42 Orang Tewas, Unjuk Rasa Tolak Kenaikan Pajak di Kolombia Berlanjut
Gelombang unjuk rasa di Kolombia terus berlanjut menyusul nihilnya kesepakatan antara perwakilan pengunjuk rasa dan Presiden Ivan Duque pada pertemuan Selasa (11/5/2021). Sejauh ini, 42 orang dilaporkan tewas.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
BOGOTA, SENIN — Unjuk rasa menolak rencana kenaikan tarif pajak di Kolombia terus berlanjut. Protes yang selalu berujung kerusuhan telah berlangsung dua pekan dan menewaskan sedikitnya 42 orang. Situasi makin mengkhawatirkan setelah pertemuan para pemimpin demonstran dengan Presiden Kolombia Ivan Duque, Selasa (11/5/2021), tak menemukan titik temu.
Komite Pemogokan Nasional, yang terdiri dari serikat-serikat besar dan kelompok mahasiswa, menghadiri pertemuan dengan Duque. Turut serta dalam pertemuan itu pejabat pemerintah lainnya, perwakilan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan institusi Gereja Katolik. Selama pertemuan, unjuk rasa dilaporkan terus berlangsung di beberapa kota. Polisi memperkirakan, aksi diikuti 13.000 orang.
Usai pertemuan, pemimpin unjuk rasa mengungkapkan kekecewaannya terhadap kebijakan pemerintah. Mereka menilai, pemerintah tidak memiliki empati atas tuntutan masyarakat.
”Tidak ada empati dari pemerintah dengan berbagai alasannya, dengan tuntutan yang telah berujung pada pemogokan nasional ini,” kata Francisco Maltes, Presiden Central Union of Workers (CUT), salah satu serikat pekerja di Kolombia.
Sementara pemimpin kelompok mahasiswa, Jennifer Pedraza, mengatakan, pertemuan tersebut mengingatkan pertemuan yang digelar setelah gelombang protes pada 2019. Hasilnya kala itu juga setali tiga uang, nyaris tidak menghasilkan apa-apa.
”Wacana Presiden Ivan Duque permisif terhadap ekses yang ditimbulkan pasukan keamanan,” kata Pedraza seraya menyerukan kepada warga Kolombia untuk berpartisipasi dalam aksi turun ke jalan yang berlanjut pada Rabu (12/5/2021).
Protes warga Kolombia mulai digelar 28 April 2021. Ini dipicu oleh rencana pemerintah menaikkan tarif pajak perorangan dan badan usaha. Pemerintah juga berencana menghapus pengecualian dan pemotongan pajak. Orientasinya untuk meningkatkan penerimaan pajak sehingga stabilitas keuangan negara terjaga dan jaring pengaman sosial bisa dikembangkan. Kolombia menghadapi persoalan besarnya defisit keuangan negara. Dengan demikian, untuk menambalnya, utang negara pun menggelembung.
Rencana kenaikan pajak itu dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang reformasi pajak yang telah dikirim ke parlemen. Namun, dengan adanya gelombang unjuk rasa berujung kerusuhan dan memakan korban tewas, Presiden Ivan Duque telah menarik kembali rancangan tersebut untuk direvisi beberapa hari lalu.
Namun, hal ini tidak menghentikan gelombang unjuk rasa warga. Bahkan, tuntutan warga meluas hingga mencakup penegakan hukum atas kekerasan aparat dan pembatalan rencana reformasi kesehatan yang telah lama diperdebatkan. Tuntutan juga melebar agar pemerintah membayar utang lama kepada warga paling rentan di Kolombia, seperti masyarakat pribumi dan Latin keturunan Afrika.
Kolombia menghadapi persoalan besarnya defisit keuangan negara. Dengan demikian, untuk menambalnya, utang negara pun menggelembung.
Ribuan warga Kolombia menggelar protes di seluruh negeri menentang pemerintah yang mereka rasa telah lama mengabaikan kebutuhan mereka. Pada saat yang sama, pemerintah membiarkan korupsi merajalela. Rencana pemberlakuan reformasi pajak dinilai warga tidak masuk akal di tengah masyarakat yang tengah bergulat dengan kondisi pandemi Covid-19.
Meskipun ada perintah penutupan atau penguncian (lockdown) wilayah guna mencegah penyebaran Covid-19, pengunjuk rasa tetap turun ke jalan-jalan. Aksi protes dilaporkan berlangsung di separuh wilayah Kolombia pada pekan lalu. Sejauh ini, kekerasan yang terjadi antara aparat melawan pengunjuk rasa telah menyebabkan sedikitnya 40 orang tewas, salah satunya polisi.
Sampai dengan Rabu (12/05/2021), merujuk lembaga pengawas hak asasi manusia di Kolombia, 42 orang tewas dalam unjuk-rasa yang hampir selalu berujung dengan kerusuhan tersebut. Sebanyak 41 warga dan 1 polisi. Sementara menurut data pemerintah, lebih dari 800 orang terluka akibat sejumlah bentrokan.
Situasi itu dikecam sejumlah organisasi pengawas hak asasi manusia. Mereka mengecam kekerasan yang dilakukan oleh aparat. Komunitas-komunitas internasional menyerukan digelarnya dialog antara pemerintah dan perwakilan warga guna mencegah jatuhnya korban baru.
Aktivis juga melihat protes yang berlangsung saat ini berkaitan dengan demonstrasi pada November 2019. Saat itu, warga berunjuk rasa karena adanya kenaikan pajak, pembunuhan para pemimpin sosial, korupsi pejabat, kesenjangan, dan soal demobilisasi Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia pada 2016. Ketidakpuasan yang terjadi dua tahun lalu itu terpendam dan memburuk sepanjang pandemi Covid-19 ketika mata pencarian warga hilang, serta teman dan anggota keluarga mereka meninggal.
Kemarahan mereka kini kembali tumpah di jalanan. Adakalanya pengunjuk rasa memblokade jalan. Hal ini, menurut pemerintah, memperburuk keadaan karena menghalangi pengiriman bahan makanan dan vaksin Covid-19, serta mobilitas ambulans.
Menteri Pertahanan Kolombia Diego Molano mengatakan, pasukan keamanan telah berusaha melindungi mereka yang berdemonstrasi secara damai serta mereka yang memilih untuk tinggal di rumah. Militer secara sporadis bergabung dengan polisi sejak Duque pada 1 Mei menandatangani persetujuan keterlibatan angkatan bersenjata sampai ”tindakan perubahan serius atas ketertiban umum dihentikan”. Ini memungkinkan para wali kota untuk meminta kehadiran tentara di daerah perkotaan.
Keterlibatan militer itulah yang dipertanyakan para pengamat dan kelompok HAM. ”Standar internasional (HAM) membutuhkan pembatasan sebanyak mungkin penggunaan (militer) untuk mengendalikan gangguan internal. Para prajurit dilatih untuk konflik bersenjata, bukan untuk keamanan warga negara,” kata José Miguel Vivanco, Direktur Human Rights Watch untuk Wilayah Benua Amerika.
Pemerintah menyinyalir kelompok-kelompok pemberontak telah menyusup ke dalam aksi protes warga dan mafia narkoba menyubsidi aksi demontrasi itu. Duque bahkan mengklasifikasikan tindakan tersebut sebagai ”terorisme dalam intensitas rendah”. Namun, para pemimpin demonstrasi mengatakan, pasukan keamanan telah melakukan tindak kekerasan yang luar biasa dan pemerintah menstigmatisasi para pengunjuk rasa. (AFP/AP/REUTERS)