungkan. Berdasarkan laporan parlemen Perancis, pada tahun 2020 ada 40.000 ton masker sekali pakai yang dibuang. ”Kami sudah berhasil mendaur ulang 1 ton masker. Target akhir tahun 2021 adalah bisa mendaur ulang 20 ton masker bekas,” kata De Chanaleilles.
Baca juga : Masker Bekas Pakai Masih Dibuang Sembarangan
Di Amerika Serikat, perusahaan TerraCycle di Negara Bagian New Jersey juga melakukan hal serupa. Mereka menetapkan biaya 88 dollar AS (Rp 1,25 juta) per bulan bagi para pelanggan yang ingin dijemput sampah maskernya. Direktur TerraCycle, Tom Szaky menjelaskan, daur ulang sampah residu memang lebih mahal daripada sampah plastik reguler, seperti sedotan, botol, dan kantong keresek.
Kami sudah berhasil mendaur ulang 1 ton masker. Target akhir tahun 2021 adalah bisa mendaur ulang 20 ton masker bekas.
”Limbah plastik residu, seperti masker medis, popok, dan pembalut, memang butuh prosedur lebih aman dan teknologi lebih canggih untuk mengurainya. Tidak jarang beberapa perusahaan harus bekerja sama, misalnya satu perusahaan mencacah plastik dan perusahaan lain meleburnya,” papar Szaky. Seperti Tri-o et Greenwishes, TerraCycle memproduksi butiran plastik. Material ini dipakai untuk membuat perabotan rumah tangga, seperti bangku dan meja plastik.
Jadi tugas akhir
Tidak hanya perusahaan bermodal, individu pun turut berinisiatif memperbaiki masalah limbah masker. Seorang mahasiswa jurusan desain perabotan dari Universitas Seni dan Desain Kaywon, Korea Selatan, yang bernama Kim Ha-neul juga tergerak mengutak-atik limbah medis ini.
Ia membuat kotak pembuangan masker di almamaternya. Tak disangka, masker bekas yang terkumpul mencapai 10.000 lembar karena beberapa perusahaan pembuat masker turut mengirimkan masker-masker yang tidak lulus uji kelayakan.
Setelah didiamkan di dalam kantong-kantong plastik selama 14 hari, baru Kim berani menyentuh masker-masker tersebut. Pertama-tama ia memisahkan badan masker dari tali elastis untuk mencantel masker ke telinga dan mencopot lempengan logam yang menjepit hidung. Bermodal alat pemanas bersuhu 300 derajat celsius, ia melelehkan masker di atas cetakan.
Walhasil, Kim membuat bangku kecil setinggi 45 sentimeter. Bangku itu berwarna-warni, ada yang hijau, biru, merah muda, dan hitam. Sesuai dengan warna-warna masker medis yang menjadi bahan bakunya. Satu bangku dibuat dari 1.500 helai masker. Bahkan, proyek bangku dari masker ini sukses sebagai tugas akhir yang mengantarkan Kim menjadi sarjana.
Baca juga : Mengubah Masker Sekali Pakai Menjadi Biji Plastik
Di Australia, tim peneliti dari Institut Teknologi Royal Melbourne tengah mengembangkan olahan masker medis yang dicampur dengan semen untuk membangun jalanan serta infrastruktur fisik lainnya. Penelitian sejauh ini mengungkapkan untuk mengaspal 1 kilometer jalanan, membutuhkan 3 juta masker. Mereka kini mencari investor yang mau bekerja sama mengembangkan teknologi itu ke tingkat komersial.
Indonesia sendiri sebenarnya tidak ketinggalan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia telah menemukan teknologi untuk mengolah limbah masker medis menjadi biji plastik. Mereka juga tengah menunggu kerja sama dari pemerintah maupun swasta untuk mengembangkannya ke skala lebih besar.
Tidak terurus
Produksi masker meningkat secara drastis semenjak pandemi Covid-19 bermula. Liputan South China Morning Post pada Maret 2020 mengungkapkan, China memproduksi 116 juta masker setiap hari. Jumlah ini empat kali lebih besar dibandingkan produksi harian normal sebelum pandemi. Masker-masker ini kemudian diekspor ke berbagai penjuru Bumi.
Akibatnya, penanganan limbah masker tidak terurus. Laporan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) menjabarkan, 75 persen limbah masker medis tidak ditangani dengan benar, terutama di negara-negara berkembang dan miskin. Mayoritas berakhir di laut, tempat pembuangan sampah akhir, bahkan ada juga yang dibiarkan berceceran di jalanan. Selain mengotori lingkungan, ini juga meningkatkan risiko penularan Covid-19 apabila tersentuh oleh manusia.
Baca juga : Limbah Medis B3 Masker Sekali Pakai di DKI Tembus 12,785 Ton
Penelitian oleh The Pew Charitable Trust dan Systemiq menemukan, apabila limbah masker tidak segera ditangani, akan mengakibatkan penumpukan sampah plastik. Mereka memperkirakan di tahun 2040 jumlah sampah plastik, termasuk masker, yang berakhir di lautan antara 11-29 juta ton per tahun. Namun, dua lembaga ini mengatakan pengelolaan pembuangan yang baik bisa mengurangi dampaknya sampai dengan 80 persen. (AFP/REUTERS)