Palestina-Israel di Ambang Perang, Negara-negara Bergerak Redakan Konflik
Sejumlah negara mencoba melobi pemimpin Palestina dan Israel untuk meredakan ketegangan di antara keduanya. Pada saat yang sama, militer Israel bersiap melakukan serangan darat ke Gaza yang dikuasai kelompok Hamas.
Oleh
Mahdi Muhammad dan Benny Dwi Koestanto
·5 menit baca
GAZA, JUMAT — Sejumlah negara dan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tengah mengupayakan gencatan senjata untuk meredakan konflik dan ketegangan antara Palestina-Israel yang terus memuncak. Di sisi lain, militer Israel mempersiapkan anggota dan peralatan di perbatasan dengan Gaza untuk bersiap-siap melakukan serangan darat.
Kementerian Kesehatan Gaza, Jumat (14/5/2021), menyebutkan, jumlah korban tewas dari kalangan warga sipil Palestina terus meningkat menjadi 119 orang, termasuk 31 anak-anak dan 19 perempuan. Kelompok Hamas dan kelompok lainnya mengonfirmasi 20 anggota mereka tewas akibat serangan Israel.
Korban di pihak Israel sebanyak tujuh orang, termasuk anak laki-laki berusia 6 tahun.
Presiden Perancis Emmanuel Macron telah menghubungi pemimpin Palestina Mahmoud Abbas dan mendesak otoritas Palestina berkomunikasi dengan Hamas untuk menghentikan serangan roket ke wilayah Israel. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken juga menekankan penghentian serangan roket dan penghentian ketegangan antara Palestina dan Israel.
DK PBB juga akan secara terbuka membahas kekerasan yang memburuk antara Israel dan Palestina pada Minggu (16/5/2021). Para anggotanya berkompromi untuk menyepakati waktu pelaksanaan pertemuan. Awalnya Amerika Serikat (AS) menyarankan pertemuan publik virtual dapat diadakan pada Selasa (18/5/2021). Namun, muncul usulan agar pertemuan itu diadakan Jumat (14/5/2021) yang justru tidak didukung AS. ”Jalan tengah” atas usulan-usulan itu adalah pertemuan digelar pada Minggu nanti.
Dua negosiator negara Arab, Mesir dan Qatar, terbang ke Tel Aviv untuk mencoba melobi Pemerintah Israel, setelah militer Israel menyerang Gaza utara dengan artileri berat. Sejauh ini belum ada tanda-tanda kedua pihak ingin mengurangi intensitas serangan dan melakukan gencatan senjata.
Saleh Aruri, pemimpin senior Hamas yang diasingkan, mengatakan kepada stasiun televisi Al Araby yang berbasis di London bahwa kelompoknya telah menolak proposal jeda atau gencatan senjata tiga jam. Dia juga mengatakan, Mesir, Qatar, dan PBB adalah beberapa pihak yang tengah melobi para pihak bertikai untuk melakukan gencatan senjata.
Di pihak Israel, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berjanji untuk melanjutkan serangan. Dalam sebuah video, Netanyahu menyatakan, Israel akan membuat Hamas membayar mahal tindakan yang telah dilakukan terhadap Israel.
Militer Israel mengerahkan pasukan di sepanjang perbatasan dengan Gaza setelah mendapat tambahan 9.000 anggota pasukan cadangan. Artileri berat Israel juga mulai membombardir jaringan terowongan bawah tanah yang biasa digunakan warga Palestina dan anggota Hamas untuk masuk ke sejumlah wilayah Israel.
Letnan Kolonel Jonathan Conrius, juru bicara militer Israel, mengatakan, serangan atas terowongan yang disebut militer sebagai Metro, melibatkan 160 pesawat tempur, unit artileri, dan kendaraan lapis baja.
”Yang kami target adalah sistem terowongan rumit yang membentang di bawah Gaza. Sebagian besar ada di wilayah utara, tapi tidak terbatas pada wilayah itu saja. Terowongan itu adalah jaringan terowongan yang digunakan para operator Hamas untuk bergerak, bersembunyi, dan berlindung,” katanya kepada media asing.
