Sate dan Rendang Nabati dari Laboratorium Singapura
Permintaan akan makanan nabati di Asia, meski lebih kecil dibandingkan di Barat, diperkirakan terus meningkat. Kenaikan itu seiring dengan kesadaran yang lebih besar tentang pemaknaan atas makan sehat.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
SINGAPURA, JUMAT — Dari sate ayam tiruan hingga rendang tiruan. Demikian laboratorium milik perusahaan makanan ADM di Singapura mereplikasi hidangan Asia populer dengan alternatif bahan-bahan nabati. Penerapan ilmu pengetahuan modern untuk merevolusi pilihan vegetarian berjalan beriringan dengan makin bertambahnya jumlah vegetarian secara global.
Terobosan terkait industri makanan kembali dihadirkan di Singapura. Sebelumnya, negara itu menjadi yang pertama di dunia dalam menyajikan daging ayam hasil kultur sel. Perusahaan rintisan Eat Just pada akhir tahun lalu menyatakan, daging produksinya telah disetujui untuk dijual di Singapura dalam bentuk nugget ayam.
Terkait produk vegetarian, burger dan nugget ayam nabati, misalnya, memang telah banyak ditemukan, termasuk di Singapura. Kini laboratorium milik perusahaan pemrosesan makanan asal Amerika Serikat, ADM, memfokuskan upayanya pada aneka hidangan dengan daya tarik yang lebih lokal, baik dari sisi jenis maupun cita rasanya.
”Kami bekerja sama dengan koki lokal dan pelanggan lokal untuk benar-benar mengembangkan dan menyesuaikan rasa yang dibutuhkan di Asia,” kata Dirk Oyen, Wakil Presiden dan Manajer Umum ADM untuk Wilayah Asia Tenggara. ”Hal itu benar-benar kuncinya, yakni bagaimana kita dapat menciptakan cita rasa lokal.”
Laboratorium ADM telah berhasil menciptakan sate hingga rendang versi nabati. Rupa dan cita rasanya diklaim sama dengan aneka sajian berbasis daging sapi. Asia memang telah menjadi rumah bagi beberapa makanan pokok nabati, seperti tahu dan tempe. Namun, ADM berharap dapat menawarkan kepada konsumen pilihan yang lebih luas dan lebih canggih. Pihak ADM berharap dapat menyempurnakan bahan dasar untuk makanan lezat semacam itu dan segera memasarkannya kepada konsumen melalui aneka jaringan supermarket.
Para ilmuwan menggunakan teknologi mutakhir untuk memadukan nutrisi, tekstur, aroma, dan rasa untuk menciptakan alternatif daging vegetarian yang kaya protein. Produk-produk yang dihasilkan terutama menggunakan bahan dasar kedelai dan kacang polong.
Singapura sudah menjadi rumah bagi sejumlah perusahaan rintisan lokal yang menciptakan makanan berkelanjutan, mulai dari boga bahari ”yang ditanam di laboratorium” hingga pangsit yang dibuat dengan buah tropis dan bukan dari bahan dasar daging. Para ilmuwan menggunakan teknologi mutakhir untuk memadukan nutrisi, tekstur, aroma, dan rasa untuk menciptakan alternatif ”daging” vegetarian yang kaya protein. Produk-produk yang dihasilkan terutama menggunakan bahan dasar kedelai dan kacang polong.
Produk mereka meniru beragam produk olahan berbahan dasar daging sapi, babi, ayam, dan sari laut. Produk mereka sekaligus disajikan pula dalam berbagai macam hidangan jadi. Mereka juga menciptakan kembali produk daging olahan, seperti ham dan sosis, tentu berbahan dasar nabati. Tantangan terdekat bagi produsen seperti ADM adalah membujuk konsumen hingga mengubah kebiasaan mengonsumsi makanan-makanan yang sudah ada, termasuk mengantisipasi persaingan yang ketat.
Permintaan akan makanan nabati di Asia, meski lebih kecil dibandingkan di Barat, diperkirakan terus meningkat. Kenaikan itu seiring dengan kesadaran yang lebih besar tentang pemaknaan atas makan sehat dan kekhawatiran tentang dampak lingkungan dari konsumsi makanan berbahan dasar daging. Menurut pendiri jenama kesehatan dan kecantikan Essential Living SE Asia, Simon Fenley, kesadaran seperti itu ini mendapat dukungan khusus di Singapura.
Sebagaimana dimuat majalah bisnis vegan, Vegconomist, Fenley menyatakan bahwa di AS, veganisme tumbuh hingga 100 persen per tahun (2013 hingga 2017). Ia memperkirakan pertumbuhan veganisme di Asia bisa sama cepatnya, bahkan hingga mencapai 140 persen selama periode itu di Singapura.
Media The Guardian pada akhir Januari 2021 mewartakan, sebanyak 500.000 orang telah mendaftarkan diri ke sebuah tantangan bertajuk Veganuary, yakni makan hanya makanan nabati selama sebulan di bulan itu. Angka 500.000 itu merupakan sebuah rekor. Angka itu menjadi sebuah pencapaian tersendiri, yakni dua kali lipat dari jumlah orang yang berjanji untuk menjadi vegan pada Januari 2019.
Vegan adalah versi vegetarian yang benar-benar tidak mengonsumsi daging dan semua produk turunan hewan. Seperempat dari mereka yang mendaftarkan diri dalam kegiatan itu berada di Inggris.
Sains memengaruhi minat pada kreasi aneka makanan yang memberikan semua manfaat daging, telur, dan susu, tanpa pengaruh negatif dari makanan hewani. Hal itu dikatakan Presiden Center for a Responsible Future George Jacobs dalam artikel opininya di Channel News Asia. Center for a Responsible Future adalah sebuah badan amal berbasis di Singapura yang mempromosikan keberlanjutan melalui cara hidup konsumsi bahan dasar nabati.
Menurut Jacobs, perkembangan ilmu gizi ikut andil di dalamnya. Pertama, semakin banyak penelitian mendukung pandangan bahwa beralih ke makanan nabati dan makanan alternatif lainnya dapat melindungi kesehatan kita. Kedua, para ilmuwan lingkungan berpendapat bahwa menjauh dari daging adalah salah satu hal terbaik yang dapat kita lakukan jika kita ingin serius memerangi krisis iklim.
”Peneliti geografi memperkirakan, populasi manusia dunia akan tumbuh melebihi 9 miliar jiwa. Akibatnya, teknologi baru akan dibutuhkan untuk menghasilkan pangan dengan kuantitas dan kualitas rasa yang ingin disantap oleh semua orang,” kata Jacobs.
Ketiga, para ilmuwan yang mempelajari pikiran dan emosi sekitar 1 triliun hewan (termasuk hewan laut) yang dimakan manusia setiap tahun menemukan semakin banyak bukti adanya kesadaran di antara mereka. Ia mengutip Deklarasi Cambridge yang dideklarasikan tahun 2012. Isinya, bukti konvergen yang menunjukkan bahwa hewan memiliki substrat neuroanatomical, neurokimia, dan neurofisiologis dari sebuah keadaan sadar secara bersama.
Hal-hal itu dinilai mendorong bertambahnya kaum vegetarian. Ketika memikirkan makanan vegetarian, kita alih-alih membayangkannya sebagai tidak ilmiah dan antimodern. Padahal, pilihan untuk menjauh dari daging sebagai resep modern berbasis sains justru diperlukan untuk melindungi kesehatan manusia. Pilihan itu pun selaras dengan upaya mengatasi krisis iklim sekaligus menunjukkan rasa hormat secara pantas terhadap sesama makhluk hidup. (AFP)