Asal-usul dan Cerita Perjalanan Panjang Tameng Penangkal Virus
Masker atau topeng pernah dijadikan jimat guna mengendalikan penularan dan menolak pengaruh jahat. Alat itu pertama kali dipakai dan dianggap efektif mencegah infeksi virus saat wabah Manchuria, lebih dari seabad silam.
Suka atau tidak suka, masker kini menjadi alat wajib untuk mencegah penularan penyakit Covid-19. Pada awal-awal pandemi, banyak orang berburu masker medis, seperti N95. Masker medis itu menjadi langka karena ditimbun dan dijual dengan harga yang tidak masuk akal.
Lalu, beredar imbauan dari pemerintah dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa masker medis hanya diperuntukkan bagi tenaga medis. Adapun warga nontenaga medis atau yang tidak bersentuhan dengan wabah korona cukup memakai masker nonmedis atau masker kain.
Meski demikian, masker nonmedis yang direkomendasikan adalah masker yang kainnya mininal dua lapis dan harus bisa menyaring 70-90 persen partikel berdiameter 3 mikron. Ketebalan rambut manusia rata-rata sekitar 80 mikron. Satu masker nonmedis juga hanya boleh digunakan selama empat jam. Tidak seperti masker medis, masker nonmedis bisa digunakan berulang selama dicuci dengan air hangat dan sabun.
Baca juga : Pro-Kontra Efektivitas Pemakaian Masker untuk Cegah Penularan Virus Korona
Diimbau juga agar masker medis hanya digunakan selama 2-3 jam dan harus segera diganti jika basah atau rusak. Berbeda dengan masker nonmedis, masker medis hanya untuk sekali pakai dan harus dibuang di tempat sampah yang tertutup rapat.
Wabah Manchuria
Masker pertama kali dipakai dan dianggap efektif mencegah infeksi virus pada saat wabah Manchuria melanda, lebih dari satu abad silam. Selain pemakaian masker, kebijakan karantina dan pelacakan jejak virus dari orang positif Covid-19, seperti yang dilakukan banyak negara saat ini, sebenarnya juga sudah dilakukan sejak dulu.
Guru Besar Sejarah Obat-obatan di Yale University William Summers menjelaskan, seperti halnya sekarang, sejak tahun 1500-an sudah terjadi perdebatan apakah penyakit bisa menular dari satu orang yang sakit ke orang lain. Barulah sekitar pertengahan tahun 1800-an para peneliti berhasil mengidentifikasi mikroba dan mengembangkan teori-teori kuman untuk menjelaskan mekanisme infeksi.
Baca juga : Kalang Kabut Berburu Masker
Sebelum itu, masker atau topeng dianggap sebagai jimat untuk mengendalikan penularan dan menolak bala atau pengaruh jahat. Namun, masker kemudian semakin umum digunakan ketika wabah melanda Hong Kong dan menyebar ke seluruh dunia pada 1890-an.
Masker atau topeng pernah dianggap sebagai jimat untuk mengendalikan penularan dan menolak bala atau pengaruh jahat.
Virus itu sampai di Manchuria pada 1910 dan dikhawatirkan bisa menyebar ke Beijing, bahkan hingga Eropa, melalui jaringan kereta api yang baru dibangun. Pada waktu itu, Rusia, Jepang, dan China sedang berebut memperluas kekuasaan di dunia. Wabah tersebut sangat mengerikan karena tingkat kematiannya mendekati 100 persen.
”Virus itu membunuh semua orang yang terinfeksi dan hanya dalam waktu 24-48 jam dari gejala pertama,” kataChristos Lynteris, antropolog kesehatan di St Andrews University, Skotlandia, mengenai virus Manchuria.
Temuan dokter muda
Pada waktu itu, salah satu dokter yang diminta menangani wabah itu adalah dokter muda bernama Wu Lien Teh yang lahir di Malaysia dan kuliah di Cambridge University. Tidak mudah bagi Wu kala itu untuk meyakinkan koleganya bahwa wabah itu tidak hanya disebarkan oleh tikus dan kutu, tetapi juga bisa disebarkan antarsesama manusia.
Wu menduga, siapa saja yang terjangkit wabah pneumonia dan paru-parunya terinfeksi akan bisa langsung menulari orang lain melalui udara dengan perantara kutu. ”Pada waktu itu, temuan tersebut inovatif, tetapi sekaligus menjadi perdebatan hebat,” kata Lynteris.
Baca juga : WHO: Covid-19 Bisa Terus Beredar di Bumi
Lalu, muncullah ide untuk memakai masker sebagai cara mencegah terinfeksi virus. Namun, saat itu cara tersebut belum populer karena belum ada bukti yang menguatkan bahwa masker dapat mencegah virus. Summers, penulis buku Manchurian Plague, menjelaskan, pada waktu itu tidak mudah memutuskan layanan kesehatan seperti apa yang bisa diberikan karena sedang terjadi dua persoalan besar.