Janji militer Israel untuk menghindari jatuhnya korban sipil tak terjadi. Di Gaza utara, serangan militer menewaskan Rafat Tanani dan keluarganya, termasuk istri yang sedang mengandung dan empat anaknya. ”Ini adalah pembantaian. Perasaan sakit saya tidak terlukiskan,” kata Sadallah Tanani, seorang kerabat.
Hamas pun tidak menunjukkan tanda-tanda untuk mundur. Mereka bahkan menembakkan roket yang paling kuat, Ayyash, hampir 200 kilometer ke Israel selatan dan mendarat di gurun terbuka.
Juru bicara militer Hamas, Abu Obeida, mengatakan, kelompok itu tidak takut akan invasi darat. Serangan darat bahkan akan menjadi kesempatan bagi mereka untuk melakukan penyergapan terhadap anggota militer Israel.
Hubungan Muslim-Yahudi
Meningkatnya kekerasan dalam konflik Israel-Palestina membuat cemas Muslim dan Yahudi Amerika yang telah bekerja membangun jembatan antara komunitas mereka. Konflik terbaru ini membuat mereka juga berupaya memadamkan kekhawatiran dan kemarahan di dalam lingkungan mereka sendiri.
”Kami patah hati,” kata pengacara Muslim Atiya Aftab, salah satu pendiri kelompok lintas agama dan kepercayaan yang berbasis di New Jersey, Sisterhood of Salaam Shalom. Konflik terbaru itu mengancam menggagalkan kerja kelompok tersebut.
Organisasi yang berupaya membangun rasa saling percaya dan persahabatan perempuan dan remaja Muslim dengan Yahudi itu menyesalkan reaksi kelompok Hamas atas peristiwa yang terjadi di Masjid Al-Aqsa. Pada saat yang sama, organisasi ini juga mengutuk tindakan aparat keamanan Israel yang menggunakan kekerasan dan senjata terhadap warga Palestina yang tengah beribadah Ramadhan di Masjid Al Aqsa serta pencaplokan rumah-rumah warga Palestina di Sheikh Jarrah.
”Pemerintah Israel memiliki tanggung jawab untuk menghentikan pemukim dan ekstremis mengambil alih tanah, dan mengizinkan mereka yang tinggal di Jerusalem Timur untuk tinggal di sana dalam damai. Sebagai perempuan Muslim dan Yahudi yang beriman, kami memiliki tanggung jawab untuk bangkit dan menanggapi ketidakadilan dan prasangka,” kata organisasi itu dalam pernyataannya.
Ingrid Mattson, cendekiawan Muslim dan mantan presiden Masyarakat Islam Amerika Utara, menulis melalui akun di Twitter soal kekhawatirannya tentang konflik antaragama, yang berarti antara umat Kristiani, Muslim, dan Yahudi di Amerika Serikat, apabila pihak-pihak yang terlibat berdiam diri melihat serangan terhadap warga Palestina di Jerusalem dan Masjid Al-Aqsa.
Dia mengatakan, serangan terhadap sebuah situs suci adalah peristiwa yang membawa trauma bagi umat Islam di mana-mana. Hal itu bisa pula membuat seseorang mempertanyakan sifat hubungan antarkepercayaan dan antaragama yang tengah coba dibangun.
”Saya merasa orang seharusnya belajar sesuatu dari gerakan Black Lives Matter dan kekerasan polisi terhadap warga kulit hitam. Anda harus mengatakan apa yang salah,” katanya.
Suara Yahudi untuk Perdamaian, kelompok advokasi berbasis di California yang kritis terhadap kebijakan Israel terhadap Palestina, menyatakan, apa yang terjadi di Masjid Al-Aqsa pada pekan terakhir bulan Ramadhan adalah hal yang menyedihkan.
”Kami telah membangun kemitraan yang mendalam dengan kelompok Muslim Amerika. Perlu seruan yang sangat mendesak untuk meminta pertanggungjawaban Pemerintah Israel,” kata Direktur Eksekutif Stefanie Fox. (AP/REUTERS)