Covid-19 di Nepal Kian Parah, China Buat Perbatasan di Everest
Nepal dinilai tidak serius menangani pandemi karena justru membuka luas akses wisatawan ke Everest. China pun khawatir dan berencana membuat garis batas.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Pemerintah China hendak membuat garis batas antara China dan Nepal di sepanjang Gunung Everest. Tujuannya agar para pendaki tidak akan bercampur dan meningkatkan risiko penularan Covid-19. Rencananya garis batas akan dibuat oleh 21 pendaki China yang berangkat dari Tibet.
Kantor berita nasional China, Xinhua, merilis pernyataan pemerintah, Senin (10/5/2021) waktu setempat. Batas geografis China di Gunung Everest adalah di sisi utara. Wilayah itu mereka namakan Qomolangma yang berasal dari bahasa Tibet.
Pemerintah China khawatir, apabila tidak ada batas yang jelas, para pendaki dari mancanegara akan bercampur aduk di Everest. Pekan ini 30 pendaki dievakuasi dari Everest Base Camp Nepal karena terinfeksi Covid-19. Adapun 21 pendaki China yang akan mendaki Qomolangma telah menjalani karantina di Everest Base Camp Tibet sejak April 2021.
Daerah di bawah kekuasaan China menerapkan peraturan yang ketat. Selain pendaki, tidak ada wisatawan yang boleh berkunjung. Para pendaki juga diwajibkan menjalani karantina di Base Camp Tibet. Akan tetapi, lain halnya dengan Nepal.
Negara ini justru membuka akses ke Everest secara luas. Xinhua mencatat, untuk musim semi 2021, Nepal telah mengeluarkan 394 izin mendaki kepada para pendaki mancanegara. Jumlah ini bahkan lebih besar dibandingkan dengan izin yang diberikan Pemerintah Nepal pada tahun 2019, yaitu 381 izin.
Pembukaan izin secara besar-besaran ini demi menghidupkan industri wisata Nepal yang terpuruk. Porsi pendaki Everest sebesar 1 persen dari total wisatawan yang datang ke Nepal. Setiap izin mendaki membutuhkan biaya 11.000 dollar AS (sekitar Rp 156 juta). Apabila wisatawan hendak menambah kegiatan selain mendaki seperti ekspedisi dan berkeliling ke berbagai wilayah di sekitar Everest, biaya menjadi 40.000 dollar AS (sekitar Rp 567 juta) per orang.
Surat kabar AS, Los Angeles Times, yang meliput ke Nepal mengabarkan bahwa pada 2019 ada 7.993 wisatawan datang ke Taman Nasional Sagarmatha, wilayah Everest yang masuk ke batas geografis Nepal. Pada 2021 jumlah wisatawan yang datang hanya 255 orang. Akibatnya, Pemerintah Nepal membuka pariwisata.
Langkah ini dikritik publik Nepal, apalagi Perdana Menteri KP Sharma Oli dinilai tidak serius menangani pandemi. Negara ini tidak mewajibkan masyarakat memakai masker dan menjaga jarak fisik. Mereka juga tetap melaksanakan festival keagamaan Kumbh Mela yang mengakibatkan lonjakan kasus. Bahkan, Ibu Suri Kerajaan Nepal juga terjangkit Covid-19 akibat menghadiri festival ini.
Dilansir dari Xinhua, Direktur Pendakian Gunung Kementerian Pariwisata Nepal Mira Acharya mengungkapkan, awalnya Nepal hendak menerbitkan 330 izin pendakian. Akan tetapi, ternyata orang yang melamar banyak sekali sehingga pemerintah memberikan izin kepada 394 pendaki. Jumlah itu belum mencakup pemandu wisata dan asisten.
Pandemi Covid-19 di Nepal diduga para ahli kesehatan menuju keadaan yang lebih parah dari India. Harian Nepali Times mencatat sejak pandemi pada 2020 ada 359.610 kasus positif. Kasus aktif per 8 Mei berjumlah 83.493 kasus, yang jika diselisik, sebanyak 79.885 kasus terjadi hanya dalam kurun empat pekan terakhir. Artinya rata-rata dua dari lima penduduk Nepal positif mengidap Covid-19.
Penyebab lonjakan ini ialah eksodus para pekerja migran dari India. Mereka adalah warga negara Nepal yang mencari nafkah di India. Akibat keadaan negeri Bollywood yang tengah mengalami krisis dengan penambahan kasus baru rata-rata 400.000 per hari, mereka memilih pulang ke kampung halaman. Ibu kota Nepal, Kathmandu, tengah menjalani karantina wilayah. Akan tetapi, para pekerja migran ini tertahan di Nepalgunj yang terletak persis di sebelah Kathmandu sehingga tetap ada risiko kebocoran penularan.
Permasalahannya, Nepal tidak memiliki perangkat dan sumber daya manusia di sektor kesehatan yang memadai. Dilansir dari CNN, negara ini berpenduduk 30 juta jiwa, tetapi jumlah dokter hanya 0,7 orang per 100.000 penduduk. Terdapat 1.595 tempat tidur unit perawatan intensif (ICU) dan 480 ventilator yang tidak akan bisa melayani pasien positif.
Alat-alat kesehatan, termasuk oksigen, selama ini diimpor dari India. Berhubung India juga tengah mengalami krisis, tidak lama lagi Nepal akan terkena imbasnya. Pemerintah Nepal menyatakan hendak mengimpor oksigen dari Uni Emirat Arab dan Korea Selatan, tetapi belum jelas waktu dan jumlahnya. (AFP/Reuters)