Persoalan pertama adalah masalah politik. China waktu itu mulai hancur berantakan. Kondisi Manchuria yang berada di pinggiran Kekaisaran Qing bahkan lebih kacau. Persoalan kedua, perlu upaya luar biasa untuk meyakinkan masyarakat yang telanjur terbiasa dengan pengobatan dan obat-obatan tradisional.
”Butuh sesuatu yang tragis dan mengentak supaya orang tersadar,” tulis Wu dalam buku otobiografinya, Plague Fighter.
Tewasnya dokter Perancis
Peristiwa yang mengejutkan itu datang ketika dokter terkenal asal Perancis, Gerald Mesny, tewas. Dalam bukunya, Wu menceritakan, Mesny tidak percaya dengan teori Wu yang menyebut wabah itu terkait dengan saluran pernapasan. Namun, beberapa hari setelah mengunjungi rumah sakit tanpa mengenakan masker, Mesny tewas.
Sejak itu, permintaan akan masker melonjak. ”Hampir semua orang di jalanan memakai masker dalam berbagai bentuk,” tulis Wu.
Dokter Mesny tidak percaya dengan teori Wu yang menyebut wabah itu terkait dengan saluran pernapasan. Beberapa hari setelah mengunjungi rumah sakit tanpa mengenakan masker, ia tewas.
Dari arsip foto wabah Manchuria, terlihat para tenaga medis membebat seluruh wajah mereka dengan kain perban tebal. Pekerja nonmedis juga melilitkan kain panjang di mulut dan hidung ketika mengangkut dan mengkremasi jenazah korban wabah.
Lynteris menceritakan, Wu kemudian mengembangkan masker yang dipasangi tali-tali agar masker tidak terlepas saat sedang membawa korban wabah. Kala itu, belum pernah ada yang berusaha secara sistematis memperjuangkan alat perlindungan diri dari virus bagi tenaga medis dan siapa saja yang berinteraksi dan berisiko tertular virus.
Topeng berparuh
Padahal, selama ratusan tahun, jauh sebelum konsep kuman muncul, sebenarnya orang sudah terbiasa menutupi wajah untuk menghindari penyakit. Ketika wabah penyakit pes melanda pada abad pertengahan, dokter-dokter di Eropa sudah menggunakan masker berbentuk seperti paruh untuk melindungi diri dari ”miasma” atau polusi udara akibat bau busuk dari apa saja yang membusuk.
Sejarawan Yale University, Frank Snowden, dalam bukunya, Epidemics and Society: From the Black Death to the Present, menyebutkan, pada waktu itu diyakini zat-zat berbahaya tidak akan menempel pada celana panjang kulit dan gaun yang terbuat dari kain berlapis lilin. ”Topi bertepi lebar bisa menjaga kepala dan topeng berparuh yang menjulur dari hidung bisa diberi ramuan aromatik yang melindungi pemakainya dari bau racun yang mematikan,” tulis Snowden.
Seperti halnya wabah korona saat ini, wabah pes dan Manchuria juga membunuh siapa saja, tak peduli kaya atau miskin, dan menimbulkan kehancuran ekonomi dan sosial. Wabah yang tidak dikenal dan pembunuh yang tidak terlihat kasatmata itu memicu kepanikan dan membuat masyarakat ketakutan. Sama seperti kondisi sekarang, orang sibuk menuntut penjelasan dan saling mengambinghitamkan satu sama lain.
Seperti halnya wabah korona saat ini, wabah pes dan Manchuria juga membunuh siapa saja, tak peduli kaya atau miskin, dan menimbulkan kehancuran ekonomi dan sosial.
Akibatnya, terjadi gelombang kekerasan terhadap masyarakat Yahudi. Tak hanya itu. Para pekerja seks pun dikambinghitamkan sebagai penyebar virus. Di mana-mana ada kelompok-kelompok yang main hakim sendiri. Orang asing pun diusir keluar.
Teori miasme masih mendominasi hingga tahun 1800-an. Sampai kemudian pada pertengahan abad ke-19 mulailah ada perubahan pemahaman tentang infeksi. Hal itu terjadi setelah teori kuman dikembangkan oleh ahli biologi dari Perancis, Louis Pasteur, dan dokter serta ahli mikrobiologi dari Jerman, Robert Koch.
Kerajaan China masih meremehkan kemajuan ilmiah dari luar China. Namun, kemudian sikap itu berubah kala wabah Manchuria datang. Wabah Manchuria itulah, kata Lynteris, titik balik perubahan China. Sejak itu, China perlahan melaju menjadi negara yang mengedepankan modernisasi pengobatan dan kedokteran.
Ketika epidemi SARS muncul tahun 2003, masker menjadi alat perlindungan diri wajib di semua lokasi yang terjangkit, seperti Hong Kong. Sebelum itu, masker juga digunakan Amerika Serikat saat dilanda pandemi flu Spanyol tahun 1918 yang menewaskan puluhan juta orang di dunia. Sayangnya, masyarakat dunia, terutama di negara-negara Barat, seperti selalu lupa dengan sejarah krisis kesehatan yang beberapa kali mengguncang dunia. (AFP/AP)