Cegah Penangkapan oleh Aparat Malaysia, Nelayan RI Perlu Pahami Perbatasan Laut
Lewat sosialisasi diharapkan ada peningkatan pemahaman nelayan Indonesia soal wilayah penangkapan ikan. Pemahaman nelayan atas batas laut yang akurat penting bagi pekerjaan mereka sehari-hari.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
KUALA LUMPUR, SELASA — Nelayan Indonesia perlu meningkatkan pemahaman perbatasan Indonesia-Malaysia. Hal itu untuk mencegah penangkapan berulang oleh aparat Malaysia terhadap nelayan Indonesia.
Penangkapan terakhir terjadi pada akhir April 2021 terhadap lima nelayan asal Deli Serdang, Sumatera Utara. Mereka ditangkap patroli Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) wilayah Perak. ”Sekarang sudah bebas,” kata Koordinator Fungsi Penerangan dan Sosial Budaya pada Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur Yoshi Iskandar, Selasa (11/5/2021).
Nelayan-nelayan itu mengaku tidak sadar telah keluar perbatasan Indonesia dan masuk perairan Malaysia kala ditangkap APMM. Mereka ditangkap dua pekan setelah dua nelayan asal Batam, Kepulauan Riau, ditangkap APMM Johor Bahru.
Yoshi mengatakan, diperlukan sosialisasi lebih gencar kepada nelayan Indonesia soal perbatasan Indonesia-Malaysia. Lewat sosialisasi diharapkan ada peningkatan pemahaman nelayan Indonesia soal wilayah penangkapan ikan. Pemahaman nelayan atas batas laut yang akurat penting bagi pekerjaan mereka sehari-hari.
Yossi menyebut, lima nelayan Deli Serdang itu beruntung dibandingkan dengan rekan mereka yang lebih dulu ditangkap. Pada Februari lalu, empat nelayan Deli Serdang juga ditangkap APMM karena pelanggaran sejenis. Kala itu, mereka dihukum antara 1,5 tahun hingga 2,5 tahun penjara.
Kini, komunikasi KBRI Kuala Lumpur dengan APMM Malaysia membuahkan pembebasan terhadap lima nelayan Deli Serdang. Bahkan, perahu para nelayan itu juga dikembalikan APMM ke mereka. APMM mengawal mereka ke perbatasan Malaysia-Indonesia pada akhir pekan lalu.
Selama mereka ditahan, KBRI Kuala Lumpur mengunjungi mereka untuk memastikan hak-hak mereka terpenuhi. Selain itu, KBRI Kuala Lumpur juga mengupayakan pembebasan para nelayan yang ditangkap di area 9,3 mil laut barat daya Pulau Buloh.
Setelah APMM setuju membebaskan mereka, KBRI Kuala Lumpur membuatkan surat perjalanan laksana paspor (SPLP). Sebab, lima nelayan itu tidak membawa paspor kala berlayar. Padahal, perjalanan lintas batas negara membutuhkan paspor.
Perjanjian
Indonesia dan Malaysia memang mempunyai perjanjian untuk membebaskan nelayan pelanggar batas. Walakin, perjanjian itu hanya berlaku untuk perairan yang masih belum jelas masuk Malaysia atau Indonesia.
Setelah bertahun-tahun, perundingan perbatasan laut Indonesia-Malaysia belum kunjung tuntas. Masih ada sejumlah perairan yang belum disepakati perbatasannya. Pada 2021, Kementerian Luar Negeri RI menargetkan percepatan perundingan untuk perbatasan di sisi selatan Selat Malaka dan di dekat Laut Sulawesi. Jakarta-Kuala Lumpur juga mulai merundingkan perbatasan zona ekonomi ekslusif (ZEE).
Penangkapan berulang oleh aparat Malaysia juga menjadi tanda pentingnya penyelesaian perjanjian perbatasan Indonesia dengan negara tetangga. Perundingan memang rumit, antara lain, karena ketidakjelasan definisi materi pokok dan perbedaan lembaga yang mengurus isu maritim di negara-negara terkait.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Arie Afriansyah, mengatakan bahwa Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 memberi panduan jelas untuk laut teritorial atau wilayah kedaulatan. Sementara untuk perairan tempat hak berdaulat, termasuk ZEE, tak ada panduan jelas. ”UNCLOS hanya menyebutkan, diselesaikan dengan cara saling menguntungkan,” ujarnya.
UNCLOS menyerahkan kepada negara pengklaim untuk merundingkan cara yang paling menguntungkan. Padahal, makna saling menguntungkan bisa ditafsirkan berbeda oleh setiap negara.
Hal itu menjadi salah satu penyebab perundingan perbatasan maritim Indonesia dengan Malaysia tidak kunjung usai. Dengan Singapura, Filipina, Thailand, Vietnam, Palau, Papua Niugini, Australia, Timor Leste, dan India juga masih ada masalah perbatasan maritim.
Bukan hanya definisi menguntungkan yang dimaknai berbeda. Sejumlah negara malah punya konsep berbeda soal ZEE. Bahkan, sejumlah negara masih berusaha menyangkal status negara kepulauan yang dijamin UNCLOS.
Arie juga mendorong evaluasi Nota Kesepahaman tentang Pedoman Umum Perlakuan terhadap Nelayan oleh Badan Hukum Maritim Indonesia-Malaysia pada 2011. Nota itu membuat nelayan kedua negara kucing-kucingan dengan aparat. ”Lebih baik diatur cara pemanfaatan sumber daya. UNCLOS menyebut itu sebagai satu solusi sementara sampai kesepakatan akhir dicapai,” katanya.
Arie juga mendorong Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) lebih aktif mengurus perbatasan maritim. Penyelesaian perjanjian perbatasan tidak bisa ditumpukan pada satu lembaga, seperti hanya ke Kementerian Luar Negeri.
Dalam setiap perundingan, isu maritim ataupun isu lain, para perunding juga harus menyepakati pemilihan hampir setiap kata dalam naskah perjanjian atau pernyataan bersama. Bahkan, perunding harus menyepakati naskah terjemahan atas naskah asli perjanjian atau pernyataan. Naskah utama dan terjemahan harus disepakati bersama para pihak untuk menghindari perbedaan tafsir. Sebab, perjanjian adalah hukum yang mengikat para pihak. (*)