Pertemuan Iran-Arab Saudi yang semula rahasia kini terkonfirmasi secara resmi. Meski belum ada hasil yang jelas, pertemuan keduanya diharapkan bisa meredakan ketegangan di Teluk.
Oleh
Musthafa Abd Rahman
·3 menit baca
KAIRO, KOMPAS — Pertemuan Iran-Arab Saudi yang semula digelar secara rahasia dengan mediasi Irak kini lambat laun mulai diakui secara resmi oleh pihak Arab Saudi.
Direktur Urusan Perencanaan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Arab Saudi Rayed Krimly, seperti dilansir kantor berita Reuters, Jumat (7/5/2021), mengonfirmasi adanya pertemuan langsung Iran-Arab Saudi tersebut. ”Kami berharap pertemuan itu sukses, tetapi masih terlalu dini menyebut telah mencapai suatu kesepakatan tertentu,” ungkapnya.
Menurut Krimly, pertemuan Iran-Arab Saudi bertujuan untuk meredakan ketegangan di kawasan Timur Tengah, khususnya kawasan Teluk. Namun, dia tidak menyebut secara jelas tentang tempat dan waktu digelarnya pertemuan Iran-Arab Saudi itu. Selama ini, baik Arab Saudi maupun Iran cenderung merahasiakan pertemuan mereka.
Harian The Financial Times edisi 9 April 2021 secara mengejutkan dan untuk pertama kalinya mengungkap pertemuan rahasia Iran-Arab Saudi di Baghdad, Irak, dengan mediator Perdana Menteri Irak Mustafa al-Khadimi. Saat itu baik Iran maupun Arab Saudi membantah berita tersebut.
Namun, Rabu (5/5/2021), Presiden Irak Barham Salih secara mengejutkan untuk pertama kalinya mengakui bahwa ada serangkaian pertemuan yang digelar Iran dan Arab Saudi dengan mediasi Irak di Baghdad. Pengakuan Salih tersebut membuat Iran dan Arab Saudi sulit membantah isu pertemuan mereka.
Tentu temu Iran-Arab Saudi itu merupakan perkembangan luar biasa karena dua negara tersebut dikenal sebagai musuh bebuyutan dalam konteks pertarungan geopolitik di kawasan Timur Tengah. Iran dan Arab Saudi terlibat perang proksi di sejumlah negara Arab, seperti di Lebanon, Suriah, dan Irak. Bahkan, Arab Saudi terlibat perang langsung di Yaman dengan kelompok Al Houthi yang didukung Iran.
Jika normalisasi hubungan Iran-Arab Saudi terwujud, solusi politik di Yaman dan Suriah akan terbantu, sekaligus bisa menurunkan ketegangan politik di Lebanon. Pertemuan Iran-Arab Saudi itu tentu saja merupakan awal yang baik yang harus diikuti dengan berbagai pertemuan lanjutan mengingat isu-isu yang mengganjal hubungan kedua negara sangat banyak dan berat.
Terjadinya pertemuan Iran-Arab Saudi itu tidak terlepas dari perkembangan regional ataupun internasional yang membantu dan membuka jalan atas terjadinya pertemuan dua negara.
Perkembangan regional yang membuka jalan temu Iran-Arab Saudi itu adalah hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) di kota Al-Ula, Arab Saudi, Januari lalu. KTT GCC di Al-Ula itu menghasilkan rekonsiliasi antara Qatar dan kuartet Arab (Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Mesir) yang memboikot Qatar sejak Juni 2017.
Rekonsiliasi Qatar-Arab Saudi tersebut membuka jalan kemungkinan rekonsiliasi Iran-Arab Saudi. Selama aksi boikot kuartet Arab atas Qatar itu, pihak Qatar menjadi semakin dekat dengan Iran. Bahkan, Iran membuka jalan bagi maskapai penerbangan Qatar, Qatar Airways, menggunakan teritorial udara Iran bagi penerbangan internasional Qatar Airways. Saat itu, Arab Saudi melarang Qatar Airways menggunakan teritorial udaranya.
Adapun perkembangan internasional adalah terpilihnya Joe Biden yang berasal dari partai Demokrat sebagai presiden Amerika Serikat dalam pemilu AS, 3 November 2020. Biden menerapkan kebijakan yang jauh lebih lunak terhadap Iran dibandingkan pendahulunya, Presiden Donald Trump, yang kembali menjatuhkan sanksi total terhadap Iran dan membatalkan secara sepihak kesepakatan nuklir Iran tahun 2015.
Sebaliknya, Biden kini membuka perundingan dengan Iran tentang opsi kemungkinan kembali ke kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 yang kini sedang berlangsung di Vienna, Austria.
Arab Saudi tampaknya telah membaca bahwa AS dan Iran akan mencapai kesepakatan nuklir baru, cepat atau lambat. Bagi Arab Saudi, kini pilihannya adalah beradaptasi dengan perkembangan regional dan internasional itu.