Tahun kedua pandemi Covid-19 akan lebih mematikan dibandingkan tahun pertama karena penyebaran Covid-19 varian baru. Untuk itu, protokol kesehatan harus tetap diberlakukan meski sudah divaksin sekalipun.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
NEW YORK, MINGGU — Organisasi Kesehatan Dunia memperingatkan bahwa tahun kedua pandemi Covid-19 akan lebih mematikan dibandingkan dengan tahun lalu. Ini dimungkinkan karena varian baru Covid-19 dari India yang lebih berbahaya, B1.617.2, telah menyebar. Sejak pertama kali ditemukan di Wuhan, China, akhir 2019, Covid-19 telah menyebabkan sedikitnya 3.346.813 orang mati di seluruh dunia.
”Tahun kedua pandemi ini akan jauh lebih mematikan ketimbang tahun pertama,” kata Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, Jumat lalu.
Situasi pandemi yang memburuk ini membuat berbagai negara membuat penyesuaian dan pengetatan sesuai kondisi domestik masing-masing. Di Jepang, misalnya, sepuluh pekan sebelum Olimpiade Tokyo, pemerintah memperluas status darurat ke Hiroshima, Okayama, dan Hokkaido hingga akhir Mei mendatang.
Sementara sebagian masyarakat Jepang mendesak agar pelaksanaan Olimpiade ditunda hingga situasi terkendali. Pada jajak pendapat yang diumumkan Senin pekan lalu, 60 persen masyarakat Jepang menginginkan Olimpiade Tokyo dibatalkan.
Sehubungan dengan Olimpiade Tokyo, sejumlah atlet menginginkan jaminan kepastian. ”Para atlet butuh kepastian, akan ada Olimpiade atau tidak. Kalau tidak, jadi karena situasi tidak aman, saya bisa mengerti,” kata petenis Swiss, Roger Federer.
Kekhawatiran juga menyebar di Inggris menyusul pengumuman Kementerian Kesehatan Inggris tentang penemuan kasus varian baru dari India di London. Hal ini kemudian membuat Jerman memasukkan kembali Inggris ke daftar daerah berisiko. Ini berarti siapa saja yang datang dari Inggris harus diperiksa terlebih dahulu sebelum masuk Jerman. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson khawatir situasi tersebut akan menghambat upaya Inggris memulihkan perekonomian dan kegiatan masyarakat.
Meski demikian, Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock tetap percaya vaksin Covid-19 yang ada saat ini mampu melindungi warga dari Covid-19 varian baru yang kini telah menyebar di Inggris. Jumlah kasus Covid-19 varian baru di Inggris melonjak dari 520 kasus menjadi 1.313 kasus pada pekan lalu.
”Semua warga harus divaksin secepatnya karena kasus varian baru ini akan menyebar lebih cepat di antara orang-orang yang belum divaksin,” ujarnya.
Sementara di India, pemerintah mulai memvaksinasi warganya dengan 150.000 dosis Sputnik V guna menekan laju penambahan kasus Covid-19. Kiriman pertama vaksin Covid-19 buatan Rusia itu tiba per 1 Mei lalu. Kiriman berikutnya diharapkan tiba beberapa hari ke depan.
Sejumlah perusahaan farmasi India sepakat memproduksi 850 juta dosis Sputnik V setiap tahun. Program vaksinasi digenjot karena akumulasi korban meninggal akibat Covid-19 di India telah mencapai lebih dari 270.000 orang per 17 Mei 2021.
WHO mendorong negara-negara maju untuk mendonasikan vaksin-vaksinnya ke negara-negara miskin daripada mereka memvaksin anak-anak. ”Saya bisa paham alasan negara-negara yang memvaksin anak dan remaja. Namun, untuk sekarang, sebaiknya itu dihentikan dulu dan sumbang vaksinnya ke negara lain melalui Covax,” kata Tedros.
Imbauan WHO untuk tidak memvaksin anak-anak, tetapi mendahulukan vaksin bagi orang dewasa mungkin tak bisa diterima semua negara. Singapura, misalnya, memperingatkan kasus varian baru Covid-19 justru semakin bertambah di kelompok anak-anak. Singapura bersiap menutup sekolah mulai pekan ini dan akan segera memvaksin anak-anak. Seluruh proses pembelajaran akan dilakukan di rumah hingga 28 Mei mendatang. ”Anak-anak yang tertular virus ini tidak ada yang sakit parah,” kata Menteri Pendidikan Singapura Chan Chun Sing.
Di Singapura, terdapat 38 kasus Covid-19 lokal dan empat orang diantaranya anak-anak. Menteri Kesehatan Singapura Ong Ye Kung mengatakan, varian baru B1617 tampaknya lebih berdampak pada anak-anak. Pemerintah berencana memvaksin anak-anak berusia di bawah 16 tahun segera setelah izin penggunaan vaksin Pfizer untuk anak dikeluarkan.
Namun, program vaksinasi di Singapura berjalan lambat karena keterbatasan stok vaksin. Seperlima jumlah penduduk Singapura sudah divaksin dua dosis dengan vaksin Pfizer-BioNTech dan Moderna. Sampai sejauh ini, warga berusia di bawah 45 tahun saja yang divaksin mulai pekan kedua Mei.
Beda instruksi
Sementara itu, beda imbauan soal penggunaan masker terjadi antara WHO dan Pemerintah Amerika Serikat. Kepala Ilmuwan WHO Soumya Swaminathan mengingatkan masyarakat untuk tetap mengenakan masker meskipun sudah divaksin. Alasannya, vaksinasi bukan jaminan akan terbebas dari penularan Covid-19 atau tidak akan bisa menularkan kepada orang lain.
Sebelumnya, Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AS mengeluarkan imbauan sebaliknya. Lembaga tersebut mencabut kewajiban memakai masker bagi warga yang sudah divaksin.
Lebih dari 580.000 orang di AS tewas karena Covid-19. Sekitar 60 persen warga usia dewasa di AS sudah divaksin 1-2 dosis dan kasusnya menurun menjadi 38.000 kasus rata-rata dalam satu pekan. Karena sudah menurun, AS kini mulai memvaksin anak-anak.
Vaksin memang terbukti ampuh melawan Covid-19 khususnya untuk mencegah agar penderita tak bertambah parah sakitnya dan mencegah kematian. Namun, Swaminathan mengingatkan, vaksin tidak 100 persen efektif mencegah penularan. ”Orang yang sudah divaksin masih bisa sakit. Memang, jarang terjadi, tetapi masih mungkin. Itu kenapa masih harus pakai masker dan jaga jarak,” ujarnya.
Direktur Kedaruratan WHO Michael Ryan menegaskan, protokol kesehatan harus tetap diberlakukan. Hanya daerah atau negara yang sudah terbukti penambahan kasusnya rendah yang bisa mempertimbangkan untuk melonggarkan protokol kesehatan. Namun, itu pun harus fleksibel dan tak berlaku selamanya. ”Bahkan jika sudah banyak orang yang divaksin, tetapi masih banyak kasus penularan, masker tetap harus dipakai,” ujarnya.(REUTERS/AFP/AP/LUK)